Oleh:Â Ibnu Sina Meliala
Tersingkirnya Ajax dari fase grup Liga Champions musim ini, kembali mengangkat terminologi yang tak asing lagi didengar: Anti-Football. Kala itu, pelatih Ajax, Frank De Boer mengkritik habis-habisan cara bermain AC Milan yang dinilainya telah melukai dan mencoreng etika sepakbola yang berazaskan fair play dan juga respect.
Penggunaan kata anti-football sebenarnya sudah muncul ke permukaan jauh sebelum kasus AC Milan melawan Ajax pada Desember lalu. Pada tahun 1968, Gary Armstrong dan Richard Giulianotti pun sempat memberikan âsanjunganâ ini kepada tim asal Argentina, Estudiantes de La Plata, dalam buku âFear and Loathing in World Footballâ.
Begitu juga dengan salah satu aktor utama taktik total football pada tahun 70-an, Johan Cruyff. Ia menolak keras konsep anti-football tersebut. Cruyff mengkritisi cara bermain Brazil, yang menjuarai Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, yang, menurutnya, hanya memaksimalkan serangan dari kesalahan-kesalahan lawan.
Tak berhenti sampai di situ. Cruyff bahkan mencela negaranya sendiri, Belanda, saat tim Oranje berhasil lolos ke final Piala Dunia 2010, dengan alasan yang sama, Anti-Football.
Tak heran memang, Cruyff memang identik sebagai penganut sepakbola yang mengutamakan estetika permainan dan gerakan yang dinamis dari setiap individunya. Filosofi Cruyff membuat timnas Belanda, pada masanya, menjadi tim terindah untuk disaksikan. Walaupun akhirnya Belanda gagal pada final Piala Dunia 1974 karena kalah dari Jerman Barat.
Tapi apa sebenarnya anti-football itu? Mengapa taktik ini seolah dibenci oleh para purist yang katanya menyukai keindahan?
Jawabannya mungkin sederhana. Jika kemenarikan sebuah permainan bola terletak pada gol, maka anti-football malah menciptakan cara-cara untuk menghentikan sebuah gol. Kreativitasnya bukan dicurahkan untuk kreasi, tapi justru untuk menghancurkan.
Sentimen ini juga didukung oleh sepakbola yang kini jauh lebih defensive dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu buktinya adalah perhelatan Piala Dunia 2010. Semenjak turnamen ini diubah ke dalam format 32 peserta pada 1998, Piala Dunia Afrika Selatan tercatat sebagai turnamen dengan gol paling minim.
Total gol yang tercipta pada turnamen akbar tersebut hanya 145 gol, atau selisih 26 gol dari piala dunia 1998 (15%-nya). Hal ini sering kali diasosiasikan dengan taktik anti-football yang kian merajalela seiring dengan perjalanan sepakbola era modern yang kian defensive.
Dengan semakin berkurangnya kemenarikan sepakbola dalam bentuk gol ini, tak heran banyak yang memandang sinis pada taktik-taktik yang mengusung tema bertahan.
Salah Kaprah pada Catenaccio
Kata âbertahanâ, atau âdefensiveâ sering kali diasosiasikan dengan catenaccio. Bahkan, banyak yang menganggap taktik grendel ini sebagai bentuk lain dari anti-football. Ada pula yang menyebutnya sebagai, negative-football, atau taktik murahan yang hanya mengandalkan 10 orang untuk âparkirâ di kotak penalti. Sebuah pandangan yang menurut saya tak adil.
Taktik gerendel, atau catenaccio, justru adalah sebuah taktik kelas atas yang membutuhkan konsentrasi dalam bertahan, sehingga mampu menetralkan serangan lawan dari berbagai sisi.
Dibandingkan catenaccio, penggunaan double-pivot justru lebih "negatif". Memang sejatinya dua gelandang tengah ini memiliki peran yang berbeda. Satu sebagai penghancur serangan, atau biasa disebut holding-midfielder. Sementara yang lain ahli dalam melakukan transisi serangan dengan mengalirkan bola ke lini tengah.
