Mereka yang hidup di Irak sudah sangat akrab dengan kematian. Telinga mereka bersahabat dengan desing peluru dan dentuman bom. Anak-anak terlalu cepat bermesraan dengan kehilangan yang sering datang dengan cara-cara mengerikan.
Nyawa, barangkali, menjadi tak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang diperebutkan dalam konflik. Dimulai dengan invasi Amerika Serikat dan Britania Raya sejak tahun 2003 (yang dipicu kecurigaan kepemilikan senjata pembunuh massal) lantas berlanjut dengan perang internal dan obsesi sekelompok militan teroris untuk menguasai negara bahkan dunia (ISIS). Di tengah-tengah kengerian dan gelimpangan mayat, lirisnya ratap tangis dan kehilangan yang beruntun Ãâ barangkali sepakbola menjadi hal terakhir yang ada dalam pikiran sebagian besar penduduk Irak.
Namun ada atau tidak adanya di dalam pikiran penduduk, menarik atau tidak menariknya sepakbola Irak dijadikan sebagai objek berita, pada kenyataannya sepabola tetap digunakan untuk menyelamatkan kehidupan anak-anak yang sampai sekarang masih tinggal di sana.
Mencoba mengisi masa kanak-kanak di daerah konflik seperti Irak berarti memilah-milah tanah mana yang ditanami dan tidak ditanami ranjau darat, berusaha sebisa mungkin mempersetankan desingan peluru saat tidur di bunker maupun camp pengungsian atau tetap mengingat-ingat lelucon di masa sekolah dulu. Sepakbola di tengah segala kengerian dan ketidakpastian ini mengajarkan anak-anak itu cara bertahan hidup dengan merayakan kesenangan-kesenangan kecil.
Di Irak, Spirit of Soccer atau SOS bekerja sebagai organisasi sosial yang menggunakan kekuatan sepakbola untuk mengajarkan anak-anak Irak melindungi diri dari sisa-sisa ranjau darat. Sisa-sisa bahan peledak dalam bentuk ranjau darat yang belum sempat meledak, nyatanya memakan korban, dan 75-80% di antaranya adalah anak-anak. Wajar, mengingat anak-anak sering penasaran terhadap benda-benda mengkilap yang tertanam di tanah. Didorong rasa penasaran tersebut, biasanya mereka mencoba untuk menyentuh bahkan mengambilnya. Seandainya nyawa si anak berhasil tertolong, ia tetap harus melewati proses pemulihan yang panjang dan menyakitkan. Juga sering harus merelakan salah satu anggota tubuhnya lenyap oleh amputasi.
Bagaimana beberapa kelompok militan, seperti Boko Haram, atau beberapa jaringan Al-Qaeda, memandang dan memperlakukan sepakbola? Simak ceritanya:
Mengharamkan Sepakbola.
Sepakbola Halal ala Militan Somalia.
Spirit of Soccer memulai aksinya di Irak sejak tahun 2009. Lewat sepakbola, mereka memberikan edukasi dan pengertian kepada anak-anak tentang ranjau-ranjau darat yang sampai sekarang masih masih tersebar di banyak tempat. Spirit of Soccer yang pada tahun 1996 didirikan oleh Scotty Lee, mantan relawan kemanusiaan Bosnia yang bertugas memberikan pembinaan sepakbola kepada anak-anak, juga melibatkan warga lokal terkait program kerjanya. Selama 6 tahun bekerja, setidaknya mereka telah melatih 80.000 anak, 18 pelatih lokal, termasuk 3 perempuan, dari berbagai kelompok etnis dan agama yang berbeda seperti Arab, Kurdi, Sunni, Syiah dan Kristen.
Jika sepakbola memang memaksa pelakunya untuk mengenali dan membaca lawan, maka mengajarkan MRE (Mine Risk Education) dengan menggunakan sepakbola sama dengan memperkenalkan anak-anak ini kepada musuh-musuhnya yang paling berbahaya dengan cara yang menyenangkan. Biasanya mereka menggunakan waktu 15 menit setelah permainan untuk mematangkan pengajaran mereka perihal MRE Ãâ baik kepada anak-anak maupun orang dewasa yang bersedia untuk menjadi mitra.
Lewat program-programnya, SOS juga berkonsentrasi agar anak-anak tersebut memiliki tempat bermain yang aman dan layak. Menurut Scotty, sepakbola dan olahraga memiliki kekuatan tersendiri. Sebagai hal yang disukai banyak orang, sepakbola dapat digunakan untuk memulai kembali komunikasi yang sempat terputus. Namun yang terpenting, sepakbola dalam bentuk permainan dapat difungsikan untuk membantu anak-anak, bahkan orang dewasa, untuk mengurangi trauma.
