Persija Jakarta menggebrak bursa perpindahan pemain dengan mendatangkan banyak pemain berkualitas. Dimulai dari mendatangkan kembali kapten mereka, Bambang Pamungkas, hingga merekrut pemain berkualitas seperti Martin Vunk, Evgeny Kabaev, Greg Nwokolo dan Stefano Lilipaly. Mereka bahkan memproyeksikan anggaran sebesar Rp. 50 milyar, menurut uraian Joko Driyono, untuk mengarungi kompetisi di tahun 2015 ini.
Di tempat lain, Arema Cronus pun mempersiapkan timnya dengan serius. Fabiano Beltrame, Sengbah Kennedy dan Yao Rudy diproyeksikan menjadi legiun asing pengganti Gustavo Lopez, Thierry Gatthuesi dan Beto Goncalves. Pemain berlabel timnas seperti Kurnia Meiga, Victor Meiga, Samsul Arif, Ahmad Bustomi dan Christian Gonzales pun masih bertahan. Jika Persija memproyeksikan kebutuhan hingga Rp. 50 milyar, maka Arema (dengan merujuk paparan Joko Driyono lagi) malah lebih dahsyat lagi: 66 milyar.
Ya, baik Persija atau pun Arema secara meyakinkan mengontrak pemain baru dan pemain lama dengan nilai kontrak yang tentunya tak murah. Namun anehnya, keduanya (ditambah PSM, PBR, Gresik United, Persebaya) masuk dalam kategori dua setelah di verifikasi PT. Liga tentang kesiapan tim untuk mengarungi Indonesia Super League.
Kategori dua sendiri merupakan kategori yang belum sepenuhnya aman karena kesebelasan tersebut masih perlu mendapatkan pendalaman lebih jauh dari tim verifikasi. Jika dalam verifikasi lanjutan yang akan dilaksanakan besok, Kamis 15 Januari 2015, masih juga tak lolos, mereka terancam bernasib serupa seperti Persiwa Wamena dan Persik Kediri yang dicoret dari daftar peserta ISL 2015.
Lantas, kenapa Persija dan Arema (beserta empat lainnya) masuk dalam kategori dua? Bukankah dengan merekrut banyak pemain anyar dan berkualitas telah menunjukkan bahwa mereka memiliki keuangan yang cukup menjanjikan?
Kesebelasan yang masuk ke dalam kategori dua ini sejatinya adalah kesebelasan-kesebelasan yang memiliki masalah dari segi finansial. Untuk lolos dari kategori ini, selain harus menyelesaikan masalah tunggakan gaji pemain dan staf pada musim lalu, kesebelasan tersebut pun harus memiliki proyeksi pendapatan yang jelas.
Proyeksi pendapatan ini berkaitan dengan perkiraan anggaran pengeluaran pada musim yang akan datang. Maka dari itu, setiap kesebelasan wajib memberikan proyeksi pendapatan yang jelas agar ketika musim bergulir, tak akan ada masalah-masalah finansial khususnya penunggakan gaji seperti yang terjadi pada musim lalu.
Keenam kesebelasan di atas, termasuk Persija dan Arema, dinyatakan belum memiliki proyeksi pendapatan yang jelas. Ini perlu digarisbawahi karena kedua tim ini memiliki rencana pengeluaran yang sangat besar pada tahun 2015.
âPersija, misalnya, belum bisa menunjukkan surat kontrak (kesepakatan) dengan sponsor,â ujar Sekretaris PT Liga Indonesia, Tigorshalom Boboy, mengutip dari harian Kompas, edisi Selasa (13/1). âRata-rata, mereka baru negoisasi dan tidak bisa jadi pegangan.â
âJika ada (kontrak sponsor), jumlahnya baru sedikit. Biasanya, seperti tren yang terjadi kini, sisanya (kekurangan) ditalangi pemilik klub. Ini yang mulai harus dikurangi pada musim depan,â tambahnya.
Artinya, angka yang cukup bombastis sebesar 50 milyar itu belum jelas (atau belum dapat kepastian) akan ditutup dari mana saja. Sponsor? Merujuk pernyataan Tigor, sponsor-sponsor Persija kebanyakan masih dalam proses negosiasi, artinya belum sepenuhnya pasti akan mensponsori. Baru kesepakatan lisan, jika memang ada kesepakatan, dan belum kesepakatan tertulis berupa kontrak.
Masih menurut harian Kompas, rencana pengeluaran Persija pada tahun 2015 sendiri mencapai Rp 50 miliar, dua kali lipat dari musim lalu. Sementara rencana pengeluaran Arema Cronus lebih tinggi, sekitar Rp 66 miliar. Karenanya, PT LI khawatir kedua klub tersebut tak mampu memenuhi anggaran yang dicanangkan masing manajemen. Pun begitu dengan empat kesebelasan lainnya yang masuk dalam kategori dua.
Persija masih punya dua persoalan finansial. Terkait masa lalu (tunggakan gaji musim lalu yang belum sepenuhnya tuntas, walau diklaim angkanya sudah berkurang banyak) dan terkait masa depan (proyeksi pendapatan musim depan). Itu juga persoalan yang dialami empat kesebelasan lainnya. Sementara Arema hanya terkait aspek proyeksi pendapatan di musim depan.
Apa yang dilakukan PT LI ini tentunya merupakan hal yang positif untuk keberlangsungan ISL musim depan. Dengan memperketat aturan proyeksi pendapatan, kesebelasan-kesebelasan ISL bisa terhindar dari masalah-masalah yang menggangu mereka dan kompetisi ISL itu sendiri jika mematuhi aturan tersebut.
Langkah yang dilakukan PT LI ini pun sebenarnya tak lepas dari Badan Olagraga Profesional Indonesia (BOPI) yang meminta PT LI melaporkan status keprofesionalan setiap kesebelasan yang akan berlaga di ISL. Jika ada yang tak memenuhi kriteria yang diajukan BOPI sebagai kesebelasan profesional, maka akan ada dua hal yang akan dilakukan BOPI, memundurkan jadwal kompetisi dan pelarangan ikut berkompetisi.
BOPI sendiri nantinya akan bekerja sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai tahap akhir. BOPI menilai, seharusnya tak ada masalah tunggakan gaji jika kesebelasan tersebut telah masuk dalam kategori profesional. Karena itulah mengapa setiap peserta ISL musim depan harus memenuhi syarat sebagai kesebelasan profesional.
Kombinasi inilah yang diharapkan bisa sedikit banyak menuntaskan persoalan tunggakan gaji yang dari tahun ke tahun selalu menjadi cerita usang di akhir dan awal kompetisi.
foto: ligaindonesia.co.id
Komentar