Namun tak jarang sebuah tim justru menempatkan dua holding-midfielders. Taktik yang, menurut saya, jauh lebih bertahan dari catenaccio.
Mourinho adalah nama yang tak asing untuk masalah taktik negative-football. Ketika membesut Chelsea, nama-nama pemain yang memiliki naluri bertahan yang tinggi kerap menghiasi starting XI the special one. John Obi Mikel, Raul Meireles, Essien, Ramires hingga David Luiz adalah pemain yang bertugas untuk mematikan serangan lawan.
Tak hanya satu-dua, Mourinho tak segan menurunkan tiga pemain bertipe ini pada saat yang bersamaan.
Tapi, baik itu catenaccio maupun penggunaan double-pivot, keduanya menggunakan ruh yang sama, yaitu bertahan. Tapi apakah benar keduanya adalah anti-football?
Menurut saya, yang membedakan anti-football dengan taktik bertahan lainnya terletak pada pemanfaatan komponen dan perangkat sepakbola lain. Misalnya saja ball-boy yang mengulur waktu saat memberikan bola kepada tim tamu. Atau, menggunakan hal-hal semacam pelanggaran, diving, atau kartu kuning, untuk mempersempit gerak dan aksi tim lawan dalam pertandingan.
Sebuah taktik bisa dikatakan anti-football jika, seperti yang dikatakan oleh De Boer, taktik tersebut telah menodai azas fair play dan respect dari permainan sepakbola itu sendiri.
Catenaccio atau ultra-defensive yang diterapkan Mourinho, janganlah disamakan dengan anti-football karena taktik tersebut adalah bentuk pencapaian dan apresiasi dari setiap pemain atas kerja keras dan konsentrasinya ketika bertanding. Bukan pemanfaatan di luar dari aspek pertandingan tersebut.
Sama-Sama Melahirkan Inovasi di Atas Lapangan
Terlepas dari berbagai sentimen tentang anti-football, mau tidak mau kita harus mengakui keberadaan taktik bertahan. Mungkin suatu saat nanti, negative-football justru akan berevolusi menjadi sebuah taktik yang lebih menarik. Seperti apa yang sudah diutarakan oleh ahli semiotika Ferdinand de Saussure menyangkut arbitrariness of the linguistic sign, setiap pemunculan kata atau terminologi baru mencerminkan sisi berlawanan atau kesamaan dari kata tersebut.
Evolusi ini juga yang terjadi pada sang pengusung jenis sepakbola satunya: sepakbola menyerang. Contohnya adalah penderivasian taktik total football menjadi tiki-taka. Lagi-lagi, Johan Cruyff lah yang menjadi biang keladi terjadinya taktik yang kini menjadi simbol sepakbola Barcelona itu.
Sempat menjadi pemain bintang Blaugrana, Cruyff pun sempat menduduki kursi kepelatihan Barca dari tahun 1988-1996. Dalam rentang delapan tahun itu, Cruyff nampaknya memiliki cukup banyak waktu untuk menanamkan filosofi total football.
Ketika total football mengandalkan pergantian peran dan posisi kala menyerang, tiki-taka justru lebih memfokuskan serangan pada ball-possessions. Benang merah yang terjadi pada dua filosofi ini adalah kata serang. Serangan demi serangan diluncurkan dengan harapan banyak gol tercipta.
Tapi inovasi itu tak terjadi hanya di Barcelona.
Catenaccio, sebuah taktik yang diusung pada tahun 60-an ini, juga mampu mengkonstruksi term baru yang bernama libero. Jadi, kita tunggu saja, apa yang akan dibawa oleh Anti-Football ini kelak.
Dikirim oleh:
Ibnu Sina Meliala. Akun Twitter : @ismeliala
Passionate football fan. Part of Indonesian football reformation.
Komentar