Kontroversi pada sepakbola Chili bukan hanya menyoal ulah Arturo Vidal dan Gonzalo Jara. Jauh sebelum keduanya berulah, sepakbola Chili pernah dipermalukan oleh penjaga gawangnya sendiri yang bernama Roberto Rojas.
Rojas barangkali menjadi alasan sejumlah pemuda Chili untuk berkarir sebagai pesepakbola di era 80-an. Oleh publik Chili, ia mendapat julukan El Condor. Julukan yang tentunya tidak main-main jika melihat kembali lambang negara Chili.
Rojas memulai karirnya bersama kesebelasan lokal Chili, Aviacion pada tahun 1976. Enam tahun merumput bersama Aviacion, Rojas hijrah ke Colo-Colo. Konon, penampilannya di kesebelasan asal Macul, Santiago inilah yang membuatnya dihadiahi julukan El Condor.
Penjaga gawang kelahiran 8 Agustus 1957 ini tak hanya digilai karena ketangkasannya di atas lapangan. Di luar lapangan ia terkenal sebagai pemuda penuh kharisma dan taat beragama. Barangkali Rojas di zaman itu mirip dengan Ricardo Kaka sekarang.
Sebagai pesepakbola dengan nama besar di Amerika Latin, Rojas tak mau hanya menjadi jago kandang. Pada tahun 1987 ia hijrah ke Sao Paulo, Brasil. Walaupun tidak segemilang saat bermain untuk Colo-Colo, Rojas tetap mendapatkan tempat pertama di kancah internasional.
Kiprah gemilang Rojas di level klub tak dibarengi dengan pencapaiannya bersama timnas Chili. Namun Rojas juga tak bisa disalahkan begitu saja mengingat sepakbola adalah olahraga kolektif. Tidak peduli semenonjol apapun permainanmu, selama tidak didukung oleh pemain lain, rasanya akan mustahil meraih gelar.
Era 1980-an menjadi salah satu era terburuk sepakbola Chili. Setidaknya ada 4 kompetisi yang diikuti oleh Chili sepanjang dekade tersebut. Penampilan terbaiknya dicapai saat Chili berhasil menduduki posisi kedua pada perhelatan Copa America 1987. Pada Piala Dunia 1982 Chili pun tampil sebagai kesebelasan yang tak patut diperhitungkan. Menuai 3 kekalahan di 3 pertandingan pertama membikin Chili harus pulang lebih awal. Sementara di Piala Dunia 1986 dan Copa America 1989 jauh lebih menyedihkan, untuk lolos dari babak kualifikasi pun mereka tak sanggup.
Mengakhiri era 1980-an tanpa prestasi, Chili kemudian berharap banyak pada perhelatan Piala Dunia 1990. Pada babak kualifikasi, Chili berada dalam grup yang sama dengan Venezuela dan Brasil. Mau tidak mau La Roja harus berebut tempat dengan Brasil, mengingat hanya 1 tiket yang diperebutkan untuk bisa lolos ke fase grup.
Lucunya, pada putaran ini Brasil dan Chili sama-sama menjadikan Venezuela bulan-bulanan. Pada pertandingan tandang pertama melawan Venezuela, Brasil berhasil memetik kemenangan 4 gol tanpa balas, sementara Chili menang 1-3. Selisih gol kemenangan atas Brasil di Santiago sebagai harga mati jika Chili benar-benar ingin lolos dari babak kualifikasi. Namun apa daya, alih-alih meraih keunggulan sementara, Brasil justru mendapat tambahan angka pertama pada menit 56 atas gol bunuh diri yang dicetak oleh Hugo Gonzalez. Untungnya pada menit 81, Chili berhasil menyamakan kedudukan lewat gol Ivo Basay.
Venezuela yang tak berkutik ibarat pisau bermata dua buat Chili. Di satu sisi ia bisa menjadi lumbung gol yang membikin Chili mendulang banyak angka, di sisi lain kemenangan beruntun Brasil atas Venezuela memaksa anak-anak asuh Orlando Aravena memetik kemenangan di Maracana.
Maracana yang diisi oleh penggawa-penggawa Brasil agaknya menjadi tempat yang menakutkan bagi siapapun yang harus melakoni laga tandang. Nama-nama seperti Bebeto, Dunga ataupun Romario memang gemar membikin nyali ciut, membuat siapapun lupa kalau sebenarnya Maracana juga pernah meratapi kekalahan atas kekalahan tuan rumah pada perhelatan Piala Dunia 1950.
Menit 65 tanggal 3 September 1989 menjadi awal dari mimpi buruk sepakbola Chili. Waktu itu keunggulan 1-0 sudah berpihak ke Brasil lewat gol Filho Careca di menit 49. Seorang pendukung Brasil yang belakangan diketahui bernama Rosenery Mello melempar flare ke arah gawang yang dikawal oleh Rojas.
