Mengenang Sistem Golden Goal

Klasik

by Ammar Mildandaru Pratama 32522

Ammar Mildandaru Pratama

mildandaru@panditfootball.com

Mengenang Sistem Golden Goal

Tahun 2002 digadang-gadang menjadi kebangkitan sepakbola Asia. Untuk pertama kalinya negara Asia menjadi tuan rumah gelaran akbar Piala Dunia. Tidak hanya itu, Korea Selatan mampu menembus fase semifinal. Puncak prestasi sepakbola Asia paling tinggi di Piala Dunia dalam sejarah. Hingga kini, belum ada yang bisa menyamai apalagi melampaui capaian Korea Selatan pada 2002.

Sebelum dihentikan oleh Jerman pada babak semifinal. Korea Selatan terlebih dahulu menyingkirkan wakil Eropa lainnya Spanyol. Gli Azzurri pun juga menjadi korban dan harus tunduk melalui drama menegangkan bernama golden goal.

Bagi Negeri Ginseng, melawan Italia merupakan fase klimaks. Karena bensin mereka terlihat sudah habis pasca melawan Italia. Meski menang dalam perempat final melawan Spanyol, melalui adu penalti.

Namun tim matador yang dulu memang belum superior sekarang. Setelah tersingkir oleh Jerman, Korea Selatan juga menyerah dari Turki pada perebutan tempat ketiga.

Cerita mengenai kehebatan Korea Selatan mendunia pada saat itu. Beberapa kalangan menganggap berbau kontroversial karena terkait keputusan wasit. Sebagian lain memuja habis-habisan wakil Asia tersebut karena dianggap bermain dengan gigih dan pantang menyerah.

Salah satu buktinya adalah ketika Ahn Jung Hwan sukses menjebol gawang Buffon pada babak tambahan. Gol yang dilesakkan pemain yang saat ini sudah pensiun tersebut langsung membuat tim Italia angkat koper. Aturan saat itu yang memakai sistem golden goal, membuat siapapun yang kebobolan pada babak tambahan langsung dinyatakan kalah.

Ahn Jung Hwan menjadi aktor utama dalam salah satu adegan drama Piala Dunia 2002. Drama yang berakhir manis bagi Korea Selatan. Namun buat Ahn Jung Hwan naiknya ke puncak karir ternyata terlalu singkat. Publik Italia langsung membuang muka terhadapnya.

Bos klub Serie A Perugia saat itu, Luciano Gaucci, bahkan menendangnya dari klub. Kekalahan yang sangat menyakitkan membuatnya geram. Menurutnya dia tidak akan sudi memberi gaji pada seseorang yang telah menghancurkan sepakbola Italia.

Kisah Ahn Jung Hwan dan timnas Korea Selatan memang terus merembet ke mana-mana. Termasuk kepada peraturan golden goal yang kemudian dihapus. Meski wacana penghapusan aturan tersebut sudah lama bergulir, namun kejadian perdelapan final tersebut menjadi titik balik bagi keputusan aturan golden goal.

Walaupun menurut data FIFA, kejadian Ahn Jung Hwan bukanlah gol terakhir pada babak golden goal. Bahkan selang empat hari setelahnya dan masih dalam event yang sama, Turki juga menyingkirkan Senegal lewat golden goal.

Tetapi hanya sedikit yang ingat dengan hal tersebut. Kejadian Ahn Jung Hwan tetap menjadi memori kuat ketika menyebut kejadian yang juga disebut sudden death tersebut.

Mencari Alternatif Pengganti                                                                                                     

Sejak dicanangkan secara resmi oleh FIFA pada tahun 1993, aturan golden goal memang sudah banyak memakan “korban”.  Kekalahan oleh sebuah gol pamungkas yang tidak dapat dibalas. Betapa menyakitkannya gol yang dicetak Bierhoff di final Piala Eropa 1996 bagi Karel Poborsky, dkk., dari Ceko. Sampai kemudian pada 2003 aturan tersebut dihapus.

