Mari bersikap fair: pembekuan kegiatan PSSI, yang berdampak pada sanksi FIFA, tentu punya dampak kepada penampilan timnas yang berlaga di Sea Games 2015. Masalahnya: seberapa besar dampaknya dan benarkah itu biang keladi kegagalan Evan Dimas, dkk., sampai harus menelan 10 gol di babak semifinal dan perebutan medali perunggu?
Sejak meraih emas di Sea Games 1991, sudah 12 ajang Sea Games diikuti timnas Indonesia. Dan sepanjang 12 kali itu pula emas tak pernah mampir ke Indonesia. Saat itu, dalam 12 kali Sea Games itu, aktivitas PSSI berjalan normal. Artinya: tidak dibekukan oleh pemerintah, tidak juga disanksi oleh FIFA. Hasilnya sama persis seperti ketika PSSI dibekukan oleh pemerintah dan di-sanksi oleh FIFA: sama-sama gagal mempersembahkan emas.
Jika hendak diperpanjang, misalnya, dengan merujuk Piala Tiger yang kemudian berubah menjadi Piala AFF, hal yang sama juga terjadi. Dari 1995 sejak turnamen untuk timnas senior negara-negara Asia Tenggara digelar dengan nama Piala Tiger, hingga berubah menjadi Piala AFF, termasuk edisi terakhir pada 2014, Indonesia juga tak pernah juara dalam situasi yang sama: PSSI tidak sedang dibekukan pemerintah, Indonesia juga tak sedang disanksi oleh FIFA.
Bisakah kita, atau katakanlah PSSI, menggunakan dalih pembekuan oleh pemerintah dan sanksi FIFA sebagai alasan untuk kegagalan di Sea Games 2015 ketika beredisi-edisi Sea Games dan Piala AFF diikuti dalam keadaan sepakbola dan PSSI sedang berakititas normal pun terbiasa tidak juara?
Pilihan apa yang dipakai untuk menjawab, tentu saja, terletak sepenuhnya pada anda, pada nalar dan akal sehat anda.
Tapi mari lupakan polemik soal siapa benar dan siapa salah, PSSI atau pemerintah.
Pertama, kita harus bisa dengan pahit menelan kenyataan betapa sepakbola di Asia Tenggara sudah berkembang pesat. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara yang dulu menjadi santapan empuk Indonesia, dan mustahil dulu bisa mengalahkan kita, kini ternyata sudah bisa mengalahkan Indonesia (dalam berbagai kompetisi dan level usia). Misalnya: Filipina, Brunei Darussalam, Myanmar hingga Timor Leste (mengalahkan peringkat kita dalam ranking FIFA).
Indonesia mungkin tidak berjalan mundur. Boleh jadi level permainan Indonesia tidak kalah dibandingkan era Ferryl Hattu atau Ribut Waidi yang berhasil mempersembahkan emas Sea Games pada 1991 dan 1987. Hanya saja, jika memang benar kita tidak mundur-mundur amat, rupanya negara lain yang terus maju dan berkembang, dengan progresi yang melampaui pencapaian Indonesia.
Kedua, setelah menyadari dan bisa menerima poin pertama di atas, kita perlu melanjutkan proses itu dengan mengubah perspektif: ingatlah dan camkan baik-baik betapa kita bukan lagi (salah satu) negeri jagoan sepakbola, kita tak lebih dari negara gurem dan kurcaci dalam urusan sepakbola di Asia Tenggara (apalagi Asia dan dunia).
Apa yang terjadi dengan sepakbola Indonesia dalam satu dekade terakhir, dan berujung dengan kegagalan memalukan timnas senior di Piala AFF 2014 silam, harusnya sudah cukup membuat kita mengerti bahwa kata "jago" sudah seharusnya dihapuskan dalam kebanggan kita terhadap sepakbola. Itu tidak produktif karena mendustai diri sendiri. Itu juga buruk karena membuat kita ditelan oleh waham kebesaran yang palsu.
Mulai sekarang, ada baiknya kita menggunakan perspektif seperti pecinta bola di negeri San Marino (untuk konteks Eropa) atau katakanlah seperti pecinta sepakbola Filipina/Myanmar satu atau dua dekade silam. Kita harus menerima kenyataan pahit bahwa bukan Indonesia yang membantai Filipina seperti dulu, tapi timnas senior kita yang dibantai 0-4 oleh Filipina (Piala AFF 2014). Kita adalah gurem. Kita adalah kurcaci.
