Rasa percaya diri muncul dari kesebelasan nasional Ghana, pada final Piala Afrika 2015, Senin (9/2/2015) dini hari. Wilfried Bony dan Gadji Tallo, eksekutor penalti Pantai Gading, gagal menuntaskan tugasnya. Dalam adu penalti yang dihelat di Estadio de Bata, Equatorial Guinea, tersebut Wakaso Mubarak dan Jordan Ayew dari Ghana berhasil membawa Ghana unggul 2-0.
Merasa di atas angin, bangku cadangan kesebelasan berjuluk Black Star pun berjingkrak kegirangan. Mereka merasa dua kegagalan penendang Pantai Gading akan memastikan langkah mereka untuk menjuarai Piala Afrika 2015.
Selanjutnya Afriyie Acquah mengambil bola, untuk menjadi pengeksekusi penalti ketiga Ghana. Pemain andalan Parma tersebut, mencoba menjadi pahlawan negaranya. Rupanya, pahlawan itu benar-benar muncul; tapi bukan Axquah, melainkan Boubacar Barry, pengawal gawang dan kehormatan Pantai Gading.
Tendangan Acquah yang mengarah ke kanan, berhasil terbaca dan ditepis oleh tangan kiri Barry. Pun dengan penendang keempat Ghana, Frank Acheampong, yang menyamping ke luar sasaran. Rasa percaya diri skuat Ghana seolah luntur. Keadaan kini berbalik bagi Pantai Gading; kecuali Gervinho.
Gervinho pantas berdebar. Gara-gara kegagalannya menggetarkan jala gawang Zambia pada 2012, Pantai Gading gagal juara. Ini bukan kali pertama pula The Elephants mencapai final. Sebelumnya, pada 2006 mereka juga masuk final. Sial, adu penalti menggagalkan impian tersebut.
Skor penalti pun sama 2-2, setelah Serge Aurier dan Seydou Doumbia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Setelah eksekusi Doumbia, di pinggir lapangan, Barry tiba-tiba tergeletak di atas rumput hijau. Dirinya mengalami kram pada kakinya dan mendapatkan pertolongan dari petugas medis. Namun, ia masih bisa melanjutkan tugasnya kembali, mengawal gawang Pantai Gading di adu penalti tersebut. Setelah itu penendang masing-masing kesebelasan, sama-sama berhasil menuntaskan tugasnya.
Akhirnya, masing-masing kiper mendapatkan giliran mengeksekusi penalti. Kiper Ghana, Razak Braimah, lebih dulu mengambil tendangan. Dari sinilah, kepahlawanan Barry kembali dipuja. Ia menahan tendangan Braimah yang mengarah ke sisi kiri.
Kegembiraan Barry tidaklah lama. Dirinya terkapar kembali karena mengalami kram. Rasa gugup menjadi faktor utama. Selama babak adu penalti, ia terus berlutut dan berdoa demi kesebelasannya di bagian ini.
Barulah Barry menjadi benar-benar seorang pahlawan, ketika eksekusinya berhasil merobek jala Bramia. Tendangan ini pula yang memastikan negaranya menjadi juara Piala Afrika 2015. Kemenangan ini merupakan yang pertama sejak dua dekade terakhir, atau pada 1992 dengan mengalahkan negara yang sama.
Kiper dari klub Belgia KSC Lokeren itu, lalu berlari ke arah penonton seolah melupakan kram di kakinya. Namanya pun terus dielu-elukan oleh pendukung Pantai Gading yang hadir langsung di Stadion berkapasitas 41.000 penonton tersebut. Padahal ia hanya kiper pengganti Sylvain Gbohouo yang mendapatkan cedera.
Barry betul-betul menjadi pahlawan saat itu, seolah menebus kegagalannya pada kekalahan penalti Piala Afrika 2012 dari Zambia.
Ya, pada partai final kali ini kedua kesebelasan mengakhiri 90 menit laga tanpa gol satupun. Babak tambahan 2 x 15 menit pun urung tericpta adanya gol dari masing-masing negara tersebut.
Atas kepahlawanan Barry, ia mendapatkan pujian dari Yaya Toure, kapten kesebelasan. "Saya harus mengucapkan selamat Copa (Barry). Dia menunjukan kepada kita contoh nyata solidaritas," ungkapnya usai pertandingan.
Setelah mendapatkan semua kritik dari kegagalan-kegagalan sebelumnya, kini Pantai Gading bisa menjadi contoh yang lebih baik. Maka malam tersebut menjadi yang paling membahagiakan, terutama Barry yang menjadi raja di final Piala Afrika tersebut.
"Saya telah dikritik, tapi saya bisa bangkit," kata Barry sembari emosional dan menitikan air mata. "Aku tidaklah hebat dalam bakat atau dalam ukuran (tubuh), tetapi saya ingin maju, saya bekerja untuk tim," tambahnya lagi.
Ia berbicara tentang bagaimana ingatan tentang ibunya sangat membantunya untuk menyelesaikan perjalanan panjang dirinya di Piala Afrika dengan cara sebaik-baiknya. Ingatan tentang kasih sayang ibunya itulah yang membuatnya kuat bertahan kendati ia sempat menderita karena tak menjadi kiper utama.
"Di momen itu saya memikirkan Tuhan dan ibuku. Ia sedang menderita. Menjadi hal yang sulit baginya ketika saya tidak bertanding (karena dicadangkan). Ia menderita karenanya," ujar Barry dengan terbata-bata menahan tangis, saat diwawancara televisi setelah laga final bersejarah itu. (simak video wawancara Barry yang menjawab pertanyaan dengan sesenggukan di bagian bawah tulisan ini).
Ini memang lapangan sepakbola, tapi ini juga cerita tentang seorang anak yang memanggul ingatan tentang ibunya di mana pun dan kapan pun juga dalam keadaan apa pun. Dan kita semua tahu, di hadapan ingatan tentang ibu yang sedang sedih, semua anak akan mengeluarkan semua yang dimilikinya untuk membuat sang ibunda tersenyum. Tak ada pertanyaan dan keraguan soal hal itu. Dan agaknya, jadi jelas sudah kenapa Barry bisa tampil kesetanan, baik saat menghadang penalti maupun saat giliran mengeksekusi penalti, bahkan walau pun ia berkali-kali kesakitan karena kram.
Selamat Pantai Gading! Juga tentu saja untuk Barry. Semoga ibumu, Barry, tak lagi menderita dengan medali yang kau bawa pulang!
Komentar