Salah satu wilayah yang menjadi ruang lingkup kerja mereka adalah Kirkuk, wilayah yang kaya akan sumber minyak. Wilayah ini dikuasai oleh kelompok militan (ISIS) pada awal 2015 sehingga tak ada satupun orang yang diperbolehkan bermain sepakbola di sana, termasuk sepakbola anak-anak yang tujuannya hanya untuk bersenang-senang.
Simak cerita menarik: Ultras Casablanca Menyerukan Perlawanan terhadap ISIS.
Berhadapan dengan larangan tersebut membuat SOS harus menghentikan kegiatannya khusus di wilayah ini. Anak-anak yang tadinya mereka didik, termasuk para pelatih saat ini, masuk ke dalam daftar IDP (Internally Displaced People). Untuk diketahui, IDP dapat diartikan sebagai orang-orang yang diharuskan, bahkan dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik bersenjata, bencana alam, pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak melewati batas-batas negara yang diakui oleh dunia internasional. Namun demikian, sepakbola tetaplah sepakbola. Daya pikatnya luar biasa, bisa membikin begitu banyak orang lupa pada apa-apa yang ditakutkan walaupun hanya untuk sesaat.
Dalam perhelatan Piala Asia 2015, Irak berhasil menduduki peringkat keempat akhir Januari 2015 kemarin. Menurut sebuah wawancara dengan salah satu pelatih Spirit of Soccer yang sampai saat ini namanya masih dirahasiakan dengan alasan keamanan, atas pencapaian ini mereka bersorak-sorai kegirangan. Semacam perayaan di tengah-tengah kengerian yang hebat. Perayaan yang tak meriah, perayaan yang kecil dan seadanya.
Namun saya pikir, setelah bertahun-tahun berhadapan dengan segala sesuatu yang bisa menghilangkan nyawa dengan cara yang mengerikan, perayaan sekecil apapun adalah kemegahan tersendiri. Bagi kita yang hidup di negara yang jauh lebih tenang daripada mereka Ãâwalaupun pada kenyataannya, kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan dan agama adalah hal yang masih rutin terjadi di sini Ãâ perayaan kecil tersebut adalah kesenangan yang dibangun dengan mempertaruhkan banyak hal.
Saya tidak tahu pasti apakah mereka berhasil untuk mencuri-curi kesempatan dan menyaksikan pertandingan yang dilakoni Irak. Saya juga tidak paham benar seketat apa pengawasan yang dilakukan oleh kelompok militan yang menguasai kota mereka. Jangan-jangan, mereka yang tadinya ditugaskan sebagai polisi keagamaan atau apapun namanya, juga tidak dapat menahan diri untuk menonton pertandingan sepakbola yang melibatkan negaranya di ajang tersebut.
Jangan-jangan, dua-tiga orang pengawas kelompok militan tersebut diam-diam menyusup ke camp orang-orang Kirkuk, lalu duduk dan ikut menonton dengan rasa was-was bukan kepalang Ãâ bukan hanya karena takut kalau penjaga gawang Irak tak bisa menepis sepakan lawan, tetapi juga karena cemas, jangan-jangan setelah ini nama mereka juga akan masuk daftar terhukum akibat ulahnya ini. Atau, lebih ngeri lagi, seperti terjadi di Nigeria, militan Boko Haram memilih mengebom lokasi nonton bareng sepakbola.
Ya, sebab menonton sepakbola juga masuk kategori dosa berat bagi ISIS. Hukumannya bisa sangat serius: eksekusi mati.
13 remaja di Mosul, Irak, dikabarkan dieksekusi oleh militan ISIS karena kedapatan menonton pertandingan sepakbola Piala Asia 2015 antara Irak vs Yordania. 13 remaja yang tinggal di Distrik Al-Yarmouk ini dieksekusi di hadapan banyak orang yang dihadirkan untuk memberi peringatan kepada mereka betapa sepakbola merupakan hal yang dilarang oleh ISIS. 13 remaja tersebut dieksekusi dengan menggunakan senapan mesin di muka umum.
Apa yang dilakukan Spirit of Soccer ini barangkali tidak akan bisa menghentikan perang di Irak. Kalimat-kalimat heroik seperti �"sepakbola menyelamatkan Irak�" agaknya menjadi hal yang terlalu mengada-ada. Rasanya di tangan mereka, sepakbola benar-benar menghidupi heroismenya walau tanpa stadion, walau tanpa suporter garis keras, walau tanpa koreo-koreo megah dan walau tanpa perdebatan tentang siapa yang paling mencintai sepakbola.
Sumber foto: goal-click.com
Diolah dari: https://spiritofsoccer.org/ https://goal-click.com/
Komentar