Oleh Naqib Najah
"Mungkin ada orang yang memiliki bakat lebih dari Anda, tapi tidak ada alasan bagi siapa pun untuk bekerja keras melebihi apa yang Anda lakukan," Derek Jeter, pemain baseball profesional.
Kesempatan selalu mendatangi siapa pun. Tidak hanya untuk orang-orang yang berbakat, namun juga bagi pekerja keras. Mereka yang berbakat tak akan bisa memonopoli penghargaan selama ada orang lain yang tak henti-hentinya bekerja keras. Keduanya bisa berbagi kue yang sama. Masing-masing dapat sepotong.
Kita mulai dari cerita luar biasa yang datang dari dunia tangga nada.
Antonio Salieri adalah komponis yang sangat terkenal di masanya. Pamornya di bidang musik membuatnya selalu dipercaya kekaisaran Austria untuk menjadi musisi kerajaan sejak 1788 hingga awal abad 18. Salieri memang piawai. Sejak usia 28 tahun, namanya sudah mengudara di bidang musik dengan sajian opera berjudul Europa Riconosciuta (1778).
Akan tetapi, perlahan-lahan cerita berubah... Mozart mulai menggeser posisi Salieri. Dengan usia lebih muda enam tahun, Mozart diminta menjadi guru untuk keponakan sang kaisar. Salieri tidak terima. Salieri yang pekerja keras, dianggap kalah dari Mozart yang penuh akan bakat.
"Kemarahan Salieri terhadap Mozart mungkin dipicu oleh kecemburuannya -- di mana ia telah bekerja sangat keras untuk menghasilkan karya seninya.... Sementara Mozart , tanpa kerja terlalu keras, berhasil menciptakan karya seni yang tidak bisa disangkal lagi," tulis Jamie King dalam buku berjudul 111 Konspirasi Menghebohkan Dunia.
Debat bisa dimulai di titik ini: siapa yang menang antara pekerja keras atau mereka yang berbakat?
Kita semua mengerti, tak semua anak dibekali sebuah bakat. Tidak semua anak adalah gifted. Akan tetapi, selalu ada tahapan di mana alam akan berpaling kepada mereka yang pantas. Akan ada jalan, di mana dunia melirik mereka yang gigih bekerja keras.
Tema pekerja keras vs mereka yang berbakat menjadi obrolan antara saya dengan seorang teman. Kebetulan dia penikmat film, sekaligus mahasiswa jurusan film. Kemudahan yang diraih orang-orang berbakat, seolah menjadi sebaris cerita perihal hidup yang memberi keistimewaan pada orang tertentu tapi tidak pada yang lainnya. Ketika mereka yang berbakat hanya butuh sedikit usaha untuk mencapai sesuatu, ada orang yang harus bekerja lebih keras untuk meraih prestasi yang sama.
Kisah Mozart dan Salieri terangkat dalam film Amadeus (1984). Mozart dicitrakan sebagai pemuda yang cengengesan dan tidak tahu sopan santun, sementara Salieri dikenal pekerja keras dan ambisius. Nasib berpihak pada Mozart di masa itu. Salieri mendapat seperempat âpotongan rotiâ sementara Mozart menelan lebih banyak darinya.
Akankah mereka yang berbakat selalu mengungguli pekerja keras? Jawabannya kembali pada paragraf sebelumnya. Ada masanya dunia akan melirik pada mereka yang pantas. Alam punya akumulasi sendiri untuk menghitung kelayakan seseorang.
Pertengahan bulan kemarin menjadi hari yang istimewa bagi Cristiano Ronaldo. Senin, 12 Januari 2015, kemegahan seperti hanya milik Ronaldo. Zurich, Swiss menjadi tempat yang manis, semua orang melihat penghargaan FIFA Ballon d'Or jatuh ke tangannya sekaligus menyingkirkan rival abadi, Lionel Messi, si ajaib itu.
Ronaldo dan Messi menjadi generasi baru kisah perseteruan pekerja keras dan pemilik bakat. Tidak ada kesamaan mutlak antara mereka berempat. Messi yang Mozart, dan Ronaldo yang Salieri. Messi yang penuh senyum, dan Ronaldo yang menatap penuh ambisi. Hanya saja, kali ini 'potongan roti' dibagi rata antar keduanya.
Sebelum pentahbisan FIFA Ballon d'Or 2015, perang pernyataan mengudara di mana-mana. Orang-orang yang terlibat dalam persepakbolaan internasional saling melempar komentar.
Gerard Pique memberi ucapan yang cukup santun. Siapa yang terbaik di antara keduanya? âIni persaingan antara si mental tangguh dan si kecil berbakatâ. Begitu kata Pique, rekan Ronaldo di Old Trafford dan kompatriot Messi di Camp Nou.
âPerbandingan antara keduanya bukan soal siapa yang terbaik, ini hanya faktor sudut pandang. Cristiano seperti mesin yang sempurna, pekerja keras yang terus ingin berkembang. Ia selalu menuntut dirinya lebih baik," puji Pique untuk Ronaldo.
"Leo juga layak memenangi Ballon dâOr. Mungkin saja ia tidak seobsesif atau sekeras Ronaldo dalam membentuk diri. Tapi ketika Messi mendapatkan bola, sulit merebutnya kembali,â sambungnya untuk Messi.
Keistimewaan yang diberikan hidup pada orang-orang tertentu yang terbatas terpecahkan dari episode panjang Ronaldo dan Messi. Mozart (mereka yang berbakat) yang sebelumnya mengambil âpotongan rotiâ lebih banyak, kali ini harus berbagi rata dengan mereka yang bekerja keras.
Tidak hanya untuk Ronaldo-Messi. Persaingan antara talenta dan kerja juga tersaji dalam kisah Guardiola dan Mourinho. Eks pelatih Barcelona itu disebut mewakili kalangan yang diwarisi bakat, sementara Mou masuk dalam golongan ia-yang-mengejar-dengan-kerja.
âJika Guardiola adalah Mozart, maka Mourinho adalah Salieri. Dia [Salieri] akan menjadi musisi hebat seandainya Mozart tidak hidup di zamannya,â tutur Eks Direktur Umum Real Madrid, Valdano dalam bukunya yang berjudul The Eleven Powers of the Leader.
Persaingan hidup akan selalu lahir. Tanpa perlu memperbanyak rasa iri, kerja keras memang harus dilakukan. Sebagaimana tutur Derek Jeter, kalau bukan seorang yang berbakat, jangan sampai orang lain bekerja lebih keras dari diri kita.
Yogyakarta, 22 Januari 2015
==============
Naqib Najah, editor dan penulis buku. Tinggal di Jogjakarta. Bisa dihubungi melalui surel di:Â najahnaqib@yahoo.com.
Â
Komentar