Ada banyak alasan yang membuat golden goal banyak menuai protes agar dihapuskan. Tim yang kebobolan langsung kalah membuat semua orang memilih bermain aman. Resiko bermain menyerang memang membuat pertahanan terkadang terbuka.

Sehingga tidak akan terlihat situasi saling serang, tim yang lemah bahkan harus “memarkir bis” agar tidak kebobolan.  Menunggu keberuntungan lewat tendangan adu penalti.

Fase akhir pada golden goal juga dianggap terlalu memberatkan beban wasit yang bertugas. Bagaimana tidak, satu saja keputusannya meleset jaminan hasil akhir akan semakin dekat. Seperti kartu kuning kedua yang diterima Totti saat melawan Korea Selatan.

Kala itu pada menit 103 kapten Roma tersebut harus diusir wasit karena dianggap melakukan diving. Italia yang bermain hanya dengan 10 orang pada akhirnya harus menyerah dari tuan rumah Korea Selatan.

Pada tahun 2003 UEFA membuat peraturan baru terkait aturan bermain. Otoritas tertinggi sepakbola Eropa tersebut menggunakan sistem baru dalam menentukan pemenang, yaitu silver goal. Sebuah sistem yang nanggung dari golden goal. Pada sistem ini, jika sebuah tim mencetak gol pada babak tambahan 15 menit pertama, itu tak membuat pertandingan langsung berakhir, tapi menunggu babak tambahan itu selesai dulu tanpa harus dilanjutkan dengan babak tambahan waktu 15 menit yang kedua. Sistem ini tidak bertahan lama karena setahun kemudian FIFA memutuskan untuk kembali ke model lama dua babak tambahan.

Babak tambahan dua babak memang menjanjikan sebuah pertandingan yang menarik, karena tim masih mempunya kesempatan 2 x 15 menit untuk “saling balas”. Sistem ini juga lebih ramah untuk pihak televisi, karena estimasi waktunya dapat ditentukan.

Juga masih akan ada jeda yang menjual secara komersial, karena telah memasuki fase penentuan. Salah satu momen terbaik babak tambahan adalah pertandingan Piala Dunia 1970 antara Jerman dan Italia. Ketika itu lima gol tercipta hanya pada babak tambahan. Ini tentu mustahil terjadi dalam golden goal atau silver goal.

Sistem sepakbola memang terus dibenahi agar dapat menarik bagi penonton. Seperti halnya saat aturan offside dan backpass berubah beberapa kali.

Mana yang Paling Tepat?

Dalam sepakbola waktu pertandingan normal adalah 90 menit. Namun dalam fase knock out atau harus ada pemenang, pertandingan harus berlanjut. Mengulang pertandingan jelas tidak mungkin (walau opsi ini dulu pernah dipraktikkan) apabila bersifat turnamen yang mempunyai waktu terbatas.

Lantas jika tetap tidak ada pemenang apakah akan terus berulang kali dilakukan? FA Cup yang menggunakan sistem pertandingan ulang bahkan hanya membatasi dua pertandingan. Jika tetap imbang maka akan diadakan babak tambahan dan penalti.

Jadwal ketat pertandingan sepakbola modern, lengkap dengan hak siar memang mengharuskan semua terjadwal dengan baik. Lalu manakah yang paling tepat? Sistem dua babak seperti sekarang, silver goal, atau bahkan golden goal?

Keputusan FIFA yang kembali menggunakan sistem babak tambahan 2 x 15 menit juga bukan sesuatu yang buruk. Bahkan pada fase ini, ada situasi saling bunuh antar kedua tim. Jika tim superior mampu menjebol gawang lawan, mau tidak mau tim kedua yang -- kendati kualitasnya lebih lemah-- harus bangkit melawan guna mengejar ketertinggalan. Apa pun resikonya. Toh jika pun kebobolan lagi sama saja resikonya yaitu tersingkir. Lebih baik untuk balik menyerang dengan sesanggup-sanggupnya. Daripada tersingkir, bukan?

Komentar