Hampir setiap orang akan menghabiskan waktu bersama pujaan hatinya selama Valentineâs Day. Untuk kalangan anak sekolah, di Hari Valentine biasanya akan dilakukan dengan cara memberikan cokelat atau bunga kepada orang yang disukai. Untuk kalangan mahasiswa ritual memberikan cokelat dan bunga bisa sedikit berubah menjadi ajakan makan malam dengan sedikit memberi gimmick-gimmick lilin di atas meja makan beserta bunga dan kartu ucapan.
Dan bahkan tak jarang Hari Valentine yang bertepatan di akhir pekan ini menjadi pilihan bagi pasangan kekasih untuk mengikrarkan janji di hadapan tuhan bersama belahan jiwanya.
Lantas, apakah jika di Hari Valentine harus melulu menyinggung kisah kasih sayang tentang wanita dan pria? Bagaimana nasib orang-orang yang saling menyayangi sesama jenis dapat menunjukan kecintaannya? Di mana tempat mereka untuk menunjukan kepada khalayak ramai jika seseorang yang menyukai sesama jenis ingin merayakan hari kasih sayang secara terbuka?
Lagi-lagi sepakbola mencoba menghadirkan sebuah solusi untuk seluruh kalangan minoritas. Dalam hal ini adalah kaum pecinta sesama jenis.
Kesebelasan Bologna mencoba menerobos masuk untuk mengatasi diskriminasi homopobic dengan menggunakan sepakbola sebagai alat penyamarataan hak-hak manusia dalam hal kasih sayang. Bologna memberikan tawaran bagi pemilik tiket musiman untuk membawa pasangannya ke stadion saat Bologna menjamu Ternana 14 Februari ini. Para pemegan tiket musiman cukup menunjukan tiketnya dan menambah 1 Euro atau sekitar 14.500 rupiah.
Langkah ini mendapat apresiasi dari LGBT Group (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Mereka menyatakan jika langkah tersebut mendorong setiap pasangan berjenis apapun untuk menghadiri pertandingan. Mereka beranggapan jika ini bisa menjadi signal inklusi yang dapat membantu penyelarasan status di dalam stadion, terutama di Renato DallâAra.
LGBT pun sejatinya telah mencoba mencari simpati masyarakat dengan cara membentuk asosiasi sepakboal International Gay and Lesbian Football Association atau yang dikenal dengan IGLFA pada tahun 1992.
Di Skotlandia, kelompok gay serius membangun sepakbola. Mereka membangun kesebelasan bernama HotScots FC pada 24 Februari 2007. Ternyata, klub ini makin eksis dan berkembang. Bahkan anggota tim ini terdiri dari berbagai latar belakang. Meski didominasi pemain gay, tim ini juga menerima pemain heteroseksual. Kebangsaan Skotlandia, Irlandia, Inggris, Perancis, sampai Rumania.
Apalagi, kemudian di London diadakan London 2008 IGLFA World Championship pada Agustus 2008. HotScots FC berprestasi di turnamen itu dan namanya pun makin dikenal.
"Yang terpenting membongkar benteng yang menghalangi kaum gay menikmati sepakbola. Olahraga harus bisa dinikmati siapa saja, tak peduli orientasi seksnya," ujar Ketua HotScots F, Kevin Rowe.
Isu homoseksual merupakan api dalam sekam di lapangan hijau. Dan dalam hal mengatasi diskriminasi di sepakbola, tindakan Bologna adalah salah satu langkah yang nyata. Sesuai dengan tujuan FIFA yang menginginkan sepakbola dapat dinikmati oleh semua kalangan hingga menghasilkan banyak keuntungan yang didapat.
Karenanya, kita selaku pecinta sepakbola pun harusnya tak lagi ringkih akan hal seperti ini. Seperti yang dilakukan Bologna, ini pun bisa menjadi momentum bagi kita untuk mengikis diskriminasi gender dalam sepakbola. Ini akan menjadi bentuk aktivitas pembuktian manusia-manusia yang termarjinalkan untuk ikut berpartisipasi mencapai prestasi tanpa pandang bulu, meskipun masih berada dibawah bayang- bayang kaum mayoritas. Dan ini tentunya akan menghadirkan cerita baru tentang kemanusiaan dalam sepakbola.
Komentar