Oleh Marini Anggitya
Camp Nou bergemuruh lagi. Di dalam gemuruh itu ada kelegaan, ada takjub, ada pula dukungan dan puja-puji. Gemuruh yang hanya bisa terjadi saat jagoanmu berhasil membuktikan kalau keberadaannya di lapangan itu tak pernah salah. Gemuruh yang berarti keriaan akibat keunggulan sedang berpihak padamu, keunggulan yang ditandai oleh berubahnya kombinasi angka pada papan skor.
Pada menit ke-77, Lionel Messi mencetak gol pertamanya. Memanfaatkan kesalahan Juan Bernat, Dani Alves mengirim satu umpan untuk Lionel Messi. Umpan diterima, sepakan keras dari luar kotak penalti diarahkan ke gawang lawan. Tak ada yang bisa menghalangi, termasuk penjaga gawang sekelas Manuel Neuer.
Bayern Munich boleh bertandang ke Camp Nou dengan percaya diri. Bukan cuma dibekali pesepakbola-pesepakbola kelas wahid, Pep Guardiola pun datang sebagai orang yang berbeda; sebagai orang lain, karena ia berdiri di sisi yang lain. Pep yang sekarang adalah yang berpihak pada Bayern.
Pep amat paham seperti apa bentuk Barcelona. Ia melatih di Barcelona selama empat tahun. Pengalaman ini belum termasuk saat ia melatih Barcelona B.
Pep kenal siapa Messi dan Alves. Ia paham seperti apa tiki-taka dan umpan segitiga. Ia juga hafal trofi-trofi yang berhasil diangkat Barcelona. Ia  pun sadar akan obsesi mantan anak-anak asuhnya. Namun, satu hal yang dibuktikan malam itu, bahwa sepakbola bukan hanya pemahaman akan hal-hal lampau.
Pesepakbola Idola
Dalam Soccer in Sun and Shadow, Eduardo Galeano bercerita soal âpesepakbola idolaâ dan gol. Katanya, âpesepakbola idolaâ itu adalah orang-orang yang memang dilahirkan untuk menjadi pesepakbola.
Ada dewa-dewa yang mencium kaki mereka; kaki yang tak terawat dan tak pernah akrab dengan perlakuan-perlakuan halus. Namun, kaki-kaki seperti itulah yang dipilih dan dibaptis menjadi kaki yang tak sekadar digunakan untuk berjalan atau berlari.
âPesepakbola idolaâ tak perlu bersusah payah mengejar bola, karena bolalah yang akan mengejar mereka. Bola-bola itu perlu âSang Idolaâ. Tanpanya, mereka hanya akan menjadi benda bundar tanpa makna. Mereka hanya akan ditendang dari satu sudut ke sudut lain. Namun lewat kaki âSang Idolaâ, ia akan dihujani pujian. Akan ada cerita-cerita manis dan sejumlah epos tak terlupakan yang tumbuh seiring dengan gelindingnya di lapangan hijau.
Membicarakan hubungan antara seorang idola dan bola sama dengan membicarakan intimasi (keakraban). Seorang idolalah yang akan berbicara dengan bola. Ada pembicaraan-pembicaraan pribadi antara âSang Idolaâ dan bola. Jika Lionel Messi bisa disebut sebagai âpesepakbola idolaâ, ada juga pembicaraan yang seperti itu antara ia dan bola yang digunakan. Malam itu, ada t?te-a- t?te antara Messi dan si bola.
Karena bersifat pribadi, dari hati ke hati, tentulah pembicaraan itu tidak digembar-gemborkan kepada orang banyak. Tak ada yang tahu, pembicaraan yang lebih baik menjadi rahasia agar maknanya tak bergeser. Namun jika mengingat-ingat apa yang terjadi malam itu di Camp Nou, rasanya pembicaraan mereka adalah pembicaraan tentang bagaimana mengembalikan keriaan sepakbola.
Saat berbicara tentang gol, Eduardo Galeano juga menyinggung kecenderungan sepakbola masa kini. Jika sepakbola yang dulu adalah tentang mencetak gol, maka sepakbola âsaat iniâ adalah tentang mencegah terciptanya sebuah gol. Malam itu, Bayern Munich tampil sebagai kesebelasan kekinian. Kesebelasan yang mati-matian berusaha mencegah terciptanya sebuah gol.
Di Camp Nou, Munich tampil serupa benteng. Barangkali trio Suarez-Messi-Neymar memang terkesan begitu menakutkan, sampai-sampai Pep menugaskan Alonso, Thiago, Schweinsteiger dan Bernat sebagai empat gelandang bertahan di lapangan tengah.
Barcelona asuhan Luis Enrique juga bukan kesebelasan yang menyerang melulu. Karena toh, sebelum gol pertama pada menit ke-77 itu tercipta, Barcelona terlihat berkali-kali menggagalkan serangan yang sedang dibangun oleh Munich.
Namun, sepakbola akan menjadi hal paling membosankan jika pertahanan adalah hal yang selalu didewa-dewakan. Sekuat-kuatnya pemain Munich bertahan, nyatanya ada juga yang kehilangan kendali. Waktu itu, seorang gelandang bertahan Munich mangkir sejenak dari tugasnya. Ia terpancing. Messi, âSang Idolaâ tak tinggal diam. Matanya terlalu jeli untuk tak melihat ruang yang terbuka baginya. Ia mengambil bola dari Ivan Rakitic, mengelabui Boateng dan mengalahkan Neuer. Ia mencetak gol yang tak biasa dan mengomando sorak-sorai seisi Camp Nou.
Membantu Pep Menikmati Nostalgia
Jika kepulangan Pep ke Camp Nou harus berakhir muram, rasanya Messi tidak pernah bermaksud untuk merusak nostalgia mantan pelatihnya itu. Toh, jika mau dibahas nostalgia berasal dari bahasa Yunani ânostosâ yang berarti pulang ke rumah dan âagiaâ yang berarti kesedihan karena pulang ke rumah. Jadi secara harfiah, tak ada yang dirusak Messi. Malahan ia membantu Pep menikmati nostalgia yang sebenar-benarnya.
Namun di atas segalanya, barangkali lewat kedua golnya Messi juga ingin berbicara kepada Pep. Sebagai âpesepakbola idolaâ, ia ingin berbicara dengan bola yang kerap diolah oleh kedua kakinya. T?te-a- t?te, pembicaraan empat mata dan dari hati ke hati tentang sepakbola yang seharusnya. Pembicaraan yang tak menyangkali kalau pertahanan bisa mengantarkanmu sebagai juara. Sepakbola itu bukan permainan benteng-bentengan, keriaannya muncul saat sebuah golâapalagi yang tak biasaâtercipta.
Sumber gambar: sportige.com
Penulis aktif di twitter dengan akun @marinisaragih
Komentar