Sebuah fenomena terjadi di Stadion Poljud, Split, Kroasia, ketika berlangsung laga kualifikasi Euro 2016 antara tuan rumah Kroasia melawan Italia. Fenomena tersebut seperti crop circle yang beberapa kali sempat memicu berbagai spekulasi.
Tapi fenomena yang terjadi di markas kesebelasan Hadjuk Split tersebut tidak terukir atau terlihat terlalu jelas layaknya crop circle. Ukiran gambar pada rumput lapangan Stadion Poljud itu hanya bisa dilihat lebih jelas dari tribun penonton walau masih terlihat samar-samar. Tapi ukiran tersebut diyakini, dan itulah sebabnya memicu kontroversi, merupakan simbol swastika NAZI.
Kemunculan logo (yang diduga) swastika di lapangan Stadion Poljud itu kemudian memunculkan protes dari pengurus Federasi Sepakbola Italia (FIGC) kepada perwakilan UEFA di lapangan. Setelah melayangkan aksi protes, pihak panitia pertandingan mencoba menghilangkan ukiran swastika tersebut ketika jeda babak pertama walau tidak cukup waktu untuk benar-benar menghilangkannya.
Diperkirakan jika ukiran tersebut dibuat memakai bahan kimia yang baru bereaksi setelah 24 atau 48 jam ke depan. Penggunaan bahan kimia tersebut dibuat agar bisa muncul ketika pertandingan berlangsung.
"Secara teknis, bahan kimia yang digunakan di lapangan dipakai 24 sampai 48 jam sebelum kick-off, dan hasilnya akan terlihat sewaktu pertandingan kualifikasi berlangsung," jelas staf pers Asosiasi Sepakbola Kroasia (HNS), Tomislav Pacak, sebagaimana dikutip situs Telegraph.
Ukiran logo swastika samar-samar terlihat di lapangan Poljut, Split Kroasia.
Dirinya juga menambahkan jika kemunculan simbol swastika tersebut merupakan tindakan sabotase dan masuk ke dalam tindak pidana. Maka dari itu pihak HNS meminta polisi dan badan pengadilan bisa menangkap pelakunya.
Tidak cuma mengusik HNS, insiden tersebut membuat Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic merasa dipermalukan.
"Saya mengutuk kemungkinan terkuat munculnya swastika di lapangan sepakbola.Saya menuntut sekaligus mendesak penyelidikan dan respon tegas dari instansi terkait untuk mencari dan memproses pelaku," tegasnya seperti dikutip dari Daily Mail.
Para penyelenggara pertandingan dibuat terheran-heran siapa pelaku pembuat ukiran logo swastika di rumput hijau Stadion Poljut. Apalagi mengingat jika pertandingan sendiri digulir tanpa adanya penonton sehingga situasi stadion lebih steril.
Untuk sementara dugaan pelaku disematkan kepada kelompok suporter garis keras Kroasia. Ya, memang suporter Kroasia cukup dikenal sering berbuat ulah dalam pertandingan sepakbola internasional. Pertandingan kualifikasi Euro 2016 melawan Italia saat itu saja harus digelar tanpa adanya penonton akibat hukuman kepada tuan rumah. Para suporter Kroasia dihukum karena nyanyian rasis ketika kesebelasannya mengalahkan Norwegia 5-1 pada akhir bulan Maret 2015 lalu.
Hukuman tersebut diperkuat dengan adanya lemparan suar (red flare) di Stadion San Siro, Milan, ketika laga kualifikasi Euro 2016 melawan Italia di putaran pertama pada November 2014 silam. Lemparan suar dari para suporter Kroasia saat itu sampai memaksa pertandingan dihentikan sementara waktu sampai dua kali.
Selanjutnya hukuman dari UEFA kepada Kroasia bisa menjadi lebih berat akibat (dugaan) adanya swastika pada rumput Stadion Poljud. Tindakan lebih lanjut baru akan diputuskan UEFA usai sidang komisi disiplin pada 16 Juli mendatang.
Turunan Sayap Kanan Ustasha
Dugaan mengenai siapa pelaku yang membuat ukiran Swastika yang mengarah kepada suporter garis keras Kroasia kian menguat karena -- ukiran itu -- mengingatkan banyak orang pada laga vs Italia pada 2006 silam. Kala itu Kroasia bertandang ke Livorno, Italia, kemudian sekitar 200 suporter Kroasia yang datang membentuk koreografi swastika di tribun dan diakhiri dengan memberikan penghormatan ala Nazi.
