Hari ini enam puluh empat tahun lalu di Glasgow, lahir seorang anak laki-laki bernama Kenneth Dalglish. Nama tengahnya Mathieson. Ia lebih dikenal dengan nama kecilnya, Kenny.
Kenny Dalglish, seperti kebanyakan anak laki-laki, tumbuh besar menyukai sepakbola. Ia kemudian berkarir sebagai pemain sepakbola profesional dan meraih sembilan gelar juara bersama kesebelasan lokal, Celtic.
Hamburger SV, kesebelasan Jerman, tertarik kepada Kevin Keegan dan berhasil membawanya keluar dari Liverpool. Tak kuasa menahan Keegan, Liverpool kemudian menggunakan dana transfer yang mereka dapat untuk merekrut Dalglish dari Celtic (mengingat di kemudian hari Keegan menerima julukan King Kev dari para pendukung Newcastle United, bolehlah dikatakan kedatangan Kenny ke Liverpool adalah kedatangan seorang raja baru untuk mengganti raja lama; walaupun saat itu Kenny belum menerima julukan King Kenny dan Keegan belum dikenal sebagai King Kev).
Sama seperti ketika membela Celtic, Dalglish bergelimang gelar di Liverpool. Ia juga begitu dihormati dan memiliki kemampuan taktikal yang diakui sehingga ketika Joe Fagan meninggalkan Liverpool di tahun 1985, Dalglish menjalankan peran player-manager.
Pencapaiannya bersama The Reds secara keseluruhan adalah Delapan gelar juara First Division, tiga FA Cup, lima League Cup, delapan Charity Shield, satu Super Cup, tiga European Cup, dan satu UEFA Super Cup. Selain Liverpool, kesebelasan lain yang sempat merasakan bukti nyata kemampuan Dalglish meramu taktik adalah Blackburn Rovers dan Celtic.
Selain gelar juara yang sangat banyak jumlahnya, Dalglish menghiasi hari-harinya di Liverpool dengan banyak hal baik. Salah satu yang terbaik adalah Ian  Rush.
âKami melengkapi satu sama lain dengan sangat baik,â ujar Dalglish mengenai Rush sebagaimana dikutip dari buku The Anatomy of Liverpool karya Jonathan Wilson dan Scott Murray. Bersama Rush, Dalglish tak hanya mampu membuat barisan pertahanan lawan terus menerus berada dalam tekanan. Ia juga mampu memberi perlindungan kepada rekan-rekannya.
âRush adalah pasangan terbaik yang saya miliki di Liverpool. Kami juga memainkan peran yang seringkali luput dari pengamatan orang-orang. Bob Paisley berkata bahwa kami adalah lapisan pertama barisan pertahanan. Ketika lawan menguasai bola, Rushie dan saya bekerja keras agar gelandang dan para pemain belakang memiliki waktu untuk kembali mengatur posisi,â lanjut Dalglish mengenai pasangannya.
Selain Rush, ada pula kisah lucu dari Roma. Saat Liverpool tiba di Roma untuk menjalani pertandingan final European Cup 1984. Lawan mereka adalah AS Roma, penguasa kota dan stadion tempat pertandingan final dilangsungkan.
Para pendukung Roma melakukan apapun yang mereka mampu untuk meneror para pemain Liverpool, termasuk mengadakan pesta jalanan di dekat hotel tempat Liverpool menginap. Para pemain Liverpool tidak terganggu, namun Dalglish dan Graeme Souness yang berada dalam satu kamar yang sama tidak dapat tidur.
Lucunya, bukan pesta jalanan yang mengganggu mereka, melainkan bunyi radio dari kamar sebelah. Dalglish dan Souness mengetuk pintu kamar sebelah namun tidak mendapatkan jawaban. Keduanya kemudian melayangkan keluhan kepada bagian resepsi. Beberapa menit berselang, suara radio tak lagi terdengar.
Esok paginya, Dalglish dan Souness baru menyadari bahwa penghuni kamar sebelah adalah manajer mereka sendiri, Joe Fagan.
Komentar