Alan Pardew memutuskan untuk pindah ke Crystal Palace tak lama setelah tahun baru. Kepindahan ini terbilang mengejutkan karena Pardew dianggap sukses selama empat tahun bersama Newcastle United.
Jumat (8/1) kemarin, ia membeberkan alasannya pindah ke Newcastle. Salah satu alasannya adalah manajemen klub membiarkan Yohan Cabaye pindah ke Paris Saint-Germain. Selain itu, Pardew beralasan manajemen terlalu menekan soal urusan keuangan klub. Akibatnya, ia kesulitan untuk menambah kekuatan dalam bentuk pembelian pemain baru.
Secara mental, sebenarnya Pardew sudah mulai terlihat tidak senang saat sejumlah suporter tidak berada di belakangnya. Kala menghadapi Hull City di St James Park pada putaran pertama lalu, sekelompok suporter menuntutnya untuk mundur dari jabatan sebagai manajer. Meski pada akhirnya, Pardew berhasil memberikan enam kemenangan beruntun bagi Newcastle yang mengantarkan klub tersebut ke peringkat 10 besar.
Apa yang terjadi pada Pardew sebenarnya merupakan hal yang biasa. Setiap klub memiliki kebijakan tersendiri soal urusan uang. Namun, biasanya berdampak pada tujuan dari klub itu sendiri.
Klub dengan dana besar pasti memberikan target besar pula pada manajer. Pun sebaliknya. Hal paling tak menyenangkan adalah saat manajer dan dewan direksi tak sepakat soal tujuan yang mesti diraih klub.
Dalam hal ini, Pardew menginginkan Newcastle lebih berprestasi dengan syarat pembelian pemain baru dan mempertahankan kekuatan yang sudah ada. Sayangnya, hal ini tak bisa diakomodasi oleh dewan direksi. Mereka menerapkan arus keuangan yang ketat.
Perbedaan tujuan inilah yang menjadi alasan Pardew meninggalkan Newcastle. Selain Pardew, sebenarnya ada dua contoh lain dengan kondisi yang mirip. Mereka adalah Arsene Wenger dan Jose Mourinho dengan nasib yang sama sekali berbeda.
Kasus pertama adalah Wenger. Manajer Arsenal tersebut digembar-gemborkan harus menahan diri untuk tidak terlalu aktif di bursa transfer, setelah kepindahan klub dari Stadion Highbury ke Stadion Emirates. Pasalnya, Arsenal masih harus menyicil biaya pembangunan stadion tersebut.
Hal ini nyatanya berjalan beriringan dengan Arsenal yang tak menggondol piala sejak meraih gelar Piala FA pada musim 2004/2005. Selama satu dekade ke depan, suporter pun dibuat tak puas dengan kepindahan sejumlah pemain kunci.
Patrick Vieira dilego ke Juventus pada musim 2005/2006, Ashley Cole ke Chelsea pada 2006/2007, Thierry Henry ke Barcelona dan Jose Antonio Reyes ke Atletico Madrid pada musim 2007/2008, Alexandr Hleb ke Barcelona pada musim 2008/2009, Emmanuel Adebayor dan Kolo Toure ke Manchester City pada 2009/2010, Eduardo ke Shaktar Donetsk pada 2010/2011, Cesc Fabregas ke Barcelona, dan Samir Nasri serta Gael Clichy ke Manchester City pada 2011/2012.
Robin van Persie ke Manchester United, Alex Song ke Barcelona, dan Carlos Vela ke Real Sociedad pada 2012/2013. Gervinho ke AS Roma pada musim 2013/2014, dan Thomas Vermaelen ke Barcelona pada musim lalu.
Nama-nama tersebut sebenarnya jauh lebih banyak, tapi kami hanya menyebutkan yang nilai transfernya di atas lima juta pounds dan dianggap berperan di tim utama Arsenal.