Mau tahu resep sederhana Myanmar bisa mengalahkan Indonesia, dan bahkan bisa lolos Piala Dunia U-20? Mereka serius memanfaatkan program football development yang dikembangkan FIFA. Di sini, gembar-gembor football development tapi tidak ada apa-anya dengan apa yang dilakukan Myanmar. Indonesia kalah telak!
Simak cerita lebih lengkap kisah antara football development di Myanmar dan di Indonesia:�Indonesia Gagal dan Myanmar Berhasil Itu Tidak Mengejutkan!
Sangat tidak pantas merasa jagoan sepakbola pada saat kita sesungguhnya hanyalah "jagoan dalam menonton sepakbola". Liga yang riuh rendah, atmosfir stadion yang semarak, hak siar yang (konon) mewah dan liga yang ditayangkan oleh TV kabel adalah unsur tambahan dari "jagoan dalam menonton sepakbola", bukan indikasi "jagoan main bola".
Ada perbedaan yang tajam antara "negeri gila main bola" dengan "negeri gila nonton bola". Kita mengalami langsung perbedaan tajam antara dua hal itu.
Kalau kita cukup sehat dalam bernalar, perbedaan yang tajam antara "negeri gila main bola" dengan "negeri gila nonton bola" ini tidak ada urusannya dengan pembekuan PSSI atau sanksi FIFA, karena memang sudah terjadi bertahun-tahun lamanya -- bahkan sejak Nurdin Halid masih memimpin PSSI yang sejarahnya begitu terhormat ini dari dalam penjara (saya sudah menyinggung soal ini dalam esai yang ditulis untuk pengantar Piala Eropa 2012: Sepakbola sebagai Candu Dunia Ketiga)..
Ketiga, setelah bisa menerima dan mengakui bahwa kita negeri gurem dan kurcaci dalam urusan sepakbola, sebagaimana San Marino di Eropa atau Filipina satu-dua dekade lalu, langkah selanjutnya adalah berpikir dan mencari tahu: bagaimana agar kita bisa mengejar Thailand, Vietnam, atau Myanmar -- persis seperti dulu Filipina atau Myanmar berpikir dan mencari tahu bagaimana caranya mengejar Thailand atau Vietnam.
Saya kira, ada perbedaan yang tajam antara olah pikir dari "orang/bangsa yang merasa jagoan" dan "orang/bangsa yang merasa sebagai pecundang tapi ingin menjadi jagoan". Memikirkan langkah-langkah perbaikan dengan pola pikir masih sebagai orang/bangsa jagoan sudah terbukti nyaris tidak memberikan hasil yang signifikan. Karena memang kita bukan jagoan, kok.
Boleh-boleh saja hasil olah pikir antara "orang/bangsa yang merasa jagoan" dengan "orang/bangsa yang merasa pecundang tapi sangat ingin menjadi jagoan" itu sama saja, mungkin juga metode dan solusi pemecahannya pun akan serupa, tapi selama metode dan solusi pemecahan masalahnya itu dipraktikkan masih dalam kerangka berpikir sebagai orang/bangsa jagoan dalam urusan sepakbola (di Asia Tenggara), maka boleh jadi kita tidak akan pernah ke mana-mana, dan tidak beranjak selangkah pun.
Ya, seseorang harus menyadari dulu dirinya sebagai pecundang agar bisa mendorong diri sendiri hingga batas terjauh agar ingin merasakan seperti apa rasanya menjadi jagoan. Kalau sudah merasa jagoan, jika sudah merasa berprestasi, ya repot untuk berkembang. Mau berkembang apa lagi, bukannya sudah merasa jagoan dan sudah berprestasi?
Sekali lagi, jika ingin menjadi jagoan, setidaknya di Asia Tenggara, harus dimulai dengan mengubur dalam-dalam�waham sebagai jagoan sepakbola Asia Tenggara. Itu praktik yang menyedihkan.
Sebab penipuan yang paling menyedihkan adalah menipu diri sendiri.
Komentar