Ada banyak cara bagi seorang pemuda untuk diakui sebagai seorang pria dewasa. Fahombo atau lompat batu khas Pulau Nias adalah salah satunya. Walaupun tak lagi digunakan sebagai ujian untuk para prajurit perang, fahombo masih dipraktikkan sebagai pembuktian para pemuda Nias bahwa mereka sudah matang dan dapat diandalkan.
Dalam khasanah antropologi, momen seperti fahombo menjadi (dalam konsepsinya Arnold von Gennep) rites de passage, ritus peralihan. Inilah ritus yang menahbiskan peralihan status seseorang dalam komunitasnya. Dari bocah jadi remaja, dari remaja jadi lelaki dewasa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Jauh dari Nias, tepatnya di bagian utara ibu kota Inggris, seorang pemuda baru saja membuktikan diri bahwa dirinya sudah matang dan dapat diandalkan. Namanya Harry Kane, dan ia tentunya tidak membuktikan diri lewat keberhasilan melompati tumpukan batu setinggi dua meter tanpa sama sekali menyentuhnya.
Lahir di Walthamstow yang lebih dekat ke White Hart Lane ketimbang ke Emirates Stadium (dan Highbury, yang juga masih harus dipertimbangkan karena Kane lahir saat Arsenal masih bermain di Highbury) dan bermain untuk Tottenham Hotspur, Kane membuktikan diri dengan cara yang sangat Lilywhites: mencetak dua gol untuk membawa kesebelasannya berbalik unggul dan meraih kemenangan, di derby London Utara pertamanya.
Kane sudah pernah tiga kali ambil bagian di pertandingan melawan Arsenal. Satu di antaranya bersama Leyton Orient pada tahun 2011 di ajang Piala FA, dan dua lainnya sebagai pemain Tottenham di tahun 2014, di ajang Premier League dan Piala FA. Pada tiga pertandingan tersebut, Kane hanya duduk di bangku cadangan.
Musim 2014/15 adalah musim pembuktian diri bagi Kane. Setiap pertandingan selalu ia jalani dengan tujuan memberi penampilan terbaik, yang pada akhirnya akan membuat dirinya diakui sebagai pemain kunci. Bahkan bermain sebagai penjaga gawang pun pernah ia jalani dengan sepenuh hati.
Semua kerja keras tersebut akhirnya membuahkan hasil. Saat Arsenal dan Tottenham berhadapan untuk kali pertama di musim ini, Mauricio Pochettino masih mempercayakan urusan mencetak gol kepada Emmanuel Adebayor. Kane bahkan tidak ada di bangku cadangan karena peran pelapis Adebayor dipercayakan kepada Roberto Soldado. Kurang dari lima bulan setelahnya, Pochettino lebih mempercayai Kane yang sudah mengoleksi 20 gol dari 33 pertandingan.
Tanpa cela, Kane membayar kepercayaan Pochettino dan dukungan suporter Tottenham dengan sempurna. Gol Mesut Ãzil, pemain termahal sepanjang sejarah Arsenal, ia buat tak berarti. Dua gol Kane di babak kedua membuat catatan David Ospina, yang belum pernah kebobolan di Premier League, tak lagi sempurna.
Cara Kane meraih pengakuan sebagai pria dewasa yang bisa diandalkan memang begitu sempurna hingga Arsène Wenger yang pestanya dirusak Kane saja secara terbuka mau mengakui kehebatannya.
Pertandingan semalam adalah laga ke-700 Wenger di Premier League. Idealnya, ia pasti ingin menghiasi catatan impresif tersebut dengan kemenangan atas Tottenham. Namun Kane datang membawa dua gol dan merusak pesta. Dan Wenger, berdasarkan apa yang ia ucapkan dalam konferensi pers pasca pertandingan, tampak menerima kesempurnaan penampilan Kane â yang membuat hari penting miliknya tidak sempurna â dengan lapang dada.
Laga semalam, yang membuat Wenger menahan kecut, seakan menjadi fahombo bagi pemuda Kane. Jika ada onggokan batu yang bisa dijadikan batu uji bagi seorang bocah yang ingin diakui sebagai lelaki dewasa, sebagaimana di Nias, maka onggokan batu bagi seorang pemain sepakbola belia itu adalah laga-laga penting bertensi tinggi. Dan itu bisa ditemukan, salah satunya, dalam laga derby.
Jika pemain belia bisa mengatasi tekanan tinggi dalam laga sepanas derby, apalagi mencetak dua gol kemenangan, ia dengan demikian telah lolos ujian fahombo. Kane semalam telah ditahbiskan sebagai lelaki dewasa, bukan lagi bocah ingusan yang bisa diremehkan begitu saja.
Derby London Utara menjadi rites de passage, ritus peralihan, bagi seorang Kane: itulah momen ketika ia beralih dari si bocah menjadi lelaki dewasa.
Komentar