âSaya akan selamanya mengingat Fer sebagai pemain yang bikin saya kurang tidur, harus berangkat jam empat pagi dari Bandung, dan nyasar di Jakarta.â
Begitulah yang saya katakan kepada Marini Saragih, tandem saya meliput kedatagan Leroy Fer di Jakarta, saat sedang mencari taksi menuju Plaza Senayan sembari diliputi kekhawatiran terlambat tiba di tempat tujuan. Begitu saya tiba di lokasi dan bertemu langsung dengan sang pemain, Fer dan segala keluhan saya tentangnya hilang. Yang ada di hadapan saya adalah Leroy.
Saya akan mengingat pemain sepakbola yang lincah ini sebagai sosok hangat, santai, dan menyenangkan di luar lapangan. Padahal saya sudah bersiap menghadapi kenyataan yang agak lain. Saya menganggap para pemain yang mengandalkan kekuatan terlihat seperti sosok yang dingin, serius, dan kaku. Nah, Leroy Fer termasuk pemain yang kuat, sehingga saya pasrah saja jika pemain yang akan saya ikuti seharian begitu menyebalkan.
Tapi ternyata tidak. Satu jabat tangan dan perkenalan diri membuktikan bahwa saya salah.
âHai. Saya Leroy. Apa kabar?â ujarnya saat saya dan Marini diperkenalkan Pangeran Siahaan sebagai rekan yang akan mengikuti dan meliput segala hal yang ia lakukan hingga sesi meet and greet selesai.
Leroy, bukan Fer. Ia memperkanalkan diri dengan nama depan. Akrab, pikir saya. âTaufikâ yang sudah di ujung lidah pun tertelan lagi. âHai, saya Opik,â balas saya.
Malky Mackay pernah menuduh Fer pemain yang tidak sportif karena golnya ke gawang Cardiff City (yang kemudian dianulir) pada 26 Oktober 2013. Pemain Norwich City, Alexander Tettey, terjatuh sehingga penjaga gawang Cardiff, David Marshall, menendang bola ke luar lapangan sebagai tindakan fair play. Ricky van Wolfswinkel langsung memungut bola dan mengambil lemparan ke dalam. Fer, yang menerima bola lemparan Van Wolfswinkel, menendang bola masuk ke gawang yang ditinggalkan Marshall. Pemain Cardiff memprotes tindakannya namun Fer tidak merasa bersalah.
âSaya hanya melihat wasit dan ia memberi tanda play on dengan tangannya, jadi saya rasa golnya sah,â ujar Fer sebagaimana dikutip Guardian. âSaya sedikit kebingungan mengenai hal itu. Saya memang sengaja menendang bola ke gawang karena saya ingin memenangi pertandingan.â
Saat itu Norwich menjamu Cardiff setelah menderita dua kekalahan beruntun, 1-3 melawan Chelsea dan 1-4 dari Arsenal, sehingga keinginan Fer untuk meraih kemenangan dapat dipahami. Namun bertindak tidak sportif jelas bukan cara yang dapat dibenarkan.
Wasit Mike Jones akhirnya menganulir gol Fer. Bayangan tentang seorang pemain yang rela melanggar aturan dan mengabaikan nilai-nilai sportifitas tertanam di kepala. Pertemuan langsung dengan Fer, lagi-lagi, mengubah pandangan saya.
Pangeran, saat mewawancarai Fer, mengajukan pertanyaan mengenai hal apa yang membuat dirinya takut. Fer terdiam sebentar. Istrinya, Xenia, melihat ke arahnya sembari menunggu apa yang akan diucapkan oleh Fer.
"Kekerasan terhadap anak," kata Fer, "adalah hal yang membuatnya ketakutan."
Setelah sesi wawancara, Pangeran sempat berbincang dengan Fer dan menjelaskan bahwa di Pandit, kami melihat pemain sepakbola dari sisi yang berbeda karena mereka juga manusia. Fer mengulang penjelasannya mengenai hal-hal yang ia takuti. Kali ini dengan ekspresi ketakutan yang lebih terlihat.
