Dikirim oleh Insan Ridho
Kata orang, sesuatu akan lebih dirindukan ketika sudah tidak ada lagi.
Pernahkah Anda membayangkan sepakbola lenyap dalam hidup ini? Lenyap di sini barangkali satu irama dengan punah. Kepunahan ini sudah banyak tandanya. Setidaknya untuk saat ini.
Dalam catatan sejarah, banyak spesies dinosaurus punah beberapa zaman silam karena meteor besar yang menghantam bumi. Energi impak benda asing tersebut terlampau besar sehingga menewaskan nyaris separuh dari spesies makhluk hidup di muka bumi. Punahlah sudah kadal raksasa yang sering didongengkan kepada kita oleh film-film bertema zaman jurassic.
Sepakbola bisa dibilang serupa. Korupsi dalam sepakbola bisa jadi analog dengan meteor dalam kepunahan dinosaurus. Memang, korupsi sudah berakar sejak lama di federasi yang menaungi sepakbola baik di dunia maupun Indonesia. Namun, akhir-akhir ini, meteor korupsi seakan sudah menghantam keras sepakbola dan semua mulai tersadarkan.
Kini, sepakbola berangsur menghilang terutama di Indonesia. Stadion mulai kosong, fans menanggalkan kaos kebanggaan, dan siaran televisi terlihat basi. Gegap gempita semaraknya pertandingan praktis tak muncul lagi. Kondisi ini seperti sebuah kekosongan. Kekosongan yang fana kah? (simak 3 usul menarik ini: Tiga Hal yang Bisa Dilakukan Suporter Saat Jeda Kompetisi).
Sulit mengambil posisi mana yang benar antara komitmen Menteri Pemuda dan Olahraga kita dan pernyataan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Tak ada salahnya untuk tidak mengambil sikap bagi saya. Saya cenderung hanya ingin menikmati kondisi ini seraya berpikir dalam ketiadaan ini.
Bersyukur itu penting dalam menikmati sepakbola. Simaklah bagaimana orang-orang di pelosok yang terpencil berusaha keras menikmati sepakbola:
Sepakbola terlalu kompleks untuk dihilangkan di negeri yang begitu besar. Butuh jutaan tahun untuk memusnahkan plastik dari muka bumi, begitu pula sepakbola dari mata rakyat Indonesia. Banyak hidup bergantung dari bergulirnya bola sepak di lapangan. Sayangnya, kondisi ini hanya dimanfaatkan dengan tidak baik oleh segelintir orang yang hanya ingin keuntungan bagi kantong pribadinya.
Apa yang patut disyukuri dari fenomena ini adalah hidup tak seburuk itu tanpa sepakbola. Tak bisa dipungkiri banyak manusia yang mengais rezeki bahkan mengorbankan nyawa demi sepakbola, namun perut tidak harus diisi oleh udara bola sepak. Ini waktu yang tepat untuk membuka ruang pikir.
Entah berapa lama hal ini akan berakhir. Satu tahun, dua tahun, atau lima tahun? Tidak ada yang bisa memberikan kepastian soal ini. Membicarakan hal ini seakan sia-sia untuk mencari jawaban yang absolut. Yang jelas, telah nyata bahwa sepakbola kini telah raib dari pandangan mata rakyat Indonesia. Ya, setidaknya yang memang selama ini kasat mata.
Jika kita melihat lebih dalam, sesungguhnya sepakbola tak sepenuhnya mati di negeri ini. Sepakbola di daerah masih ramai layaknya hari kemarin. Pertandingan antar kampung atau biasa disebut tarkam masih jamak diselenggarakan. Bahkan, pertandingan klub-klub amatir masih diadakan dengan semangat yang sama kuatnya.
Simak uraian tentang paralelisme fenomena Gutta Percha dengan sepakbola Indonesia: Gutta Percha, Pabrik Tjipetir dan Sepakbola Indonesia.
Saya masih melihat bocah-bocah yang bergembira menikmati permainan sepakbola mereka. Saya tahu kebahagiaan itu karena saya pun dulu pernah merasakan hal tersebut. Mereka tidak memikirkan kualitas jersey yang mereka pakai atau alas kaki yang mereka gunakan. Kebanyakan dari mereka hanya tahu peluit akhir pertandingan itu adalah adzan maghrib di masjid dekat rumah mereka.
Bagi saya, sepakbola grassroots seperti itu lah yang akan menyelamatkan kita kembali. Sepakbola berasal dari kesederhanaan permainannya yang memang sesuai dengan karakter kesederhanaan khas daerah kecil. Tak aneh jika kita tahu banyak legenda sepakbola dunia lahir dari tempat terpencil.
Fenomena yang menarik dari sepakbola di desa adalah bahwa sepakbola selalu menjadi jawaban dari kepenatan mereka. Para pemuda desa mengisi waktu luang mereka setelah bekerja di siang hari dengan bersepakbola. Para ibu dan anak-anak ikut menyaksikan sepakbola di kala sore serasa hanya itu hiburan yang mereka miliki. Kompetisi antar desa selalu menyuguhkan tontonan yang menarik yang melibatkan banyak pihak di dalamnya.
Siapa, sih, lelaki di negeri ini yang tidak melankolis perasaannya saat mengenang sepakbola di masa bocah? Simak salah satu cerita populer di situs kami tentang kenangan sepakbola masa kecil:
Rasanya rehat sejenak dari kepenatan hiruk-pikuk sepakbola modern perlu dilakukan oleh semua penikmat bola. Kita seringkali salah kaprah soal menikmati sepakbola yang selama ini hanya kita tonton saja. Membeli jersey original rasanya sudah menjadi penikmat sepakbola sejati. Akan tetapi, kebanyakan dari kita tak pernah benar-benar menyaksikan sepakbola secara nyata di stadion sepakbola.
Kalau memang menyelamatkan sepakbola Indonesia harus dari akarnya, mengapa kita terlalu banyak mengoceh soal batangnya? Kembalilah ke desa, lihatlah bagaimana sepakbola berbaur dengan rakyat, syukurilah bahwa sepakbola masih menjadi nafas bagi banyak orang di daerah-daerah yang belum terjamah. Nikmatilah bahwa ketiadaan sepakbola Indonesia yang selama ini kasat mata menjadi hadiah tersendiri bagi kita.
Ada kalanya kita perlu mengikhlaskan sesuatu yang telah pergi baik untuk sementara maupun untuk selamanya. Karena kelegaan itulah yang akan membuat kita selalu belajar dari masa lalu.
Hidup akan baik-baik saja walau tanpa sepakbola yang katanya profesional. Helaan nafas masih berhembus, angin masih berhembus menggoyang pucuk-pucuk pepohonan, kambing yang digembalakan di tepi lapangan kampung masih mengembik, dan bunga-bunga masih mekar di taman-taman kota....
Penulis dapat dihubungi melalui akun twitter: @insanridho
Komentar