Secara konvensional, proses belajar biasanya dilakukan oleh para siswa muda kepada para gurunya yang lebih tua. Pemahaman seperti ini malah diartikan oleh banyak orang bahwa orang tua-lah yang mesti mengajari para pemuda. Memang, hal tersebut tak sepenuhnya salah dan tak sepenuhnya benar juga.
Akan tetapi, di era informasi ini banyak anak muda yang berkembang pesat secara keilmuan maupun secara kepemimpinan. Hal ini juga yang terjadi dalam dunia sepakbola. Tak selamanya yang telah berumur itu enggan melihat ke bawah dan lebih muda darinya serta tetap bebal terhadap pendiriannya yang bahkan mungkin bisa dibilang sudah sangat kuno.
Dua paragraf diatas sangat cocok dialamatkan kepada Mark Sampson dan Roy Hodgson.
***
Memang, siapa sih, Mark Sampson itu? Sepenting itukah dia hingga seorang tua-bangka bernama Roy Hodgson yang sudah malang melintang melatih di sembilan belas tim untuk belajar darinya yang masih seumur jagung di level kepelatihan? Semuanya, saya kira, masih bisa diperdebatkan.
Mark Sampson adalah pelatih tim nasional perempuan Inggris. Umurnya sangat muda, baru 32 tahun. Untuk ukuran seorang yang berkecimpung dalam dunia sepakbola, tentu umur Mark Sampson ini masih layak untuk berkarir sebagai pemain setidaknya sampai umur 37 tahun.
Namun, ia hanya berkarir di kesebelasan Cardiff Corinthians, salah satu liga semi-professional di Wales. Bermain di sana membuat masa depan karirnya terlihat tak menarik baginya. Bahkan ia menganggap bahwa terkadang ketika ia bermain, ia merasa otaknya bereaksi cepat atas apa yang terjadi di lapangan akan tetapi kaki-kakinya tak mampu untuk mengimbanginya. Pemikiran tersebutlah yang membawa Mark Sampson untuk mengarungi dunia manajerial hingga saat ini. Baginya, lebih baik mengimplementasikan ide-ide yang muncul cepat dari kepalanya lewat aksi di pinggir lapangan sebagai pelatih.
Kendati masih muda, prestasi Mark Sampson ini tak main-main. Sebelum mendampingi anak asuhnya berlaga di Piala Dunia Perempuan 2015 ini, Mark Sampson terlebih dahulu mengantarkan anak asuhnya menjuarai turnamen mini antar negara yang bertajuk Cyprus Cup pada bulan Maret lalu. Setelah itu, ia mengantarkan Inggris menjadi juara tiga di ajang sebesar Piala Dunia Perempuan setelah menghempaskan Jerman lewat gol penalti Fara Williams di perpanjangan waktu.
Pencapaian juara ketiga saja, skuat Inggris arahan Mark Sampson sudah mendapatkan pujian dari seantero Inggris Raya, apalagi jika masuk ke partai final. Maklum saja, hal ini dikarenakan setelah tim nasional laki-laki masuk semifinal Piala Dunia 1990, tak ada lagi tim nasional Inggris, apapun gendernya, yang mampu menembus semifinal. Dengan kata lain, timnas perempuan Inggris 2015 pencapaiannya hanya kalah dari timnas laki-laki inggris tahun 1966 saat menjadi juara dunia.
Mark Sampson bersama sang sesepuh, Roy Hodgson (sumber: thefa.com)
Uniknya, sebelum ia berangkat menuju Piala Dunia Perempuan, Mark Sampson menyempatkan dirinya untuk meminta petuah dari Roy Hodgson, Gareth Southgate dan Dave Reddin selaku direktur tim nasional Inggris. Ia betul-betul menghargai seniornya tersebut.
Namun, dengan segala pencapaian Mark Sampson yang luar biasa, saya rasa, kini Roy Hodgson-lah yang mesti berbalik belajar kepada Mark Sampson.
Memang hal ini terlihat perbandingan yang tidak setara dan tidak adil ketika membandingkan beban dan kondisi antara melatih tim laki-laki dan tim perempuan. Namun, esensi belajar di sini adalah bagaimana Hodgson mengadopsi, atau paling tidak, memiliki rasa malu jika ada publik Inggris yang membanding-bandingkan prestasi antara timnas laki-laki dan perempuan mereka.