Kerumunan suporter Kroasia tersebut merupakan aksi balasan kepada suporter Italia yang mayoritasnya merupakan pendukung Livorno yang melambaikan bendera komunis dan Josip Broz Tito, pemimpin Yugoslavia dari 1953 sampai 1980.
Suporter Kroasia sering diidentikkan dengan aliran neo-fasisme. Sementara Livorno dikenal sebagai basis komunisme di Italia. Fasisme dan komunisme adalah dua ideologi yang saling memusuhi. Maka klop sudah: laga itu menjadi perayaan simbol-simbol lama sejarah Perang Dunia II ketika komunisme Sovyet bergabung dengan Amerika (dan Sekutu) untuk memerangi negara-negara fasis, seperti Jerman, Jepang dan Italia.
Kemerdekaan Kroasia dari Yugoslavia merupakan buah hasil dari sikap ultra nasionalis mereka. Keberhasilan mereka memerdekakan diri justru semakin membiakkan kebanggaan berlebihan terhadap tanah air mereka, yang ujung-ujungnya melahirkan ultras-nasionalisme yang sangat dekat dengan fasisme. Ultra-nasionalisme itu pula yang akhirnya mendorong mereka berseteru tiada henti dengan Serbia. Perang etnis Serbia dengan Kroasia pecah sejak 1992.
Neo-Fasis sendiri bisa berkembang tidak lepas karena sejarah Kroasia yang dulunya memang sempat dididuki Jerman dan Italia pada Perang Dunia II. Kroasia dikendalikan gerakan fasis yakni Ustasha di bawah pengaruh NAZI Jerman sehingga membentuk Kroasia Merdeka (Nezavisna Drzava Hrvatska/NDH) setelah Adolf Hitler, diktator Jerman, berhasil menaklukan Yugoslavia.
Sampai tahun 1943 Kroasia dijadikan daerah kondominum wilayah Jerman dan Italia. Saat itu Jerman menyarankan agar Italia mengambil semua kendali militer Kroasia untuk mengarahkan pasukan Jerman dari Kroasia ke Front Timur. Maka Kroasia merupakan sekutu yang paling diandalkan Hitler karena mereka lebih bergairah menjadi algojo dalam Perang Dunia II.
Ustasha bahkan mendirikan pusat pelatihan pasukan di Italia dan Hungaria untuk memicu krisis politik di Yugoslavia. Mereka berusaha menghasut pemberontakan petani di Dalmatia Utara, Kroasia, pada 1932 dan diduga bepartisipasi dalam plot pembunuhan Raja Alexander I Yugoslavia pada 1932 di Marseille. Ustasha juga mengatur pembasmian Serbia, Yahudi dan orang-orang gypsy dengan brutal.
Dulu pernah ada pemain hebat bernama Matthias Sindelar yang sampai harus dibunuh Nazi. Ideologi fasisme Nazi berkembang ke berbagai firm hooligan Neo-Nazi dan Anti Salafi. Salah satu pesepakbola Kroasia yang pro Nazi yaitu Josep Simunic.
Warisan pikiran Ustasha masih menjalar hingga hari ini, termasuk ke ranah suporter sepakbola Kroasia. Kebencian mereka terhadap Serbia menjadi salah satu altar merayakan pikiran-pikiran fasisme. Dalam setiap pertandingan sepakbola tidak jarang kampanye "Bunuh Serbia" diserukan para garis keras suporter Kroasia.
Dari halaman 323 sampai 328 Encyclopedia of the Holocaust disebutkan bahwa lebih dari setengah juta orang Serbia tewas, seperempat juta diusir dan 200 ribu orang dipaksa mengkonversi ke Katolik oleh fasis Kroasia. Mayoritas korban dibunuh, perempuan diperkosa dan sebagian lainnya dibiarkan meninggal kelaparan. Mereka juga sering meneriakan slogan "Demi rumah!" yang dulu sering dikumandangkan demi kemerdekaan dari Yugoslavia.
Ukiran simbol swastika di lapangan Poljud yang diduga buatan oknum suporter Kroasia seolah isyarat jika teror tetap berjalan kendati pertandingan digelar tanpa adanya penonton. Atau jangan-jangan ini semacam salam persahabatan terhadap Italia yang, sedikit banyak, ikut menanamkan pengaruh di tanah Kroasia semasa Perang Dunia ke II.
Tapi ketika rasisme harus ditendang karena merendahkan kemanusiaan, maka orang-orang waras memang harus meneriakkan lagi kalimat legendaris: fasis yang baik adalah fasis yang mati.
Komentar