Musim ini, gelar (tidak resmi) juara paruh musim Ligue 1, champion d'automne, jatuh ke tangan Olympique de Marseille. Status tersebut membuat pasukan Marcelo Bielsa memiliki modal penting untuk menjalani sisa kompetisi â begitu pula dengan Olympique Lyonnais.
Status champion d'automne â yang secara harfiah memiliki arti âjuara musim gugurâ â adalah sebuah alasan kuat bagi Marseille (dan para pendukungnya) untuk memimpikan gelar juara di akhir musim. Tren terbaru menunjukkan bahwa tiga dari lima juara Ligue 1 dalam lima musim terakhir adalah peraih status juara paruh musim di musim-musim yang bersangkutan.
Paris Saint-Germain melakukannya pada musim 2013/14 dan 2012/13; dua kali mengulangi apa yang dilakukan oleh Lille Olympique Sporting Club pada musim 2010/11. Dalam lima musim terakhir, hanya Montpellier Hérault Sport Club (2011/12) dan Marseille (2009/10) yang menjadi juara tanpa meraih status champion d'automne di musim yang bersangkutan; pada tahun 2011, status tersebut menjadi milik PSG sedangkan di tahun 2009, status tersebut diraih oleh Girondins de Bordeaux.
Tren ini pantas membuat Marseille memimpikan gelar juara liga yang terakhir kali mereka rasakan pada tahun 2010. Namun karena sejarah memiliki kecenderungan untuk terulang, peluang juara musim ini juga menjadi milik Lyon. Terakhir kali Marseille menjadi juara paruh musim, Lyon mengakhiri musim sebagai juara. Hal ini terjadi pada musim 2002/03.
Setelah 19 pertandingan selepas Piala Dunia 2002, Marseille memimpin tabel klasemen sementara Ligue 1 dengan raihan poin 34. Tepat di belakang Marseille secara berturut-turut ada OGC Nice (33), AS Monaco (32), Lyon (32), dan AJ Auxerre (32). Di akhir musim, komposisi ini berubah.
Puncak klasmen, setelah 38 pertandingan, dikuasai oleh Lyon dengan raihan poin 68; satu angka di atas Monaco yang menjadi runner-up. Juara paruh musim, Marseille, hanya berada di posisi ketiga karena memiliki koleksi poin dua angka lebih sedikit dari Monaco. Penghuni posisi kedua di paruh musim, Nice, mengakhiri musim di peringkat sepuluh dengan raihan poin 55. Auxerre sendiri menduduki peringkat keenam (64 poin).
Sebagai gantinya, lima besar Ligue 1 di akhir musim 2002/03 dilengkapi oleh Bordeaux (peringkat sebelas di pertengahan musim, dengan raihan poin 26) di posisi keempat dan FC Sochaux-Montbéliard (peringkat tujuh, 30 poin) di peringkat kelima. Keduanya memiliki koleksi poin yang sama banyak dengan Auxerre.
Bukan tidak mungkin hal ini terulang kembali. Lagipula, pelatih kepala Lyon, Hubert Fournier, memiliki kepercayaan diri yang dibutuhkan untuk menjadi juara. Walau tetap berusaha untuk realistis, ia menegaskan bahwa menjadi juara bukanlah hal yang mustahil bagi timnya. Fournier sudah menyadari bahwa timnya memiliki kelemahan dalam hal konsistensi. Karenanya, jangan terkejut jika di putaran kedua nanti Lyon tampil lebih konsisten. Kesalahan telah ditemukan, hanya belum diperbaiki.
Komentar