Wajah Mello yang tertangkap kamera membikin ia tampil di banyak media. Perempuan yang saat peristiwa itu berusia 24 tahun seketika melejit sebagai selebritis dan model Brasil. Pada November 1989, ia muncul sebagai model sampul majalah Playboy. Konon pasca beredarnya majalah edisi tersebut, Mello mendapat julukan Fogueteira do Maracana. Untuk diketahui, dalam bahasa sehari-hari yang digunakan di Brasil fogueteira berarti orang (bisa pria atau wanita) memiliki keinginan atau gairah untuk berhubungan seks tapi tidak mempunyai keleluasaan untuk memilih, sementara do Maracana berarti dari Maracana.
Apa yang terlihat selanjutnya adalah Rojas yang tergeletak sambil menutupi wajahnya. Pemain lain mengerubutinya, tim medis pun segera memasuki lapangan dan memberikan pertolongan. Pertandingan juga terhenti akibat permintaan Aravena. Hasil jepretan fotografer yang memotret Rojas digotong keluar lapangan menunjukkan darah yang mengucur dari wajah El Condor.
Pasca kejadian tersebut, berbagai sentimen anti Brasil mulai bermunculan. Brasil tak bisa tenang walau mereka berhasil meraih kemenangan di Maracana, langkah mereka untuk melenggang ke Italia masih belum jelas. Federasi sepakbola Chili menuntut agar pertandingan digelar kembali di tempat netral.
Namun ketidakkondusifan tadi hanyalah permulaan. Seminggu setelah kejadian, Chili benar-benar harus berhadapan dengan perihal yang lebih buruk daripada mimpi buruk. FIFA memberikan tambahan kemenangan 2-0 kepada Brasil dan meloloskannya ke Piala Dunia 1990 di Italia. Chili didiskualifikasi karena dianggap meninggalkan pertandingan yang belum selesai.
FIFA tentu mendapat getahnya, apalagi waktu itu federasi sepakbola dunia ini dipimpin oleh orang Brasil, Joao Havelange. Namun demikian, hasil investigasi yang dilakukan FIFA membikin publik Chili gigit jari. Keadaan berbalik. Alih-alih mendapat simpati, Rojas justru dituding melukai diri sendiri. Hal ini dibuktikan lewat hasil jepretan fotografer kelahiran Argentina, Ricardo Alfieri, yang menunjukkan kalau flare tersebut jatuh di tempat yang cukup berjarak dari Rojas. Lagipula, pemeriksaan medis juga tidak menemukan satu luka bakar pun. Flare tersebut dalam keadaan menyala, seharusnya luka bakar menjadi dominan jika Rojas memang cedera perkara lemparan flare.
Walau pada awalnya menyangkal, arkhirnya Rojas mengaku juga. Dalam pengakuannya ia menceritakan kalau ia melukai dirinya dengan pisau cukur yang disembunyikan di balik sarung tangannya. Fernando Astengo yang waktu itu didaulat sebagai kapten lah yang membantu menghilangkan pisau cukur tersebut di menit-menit kritis. Petaka pada karir sepakbola Rojas tak hanya menyoal citra yang buruk. Ia juga dilarang untuk bersepakbola seumur hidup oleh FIFA.
Cerita mengenai insiden flare ini pernah kami bahas sebelumnya dalam sajian bertajuk Foto Sepakbola yang Mengubah Fakta
Di masa-masa hukumannya, Rojas tetap bergiat dalam sepakbola. Ia terkenal sebagai komentator pertandingan dan juga mendirikan sekolah sepakbola untuk anak-anak di Chili. Sekitar tahun 2001, larangan bermain seumur hidup oleh FIFA dicabut. Waktu itu usianya sudah 43 tahun, agaknya pencabutan larangan tersebut tak berpengaruh banyak pada diri Rojas. Kesebelasan mana yang mau merekrut pria gaek berusia 43 tahun? Namun demikian, Rojas menjalani pertandingan terakhirnya pada laga testimonial Ivan Zamorano. Satu hal yang bisa dipastikannya lewat pertandingan tersebut: Publik sudah memaafkannya.
Eduardo Galeano dalam Soccer in Sun and Shadow pernah menulis kalau kriminalitas, segala yang jahat dan tak pantas sah-sah saja terjadi di ranah sepakbola profesional selama memiliki alibi yang tepat. Barangkali apa yang dilakukan Rojas juga berdasarkan hal ini. Rojas punya ambisi, punya ketakutan tersendiri. Namun apa boleh buat, alih-alih naik ke puncak merengkuh apa yang begitu diidam-idamkan, karir sepakbola Rojas justru habis dilumat ambisi.
Diolah dari berbagai sumber
à Sumber foto: https://static.sportskeeda.com/
Komentar