Menjadi wasit adalah soal kerendahan hati. Ia harus rela memimpin 22 orang yang digaji 400 juta rupiah per pekan, sementara dirinya hanya dibayar 22 juta rupiah setiap pertandingan. Angka tersebut belum termasuk sejumlah bonus termasuk dilempari botol, diberi acungan jari tengah, dimaki penonton dengan kata-kata kasar, hingga mendapatkan ancaman pembunuhan.
Begitulah wasit. Ia yang membuat dua kesebelasan percaya terhadap pertandingan. Namun, di lapangan, ia yang paling kesepian. Sendirian, tanpa teman.
Mari sejenak kita perhatikan profesi wasit khususnya di Liga Inggris. Pemilihan ini bukan tanpa alasan, karena kita kerap menghujat wasit di Liga Indonesia dengan mereka yang berkompetisi di Eropa.
Mudahnya Menjadi Wasit
Di Liga Inggris, siapapun bisa menjadi wasit; asalkan telah berusia 14 tahun, pelamar bisa langsung mendatangi kantor asosiasi county di penjuru Inggris. Setelah mendaftar, calon wasit akan diberikan pelatihan mengenai laws of the game yang mesti dipahami di sepakbola. Pelamar akan segera mendapatkan lisensi setelah ia memimpin enam pertandingan, dan mencapai nilai di atas 75.
Mudah? Hmmmm (Sumber gambar: dailymail.co.uk)
Mudah bukan? Benar, yang sulit adalah menjadi wasit seperti Howard Webb, Martin Atkinson, ataupun Mark Clattenburg karena ada sembilan tahapan lagi untuk mencapai tingkatan yang sama seperti mereka.
Wasit setingkat county dengan lisensi âtrainee refereesâ hanya bisa memimpin pertandingan U-15. Mereka yang memimpin Liga Inggris memiliki lisensi âSelect Group Refereesâ yang dikelola khusus oleh PGMOL, badan independen khusus wasit yang terpisah dengan Premier League.
Pemisahan ini sebagai bentuk independensi wasit karena tidak dibawahi oleh pengelola liga maupun federasi Inggris, FA.
Panjangnya tahapan yang mesti ditempuh, sejalan dengan keluaran (output) yang diharapkan. Wasit diharapkan bisa meminimalisasi kesalahan saat ia memimpin pertandingan. Wasit yang memimpin Premier League haruslah ia yang benar-benar berpengalaman, terutama yang mampu mengatasi tekanan.
Tekanan-tekanan itulah yang membuat mental wasit goyah. Teriakan penonton, hingga protes keras para pemain, tidak jarang membuat wasit mengeluarkan keputusan yang salah dan berakibat fatal bagi pertandingan, bahkan karirnya.
Lewat tahapan panjang itulah, maka jangan aneh jika wasit yang memimpin pertandingan sekelas Premier League berada pada rentang 40-50 tahun.
Digaji Murah
Respect (Sumber gambar: caughtoffside.com)
Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam soal pengupahan. Dalam satu pertandingan, wasit Premier League mendapat bayaran 1.150 pounds. Angka ini memang terlihat kecil, tapi ini belum termasuk gaji tahunan mereka yang mencapai 38 ribu pounds. Dalam setahun, wasit bisa mendapatkan 70 ribu pounds atau 1,3 miliar rupiah. Angka ini setara dengan empat hari gaji Alexis Sanchez di Arsenal.
Terlalu kasar sebenarnya menyebut 70 ribu pounds sebagai angka yang kecil. Rataan gaji di Inggris saja pada 2013 hanya 22 ribu pounds per tahun. Namun, angka ini benar-benar kecil jika dibandingkan rataan gaji pesepakbola di Premier League 2,3 juta pounds setiap tahun.
Wasit juga bukan menjadi profesi yang menguntungkan untuk jangka panjang. Karena sebuah kesalahan, seorang wasit bisa saja dipecat. Selain itu, di sejumlah liga, usia wasit juga dibatasi mulai dari 45 tahun hingga maksimal 55 tahun.
Selain menjaga Laws of The Game diterapkan dalam sebuah pertandingan, wasit juga harus menjaga kondisi tubuhnya. Ia harus secara konstan berlari hingga 90 menit menyesuaikan dengan jalannya pertandingan.
Biasa Ditekan
Bekas wasit Premier League, Mark Hashley, mengungkapkan betapa profesi wasit amatlah penuh tekanan. Usai pertandingan, walaupun terlihat tenang, tapi kecemasan dan rasa bersalah tercium pekat di ruang ganti wasit. Tidak jarang mereka hanya bisa diam, karena ada keputusan yang salah atau kejadian yang terlewatkan.
Wasit Bundesliga bahkan mesti dibawa ke rumah sakit setelah ia melakukan percobaan bunuh diri dua jam jelang pertandingan. Babak Rafati mengaku kalau ia tak kuat dengan segala tekanan yang diterima.
Pihak berwenang di Manchester pada 2009 melaporkan ada 42 serangan terhadap wasit pada tahun tersebut. Hingga 2009 saja, di Inggris, sebanyak tujuh ribu wasit dilaporkan mengundurkan diri.
Menghormati Wasit
Seorang hakim garis, yang tidak disebutkan namanya, pernah buka suara kepada Guardian. Ia mengatakan sempat membuat keputusan keliru. Ia mengakui kalau kondisi tubuhnya sedang tidak fit dan otaknya tidak sinkron. Mengapa? Karena ia harus âbekerja yang sesungguhnyaâ pada esok hari.
Kami cuma dibayar 600 pounds! (Sumber gambar: wikipedia)
Berbeda dengan wasit, hakim garis hanyalah pekerjaan âcabutanâ. Mereka hanya dibayar 600 pounds setiap pertandingan (Guardian, 2011).
Dengan beban pekerjaan yang sedemikian berat, wajar bagi kita untuk menghormati wasit. Kritik itu perlu, tapi kita juga perlu memahami apa yang mereka tanggung di pundak mereka.
Mengapa masih saja ada yang mau menjadi wasit? Jawaban sederhananya adalah karena mereka amat mencintai sepakbola. Salah satunya Oliver Dalton yang sadar kalau ia tak punya kemampuan hebat untuk berlaga di level Premier League. âTapi, siapa tahu saya bisa memimpinnya,â kata Dalton seperti dikutip The Telegraph pada 2009.
***
Wasit adalah manusia yang juga punya keluarga. Berdasarkan data Pemerintah Inggris pada 2014, rata-rata harga rumah di Inggris berkisar 177 ribu pounds. Dengan mengasumsikan setiap wasit bisa menabung 20 ribu pounds setiap tahunnya, maka dibutuhkan sembilan tahun bagi mereka untuk bisa membeli rumah.
Materi yang mereka dapat tidak sebanding dengan beban yang ada pada pundak mereka. Karena menjadi wasit adalah soal kerendahan hati. Ia yang mengawasi 22 orang berlari memperebutkan bola yang bergulir silih berganti. Ia juga yang berbeda sendiri, dan yang pasti keputusan-keputusannya selalu dinanti. Tanpa wasit mungkin mereka hanya akan berkelahi.
 Baca juga:Studi menunjukan wasit lebih memihak tuan rumah
Sumber gambar: eurosport
Komentar