Mulai hari ini: Pangeran Siahaan dan Marini Saragih resmi menjadi bagian dari Pandit Football Indonesia.
Kendati baru bergabung hari ini, keduanya bukan orang yang sama sekali tidak kami kenal. Sebagai sesama penggiat genre football writing tentu saja kami saling tahu dan kenal, bukan hanya melalui tulisan tapi juga melalui interaksi tatap muka.
Pangeran Siahaan bahkan sudah kami kenal dengan baik jauh sebelum Pandit Football Indonesia berdiri, bahkan jauh sebelum ide membuat Pandit Football Indonesia muncul. Sekitar 2008, saya lupa persisnya, kami sudah berinteraksi di sebuah forum suporter. Dia mengirim pesan pribadi dan bertanya tentang praktik menulis.
Setelah itu, khususnya selepas Piala AFF 2010 yang legendaris itu, interaksi saya dengannya semakin intens. Beberapa kali bertemu dalam forum diskusi, beberapa kali pula berdiri bersama di tribun. Ia yang pertama menggabarkan spanduk merah buatan saya yang menggemparkan di laga Indonesia vs Laos pada Piala AFF 2010. Ia juga yang berada di samping Andreas Marbun, managing director kami, ketika yang bersangkutan hendak ditangkap Polisi Diraja Malaysia di Stadion Bukit Jalil, pada laga pertama final Piala AFF 2010.
Saya masih ingat pertama kali membaca esai sepakbolanya, 2009 silam, esai tentang kejenakaan Ian Holloway, yang diunggah di sebuah kolektif-blog yang kini sudah almarhum. Saya menyukai esai itu karena kemampuannya memotret kejenakaan di lapangan hijau.
Saya akan selalu menganggapnya sebagai creatio ex-nihilo, âlahir dari kekosonganâ. Maksudnya: ia tak lahir dari â sejauh yang saya tahu-- kantung-kantung penulisan yang saya kenal. Tidak dari organisasi mahasiswa yang punya tradisi menulis, tidak juga dari pers mahasiswa yang saya kenal. Ia muncul sebagai penulis, di mata saya, dari âkekosonganâ.
Sejak itu, hingga hari ini, saya mengikutinya sebagaimana seorang penulis mencermati penulis yang lain, tentu dengan membaca tulisan-tulisannya (walau tak selalu). Ya, sebagai penulis. Bukan yang lain. Saya bisa menjelaskan fase-fase kepenulisannya, setidaknya dari segi gaya, sejak esai Ian Halloway hingga esai terakhirnya yang tayang di situs Pandit Football Indonesia.
Saya senang ia sempat membangun sebuah situs sepakbola www.bolatotal.com dengan semangat new-media -- sebagaimana kami (sayang bolatotal memilih vakum sampai entah kapan, keputusan yang diambil sebelum Pangeran Siahaan dan Marini memutuskan bergabung dengan kami). Begitu juga tiap kali mengetahui teman-teman yang lain melakukan hal serupa â ada yang membangun www.fandom.id, ada yang membuat www.labbola.com, juga yang lain.
Saya selalu merasa genre football writing ini sebagai sawah-ladang yang masih harus dibajak dan dicangkul bersama-sama, dengan bajak dan cangkul masing-masing, melalui medianya sendiri-sendiri. Sawah-ladang ini masih harus terus digemburkan agar lebih subur, lebih hijau, dan lebih kaya warna. Satu sama lain, menurut hemat saya, masih perlu untuk terus mencari irisan yang saling mempertautkan, bukan memisahkan -- setidaknya hingga beberapa waktu mendatang.
Ini sebuah kerja bersama, proyek yang membutuhkan nafas panjang untuk berbareng-bergerak.
Pangeran Siahaan bergabung dengan Pandit Football Indonesia, dengan jalan mengakuisisi sekian persen saham Pandit Football Indonesia, tentu saja dengan kalkulasi bisnis tertentu. Kalkulasi yang seharusnya menguntungkan kami, juga memberikan keuntungan buatnya. Ini sudah seharusnya dilakukan dan dikejar. Juga buat teman-teman lain yang bersiteguh membangun situs sepakbola yang (katakanlah) semodel dengan kami.
Simak tulisan perdana Pangeran Sihaan di situs kami: Attack! Attack! Attack!
Tapi kalkulasi binis adalah satu hal, dan menghidupkan genre football writing adalah hal yang lain. Kami merasa mendapatkan suntikan pikiran dan tenaga yang signifikan dengan bergabungnya dia bersama kami. Ia, barangkali, dan demikianlah kami berharap, bisa menjadi super-sub yang âmematikanâ. Secara berkala ia akan berusaha menulis tulisan dengan gaya yang (mungkin) agak berbeda di situs kami. Nantikan saja.
Bukan tanpa alasan. Saya kira dialah orang pertama yang bisa disebut sebagai representasi football writer di zaman digital. Bukan yang lain. Juga bukan saya. Apalagi Sumohadi Marsis atau Sindhunata. Anda, tentu saja, boleh tak sepakat. Tapi demikianlah kesimpulan saya.