Fer duduk dengan kedua kaki terbuka. Kedua siku menempel di lututnya. Kedua tangan di kepala yang menunduk. Setiap kali ia melihat berita mengenai kekerasan dan pelecehan terhadap anak-anak, kata Fer, ia merasa frustrasi juga jijik.
âItu menjijikkan,â ujarnya.
Penjelasannya mengenai hal-hal yang membuat ia takut adalah satu-satunya saat di mana Fer tidak tampak bahagia hari itu. Selebihnya ia adalah sosok yang ceria, aktif, dan sangat berisik. Bicaranya keras. Tertawanya lebih keras lagi. Dan ia sangat suka bergurau.
âDia dulu penari, tapi malam itu aku mengalahkannya,â ujar Fer berkisah mengenai tariannya bersama sang istri di pesta pernikahan mereka. âAku menari lebih baik darinya malam itu.â Xenia tidak terima. âAku kan pakai gaun,â ujar Xenia protes. Melihat gaun yang ia kenakan hari itu, Xenia memang pantas protes. Namun Fer tidak berhenti menggoda istrinya: âAku penari yang lebih baik.â
Tidak ada pengakuan dari Xenia mengenai siapa yang lebih bagus dalam menari. Yang pasti, tidak ada pengakuan dari siapa pun soal siapa yang lebih hebat dalam video game: Fer memiliki game room pribadi. Dan ia sangat mencintai ruangan tersebut sehingga Fer dan Xenia harus pindah rumah.
Usia kandungan Xenia sudah 20 pekan sehingga harus ada kamar bayi di rumah mereka dalam waktu dekat. Masalahnya adalah semua ruangan sudah penuh dan Fer tidak mau menyerahkan ruang bermainnya untuk kamar bayi. âDia tidak mau kehilangan game room-nya,â ujar Xenia. âAku jelas tidak mau kehilangan game room,â ujar Fer mengiyakan. Di luar itu, Fer adalah seorang pria yang cinta keluarga.
Bukan tanpa alasan Fer berlari ke pojok lapangan setelah mencetak gol pertamanya di Piala Dunia 2014. Di sanalah keluarganya berada. Ia ingin merayakan hari istimewa itu â yang sama istimewanya dengan hari pernikahannya â bersama keluarganya. Di São Paulo maupun di Jakarta, cinta Fer kepada keluarga sama saja.
Selepas sesi konferensi pers, saat para awak media sedang membereskan peralatan mereka, Fer menatap istrinya yang duduk jauh dari tempatnya berada sembari berbisik lewat mic yang masih menyala: âAku cinta kamuâ.
Dan cintanya jelas tidak di bibir saja. Setiap sempat, Fer mengusap-usap perut istrinya. Dan setiap kali ia melakukannya, Fer tidak pernah bisa menyembunyikan rasa tidak sabar untuk menjadi seorang ayah.
Mungkin itu pula yang membuat Fer bernyanyi paling keras saat Xenia menggelar pesta kejutan untuk salah satu sepupunya (Xenia memiliki darah Ambon) yang juga hadir hari itu. Juga mungkin itu, atau karena Fer memang sangat menyukai anak-anak, yang membuat dirinya akrab dengan putra tunggal Gita Suwondo, Gica Parashdeva Selecao Suwondo.
Saat Gita pamit untuk mengajak Gica menonton Jurassic World, Fer tidak mau menerima jabat tangan biasa dari Gica. Mereka tos dan saling menubrukkan kepalan tangan. Fer menirukan suara ledakan ketika kepalan tangannya dan kepalan tangan Gica beradu. Dan Fer mengharuskan Gica melakukan hal yang sama dengan Xenia.
âDia juga! Dia juga!â ujarnya bersemangat.
Dan bukan Xenia, bukan pula Gica yang menirukan suara ledakan ketika kepalan tangan Xenia dan Gica beradu. Justru Fer yang melakukannya --lengkap dengan tawa.
Komentar