***
Dalam pendekatan permainan, Mark Sampson sangat gemar melakukan ekseperimen kepada taktik yang ia terapkan terhadap pemain-pemain yang ia miliki. Meski terdengar riskan, ia memang kerapkali diberkati keberuntungan sehingga hasil di lapangan tidak buruk-buruk amat. Bahkan di sepanjang pagelaran Piala Dunia Perempuan 2015 ini, ia sudah memakai semua pemainnya kecuali kiper cadangan ketiga yaitu Carly Telford.
Pelatih yang banyak terinspirasi oleh Roberto Martinez ini memiliki reaksi yang bagus terhadap jalannya pertandingan dan selalu responsif ketika lawan melakukan pendekatan yang berbeda. Seperti bunglon yang adaptif, ia mengarahkan anak asuhnya untuk melakukan transisi bermain dari taktik satu menuju taktik yang lainnya dengan cepat demi meraih hasil yang mereka inginkan.
Dalam wawancaranya bersama Guardian, Mark Sampson mengungkapkan bahwa âTim ini bisa bermain dengan skema 4-3-3, skema 4-4-2 flat atau bahkan skema 4-4-2 berlian. Hal ini sangat menguntungkan karena para pemain sangat nyaman dengan formasi tersebut dan bisa diimplementasikan di partai yang berbeda-beda di Piala Dunia ini.â
Tentu saja, kelakuan eksperimen ala Mark Sampson tak melulu benar. Ketika timnya bersua Prancis saat partai pembuka, mereka kalah karena pemain bertahan mereka terlalu pasif dan lebih banyak menunggu di daerah pertahan mereka. Dampaknya, mereka terlihat inferior dan Prancis berhasil menemukan celah lewat tendangan jarak jauh yang akhirnya berbuah menjadi gol.
Namun, dari kegagalan, ia belajar bagaimana menghadapi situasi sulit. Tertinggal lebih dahulu saat bersua Norwegia di babak 16 besar, akhirnya mereka mampu unggul 2-1 saat itu. Perilaku reaktif dan kecermatan dalam menentukan pilihan pemain serta formasi saat itu membuat serangan Inggris lebih menggigit. Inilah kelebihan Mark Sampson dibandingkan Roy Hodgson yang dianggap sebagai old-fashioned-school-coach di tanah Inggris.
Wajar sebenarnya jika kita dan sebagian besar pendukung Inggris akan mengkambing-hitamkan Hodgson sebagai kegagalan timnas mereka di Piala Dunia 2014 tanpa meraih secuil pun kemenangan. Dampaknya, Inggris juga sempat mendekam di peringkat 20 dalam urutan resmi yang dirilis FIFA dan menjadi peringkat terburuk pasca Juli 1996 dulu.
Padahal, di eranya dulu, atau tepatnya di tahun 1976, ia merupakan pelatih paling paling disegani di Swedia karena mampu mengangkat performa Halmstad yang sedang suram-suramnya menjadi juara Liga Swedia saat itu. Perubahan revolusionernya juga mengenalkan formasi 4-4-2 dengan zonal marking dan meninggalkan formasi 5 bek dengan pendekatan man-marking. Saat itu ia sangat terinspirasi dengan gaya Liverpool bermain yang cepat dan atraktif di masanya. Namun, dulu tetaplah dulu. Karena kini, pendekatan permainan sepakbola jelas-jelas sudah mulai berubah.
Tapi tak adil juga jika kita hanya menyalahkan Roy Hodgson seorang perihal mandegnya tim nasional Inggris di kompetisi-kompetisi resmi internasional. Faktor-faktor selain pelatih seperti kualitas dan orientasi liga, kualitas pemain serta fakor lainnya bisa jadi saling mempengaruhi satu sama lain.  Namun, pelatih dan pemainlah yang paling terdepan dalam urusan tanggung jawab ketika mereka menanggung malu (kembali) ketika gagal di kancah Internasional.
Seharusnya, tak ada masalah berarti jika Roy Hodgson tiba-tiba mendadak terinspirasi dari keberhasilan Mark Sampson di Piala Dunia Perempuan. Tapi, jika ia masih bebal, maka siap-siap saja ia digeser oleh Mark Sampson dari kursi panas tim nasional laki-laki Inggris suatu saat nanti.
Seru juga kali, ya, membayangkan pelatih timnas Inggris perempuan melatih Rooney, dkk., dan Hodgson kemudian melatih Fara Williams dan Laura Basset. Pelatih yang tertukar!
Tulisan diolah dari sini dan tambahan beberapa sumber
Komentar