Ketika Tim Nasional Myanmar U-19 berhasil mencapai semifinal AFC Cup U-19 2014, dan berarti lolos ke Piala Dunia U-20 edisi 2015, tidak sedikit cibiran dialamatkan kepada mereka. Faktor tuan rumah, katanya.
Kepada orang-orang yang menyangsikan kehebatan Myanmar, keberhasilan Tim Nasional Myanmar U-23 mencapai final Sea Games 2015 â menantang Thailand dan berpeluang meraih emas pertama mereka di sana â rasanya harus ditunjukkan. Catatan lain: Myanmar melangkah ke final juga dengan mengalahkan Indonesia di babak grup melalui performa yang terhitung meyakinkan. Sulit untuk menyebut kemenangan Myanmar atas Indonesia di Sea Games sebagai kebetulan.
Rentetan keberhasil Myanmar ini, jika memang ingin belajar untuk terus memperbaiki diri, mestinya disikapi sebagai fenomena serius yang terlalu sepele untuk dianggap semata sebagai kebetulan. Performa Myanmar itu, karena terjadi beruntun, seharusnya menyiratkan sebuah perbaikan dan pembenahan internal yang serius.
Tapi perbaikan dan pembenahan internal macam apa yang dilakukan Myanmar? Tentu saja ini semua berkat kemauan kuat federasi sepakbola mereka (MFF). Tapi, sekali lagi, dalam soal apa?
Salah satu jawabannya, barangkali, keseriusan dalam menjemput bola dan memaksimalkan segala kemudahan yang diberikan FIFA. Iya, FIFA.
Terlepas dari tuduhan korupsi, presiden yang itu-itu saja sejak 1998 (hingga ia-yang-tidak-perlu-disebutkan-namanya-karena-kita-semua-sudah-tahu mengundurkan diri pada 2 Juni lalu), dan segala bobrok lainnya, FIFA memiliki beragam program yang bertujuan meningkatkan kualitas sepakbola di seluruh dunia. Dan program ini â terkejutlah jika perlu â berjalan dan memberi manfaat serta kemudahan nyata.
FIFA mengucurkan dana kepada federasi sepakbola yang membutuhkan dan mengajukan proposal kepada mereka. Kepada federasi yang membutuhkan pelatihan, FIFA mengirim ahli. Myanmar menikmati hasil dari kemauan MFF memaksimalkan fasilitas ini. Indonesia, sayangnya, tidak. PSSI tidak sesigap MFF.
Kemudahan dan bantuan yang ditawarkan benar-benar ada. Hak-hak mendapatkannya hilang dari Indonesia seiring dengan dijatuhkannya hukuman terhadap PSSI oleh FIFA. Sialnya, sebelum FIFA menjatuhkan hukuman, PSSI belum banyak memanfaatkan fasilitas yang sudah ada sejak lama (program pemberian dana bernama Goal Programme saja sudah ada sejak 1998) ini.
Sejauh ini baru satu proposal permintaan dana PSSI yang disetuji FIFA. Pada 3 September 2013 FIFA mengabulkan permohonan dana untuk pembangunan lapangan artifisial di Pusat Latihan Tim Nasional Usia Muda di Sawangan, Depok dan mengucurkan dana sebesar 500 ribu dolar Amerika Serikat. Sementara pergerakan PSSI baru menghasilkan satu gol, proposal MFF sudah tembus sebanyak lima kali.
Dua belas tahun â tepatnya pada 4 Juli 2001 â sebelum proposal PSSI disetujui FIFA, MFF sudah mendapat bantuan dana sebesar 738.800 dolar AS dari FIFA untuk pembangunan gedung kantor pusat mereka. Tiga tahun setelahnya MFF kembali mendapat bantuan dana untuk pembangunan akademi sepakbola di Mandalay. Uang saku 60 pemain U-15 yang menimba ilmu di akademi sepakbola Mandalay sepenuhnya didapat dari FIFA lewat proposal yang disetujui pada Maret 2010.
Renovasi stadion nasional juga memanfaatkan dana dari FIFA. Yang terbaru, 25 September 2012, MFF mendapat bantuan dana untuk pembangunan gedung akademi (termasuk asrama, kantor, ruang kelas, kantin, dan gymnasium) di Pusat Latihan Nasional.
Selain gesit menjemput bola, Myanmar juga lebih efektif memanfaatkan dana yang mereka dapatkan dari FIFA. Semua dana yang dikucurkan untuk pembangunan gedung kantor MFF digunakan untuk tujuan yang disebutkan. Begitu juga dengan dana pembangunan akademi sepakbola di Mandalay dan uang saku 60 siswanya yang masing-masing berjumlah 400 ribu dan 655.396 dolar AS.
Hanya dalam renovasi stadion nasional MFF tidak memaksimalkan dana (748.727 dari 1.398.727 dolar AS, sedangkan rincian dana yang terpakai untuk program pembangunan gedung akademi di Pusat Latihan Nasional belum belum dikeluarkan) yang mereka dapatkan. Sementara itu dari 500 ribu dolar AS yang diterima PSSI untuk pembangunan lapangan artifisial di Sawangan, hanya 124.950 dolar AS yang terpakai.
Tak hanya lambat menjemput bola dalam urusan dana, di kategori Technical Activities pun PSSI memang tidak lebih rajin menimba ilmu ketimbang MFF. Sementara MFF sudah menjalankan 53 aktivitas, PSSI baru 15. Di tiga sub-kategori, Indonesia bahkan kalah telak dari Myanmar.
Di sub-kategori akar rumput (Grassroots), PSSI tidak melakukan aktivitas apa pun sementara MFF menjalankan empat aktivitas dan dikirimi empat ahli dari empat negara berbeda oleh FIFA. Untuk sub-kategori sepakbola perempuan (Womenâs Football), PSSI hanya menggelar satu konsultasi sementara MFF melakukannya sebanyak empat kali plus satu aktivitas lain yang berhubungan dengan sepakbola perempuan.
Kekalahan paling telak, bagaimanapun, terjadi di sub-kategori Performance Activities: Indonesia 2-29 Myanmar. Termasuk di dalam 29 aktivitas tersebut adalah event management and competitions; manajemen acara dan kejuaraan.
Dengan semua data di atas, keberhasilan Myanmar lolos ke Piala Dunia U-20 dan mencapai final SEA Games sementara Indonesia gagal menyamai kedua prestasi tersebut tidak mengejutkan, bukan? (ad)
Sumber data: Goal Programme Myanmar dan Goal Programme Indonesia serta Technical Activities Myanmar dan Technical Activities Indonesia.
Komentar