Resistensi pun muncul dari suporter yang menuntut Wenger untuk âmempertanggungjawabkanâ apa yang telah ia perbuat. Wenger secara nyata menjual pemain kunci dan membiarkan Arsenal tidak bisa berprestasi. Benar, suporter Arsenal menerapkan standar tinggi dalam hal ini, meskipun The Gunners tidak pernah keluar dari empat besar selama satu dekade terakhir.
Saat masih bersama (Sumber gambar: telegraph.co.uk)
Beruntung bagi Wenger karena ada segelintir suporter yang mengerti akan keadaannya. Hebatnya, mereka menulis kesulitan Wenger selama satu dekade terakhir tersebut. Tulisan-tulisan itu menjurus pada ketidakberdayaan Wenger menghadapi aturan ketatâyang sebenarnya tidak ia gembar-gemborkanâklub yang masih menyicil pembayaran stadion.
Sejak saat itu selamatlah Wenger dari pemakzulan kursi manajerial. Wenger faktanya tidak berkelit. Coba apa yang ia lakukan saat klub cicilan stadion telah lunas? Pada bursa transfer Juli-Agustus tahun lalu, ia mengeluarkan hampir 90 juta pounds untuk belanja pemain! Angka ini termasuk dengan pembelian Alexis Sanchez dari Barcelona seharga 37,4 juta pounds, dan Mesut Oezil pada musim sebelumnya dengan nilai 44 juta pounds, seperti yang dirilis Transfermarkt.
Ketatnya keuangan tersebut, membuat klub seperti memberi keringanan bagi Wenger dalam hal prestasi. Klub âgilaâ macam mana yang meminta manajernya meraih gelar juara setelah pemain kunci macam Fabregas, Nasri, dan Van Persie dilego ke klub rival?
Lain Wenger, lain pula Mourinho. Berhasil menyabet gelar Liga Champions bersama FC Porto pada musim 2003/2004, Mou ditarik ke London bersama pasukan bergelimang harta bernama Chelsea.
Kehadiran Mou nyatanya berdampak positif bagi The Blues. Semusim menangani tim asal London, Mou menghadirkan gelar juara Liga Inggris, yang terakhir kali mereka raih 50 tahun lalu. Ia juga menghadirkan gelar Piala FA pada musim 2006/2007, dua gelar Piala Liga, dan sekali gelar Community Shield pada 2005.
Bersama Frank Lampard dengan logo Chelsea yang lama (Sumber gambar: Dailymail.co.uk)
Namun, pada 20 September 2007, kerjasama Mou dengan Chelsea pun berakhir. Tersiar kabar, sang pemilik Chelsea, Roman Abramovich, tak puas dengan piala yang dihadirkan Mou?
Loh, bukankah Mou sudah memberikan segalanya? Belum. Ya, Mourinho tidak bisa mempersembahkan apa yang jadi keinginan sang raja minyak asal Rusia tersebut: Piala Liga Champions Eropa.
Besarnya beban yang ditanggung Mourinho sebenarnya sejalan dengan kucuran dana âtak terbatasâ dari Abramovich. Pada musim pertamanya saja, ia sudah mendapatkan 142 juta pounds untuk belanja pemain. Pada musim berikutnya menjadi 80 juta pounds, dan di musim terakhirnya atau pada 2006/2007, menjadi 77 pounds. Total, selama tiga tahun menahkodai Chelsea, Mou sudah mendapat hampir 300 juta pounds!
Maka, wajar rasanya jika Abramovich ingin lebih. Liga Champions adalah gelar prestisius. Mungkin Abramovich beranggapan kalau Mou mampu melakukannya di Porto, mengapa tidak untuk melakukannya di London?
Dari tiga manajer yang melatih klub Liga Inggris tersebut, poin utamanya adalah sama-sama soal uang. Pardew adalah gabungan kesulitan yang dialami Wenger dan Mourinho. Ia tidak leluasa menambah pemain karena kebijakan ketat soal keuangan yang mirip dengan Wenger. Ia pada akhirnya hijrah dari klub seperti halnya yang dilakukan Mourinho. Meskipun ada perbedaan antara pindah karena dipecat dan pindah karena kemauan sendiri.
Sumber gambar: bleacherreport.com
Komentar