Tanggal 20 Maret menjadi tanggal yang spesial bagi rakyat Tunisia. Karena 59 tahun yang lalu, 20 Maret 1959, negara Islam daerah Afrika Utara ini berhasil merebut kemerdekaannya dari negara Prancis.
Berbicara mengenai Tunisia, sepakbola adalah olahraga nomor satu di negara dengan pemerintahan republik ini. Bahkan di negara yang memiliki penduduk sekitar 11 juta jiwa ini, sepakbola begitu berpengaruh karena menjadi alat revolusi dan perlawanan terhadap pemerintah yang otoriter.
Yang terhebat terjadi setelah kejadian 17 Desember 2010. Seorang pedagang kaki lima berusia 26 tahun bernama Mohammed Bouazizi melakukan tindakan yang di luar nalar. Muak karena seringkali mendapatkan siksaan dan kekerasan dari majikannya, ia bunuh diri dengan membakar dirinya sendiri.
Di Tunisia kekerasan pada anak buah dari majikan memang kerap terjadi. Dan apa yang dilakukan Bouazizi ini merupakan sebuah tindakan yang mengubah tidak hanya Tunisia, melainkan seluruh Timur Tengah.
Pegorbanan yang dilakukan Bouazizi ini disebut sebagai âArab Springâ atau musim panas Arab. Dan dampak dari âmusim panasâ ini mempengaruhi lanskap politik di wilayah Tunisia dan juga berdampak pada olahraga paling popular di Tunisia: sepakbola.
Tiga hari berselang setelah insiden pembakaran diri Bouazizi. Protes dan pemberontakan melawan pemerintahan rezim Zine El Abidine Ben Ali yang telah memimpin Tunisia selama 23 tahun mulai bermunculan. Mereka mulai berani menentang tindakan pemerintah rezim Ben Ali yang identik dengan korupsi, penindasan, kurangnya kebebasan dan hak-hak, pelanggaran HAM, kemiskinanan yang merajalela, dan masih banyak lagi.
Hal yang paling terasa oleh rakyat Tunisia dalam kepemimpinan otoriter Ben Ali adalah korupsi, tingkat pengangguran yang tinggi dan inflasi pangan. Untuk mendapatkan hak mereka, mereka berani menentang Ben Ali bahkan hingga bentrok dengan militer pemerintah yang menyebabkan kematian sekitar 300 orang.
Meski dalam setiap protes dan unjuk rasa selalu berbuah kekerasan dan pertumpahan darah, aksi ini tak pernah berhenti. Dan hasilnya, ketekunan, pengorbanan, dan keberanian mereka terbayar lunas pada 14 Januari 2011: Ben Ali melarikan diri dari Tunisia.
Jatuhnya pemerintahan Ben Ali, juga rambatan revolusi bunga di berbagai rezim di Timur Tengah sebagai dampak lanjutan dari aksi bakar diri Bouazizi itu, juga berpengaruh besar pada Federasi Sepakbola Tunisia (FTF). Meski sepakbola Tunisia cukup sukses dengan sejumlah prestasi yang diraih, nyatanya FTF tak pernah lepas dari berita miring penuh kontroversi.
FTF dituding terlalu ditunggangi oleh pemerintah. FTF pun identik dengan korupsi, pengaturan skor, dan kedekatan dengan para pemegang hak suara yang menyebabkan Ali Hafsi selalu terpilih menjadi ketua FTF. Tuduhan yang wajar karena Ali Hafsi memiliki hubungan dekat dengan sang presiden, Ben Ali.
Setelah Ben Ali digulingkan, kursi presiden FTF pun otomatis mulai panas. Ali Hafsi pun dituntut untuk mundur dari jabatannya. Hal ini didukung oleh beberapa mantan pemain timnas Tunisia seperti Tarek Dhiab, Othman Jenayah, dan lawannya dalam pemilu terakhir, Ridha Ayed. Barulah pada 6 April 2011, tiga bulan setelah Ben Ali lari, Ali Hafsi menyatakan mundur dari jabatannya sebagai ketua FTF dan digantikan Anwar Haddad yang lebih âbersihâ.
Revolusi ini menjadikan sepakbola lebih demokratis di Tunisia. Club Africain, salah satu kesebelasan terbesar Tunisia, menjadi kesebelasan pertama yang secara demokratis memilih presiden klub mereka. Langkah ini diikuti oleh kesebelasan lain, Atletique Benzertain.
Namun prestasi terbaik pasca revolusi ini adalah kiprah Tunisia di African Champioship Of Nations (CHAN). Kompetisi yang tak pernah dianggap serius pada era Ali Hafsi ini mulai diikuti dengan persiapan yang matang. Dan dengan persiapan yang matang ini, Tunisia berhasil jadi juara pada tahun yang sama dengan dilengserkannya Ali Hafsi, 2011.
foto: actusports.fr
Komentar