Sementara Marini Saragih juga sudah kami dan saya kenal sebelumnya. Di awal-awal Pandit Football Indonesia sedang bersiap membangun situs sendiri, tidak hanya menjadi partner detik.com untuk mengisi kanal About the Game, kami sempat berinteraksi beberapa kali.
Saya ingat dia hadir di beberapa kelas menulis yang dibuat untuk kepentingan internal. Bersama Fajar Rahman, ia datang ke sebuah pabrik konveksi di Buah Batu, dan ikut asyik mengikuti kelas menulis yang digelar di antara mesin jahit, alat nge-press kain, dengan bau cat sablon yang mengambang di sudut-sudut ruangan (setahun lamanya kami berkantor di pabrik konveksi sebelum menempati kantor yang sekarang). Fajar pernah beberapa bulan menjadi staf penulis di Pandit Football secara paruh waktu. Kini giliran Marini.
Saya tidak tahu seberapa besar dampak kelas-kelas menulis itu bagi perkembangan intelektualnya sebagai penulis. Yang saya tahu, tulisannya semakin menderas, makin baik, juga makin menemukan gayanya yang khas. Pelan tapi pasti, Marini tumbuh menjadi penulis dengan âpasarnyaâ sendiri. Ia bukannya tidak punya pembaca setia.
Marini akan bertugas sepenuhnya sebagai salah satu staf penulis. Bergabungnya Marini membuat jumlah staf penulis kami kini lengkap menjadi 11. Dengan sedikit memelesetkan kata-kata Raymond Duncan, seorang penari dan penyair Amerika, dengan bergabungnya Marini di newsroom kami, bisalah kini saya katakan: âThe best substitute for experience is being eleven.â
Anda bisa membaca tulisan perdana Marini Saragih di situs kami: Usaha Mengabadikan Keindahan dengan Sewajarnya.
Demikianlah. Tentu saja mutu kami tidak serta merta menjadi lebih baik hanya dengan bergabungnya seorang dua orang baru. Ada banyak hal yang harus diperbiki, terus diperbaiki. Saya tahu kritik semakin deras, seiring kian berkembang dan meluasnya pembaca kami. Kritik yang halus maupun yang kasar, dengan me-mention atau no-mention, terbuka atau tertutup, tak pernah membuat kami kecil hati, sudah pasti juga tak akan bikin kami menjadi bebal.
Ada perbaikan yang kami lakukan sebagai respons atas kritik-kritik itu, walau harus diakui ada juga yang agak sulit untuk dipraktikkan. Barangkali ini soal pilihan saja. Dan setiap orang memang kadang harus mengambil pilihan. Sulit atau tidak, disukai atau tidak.
Dalam beberapa waktu terakhir, saya juga melihat perkembangan yang luar biasa dalam genre football writing ini. Beberapa situs sepakbola bergaya new-media terus tumbuh, dan semoga terus bertambah. Jumlah tulisan sepakbola (non-berita) semakin banyak, dengan mutu yang juga semakin bagus. Peningkatannya signifikan.
Saya tahu karena saya mengikuti (kadang dengan diam-diam), juga melakoni, genre football writing ini sejak 2004. Penulis analisis pertandingan semakin banyak, dengan mutu yang terus membaik, bukan sekali dua kali bahkan lebih baik dari yang kami buat. Juga penulis cerita-cerita pendek bertema sepakbola. Juga yang lain lagi. Dan sebagainya.
Sebagai salah satu pelopor (new-)media yang mengaktifkan genre football writing, kami antusias dengan perkembangan ini. Akan tiba suatu masa ketika jumlah para penulis sepakbola akan sama banyaknya dengan para penulis film, musik, kuliner bahkan seni rupa atau seni pertunjukan sekali pun (dua yang terakhir, secara jumlah, akan dengan mudah dilibas).
Menariknya lagi, dalam genre football writing ini, nyaris tidak ada âpusatâ. Jika ada kantung-kantung yang menjadi kiblat penulisan sastra, film atau musik, dalam rupa komunitas atau majalah/terbitan berkala atau organisasi, tidak demikian dengan genre football writing. Tabloid Bola, saya kira, tidak lagi menjadi âpusatâ, atau âkiblatâ, jika memang mereka pernah jadi seperti itu. Ini masih hipotesa yang masih terbuka untuk didiskusikan.
Ini tantangan yang perlu dicermati, direspons dan dijawab dengan terus menerus meningkatkan mutu, kualitas, juga kemampuan. Tentu saja sembari terus membuka diri terhadap kritik â menyimak dan memilahnya, dan mengambil-oper kritik-kritik itu menjadi serentetan perbaikan yang tak boleh sudah.
Kami akan terus berbenah. Dalam waktu dekat akan ada perubahan tampilan website yang akan diikuti dengan konsep baru dalam produksi konten yang kami tayangkan di www.panditfootball.com.
Dengan merujuk kutipan penting dari Arnold J. Toynbee, sejarawan yang mendedahkan konsep respons and challenge untuk memahami laju sejarah peradaban, bolehlah saya bilang bahwa genre football writing adalah sebuah gerak dan bukan keadaan, merupakan suatu perjalanan dan bukan pelabuhan (a movement and not a condition, a voyage and not a harbor).
Mari menulis lagi, lagi dan lagi!
Komentar