Ditulis oleh Alwinsyah Lubis
Berbagai berita aktual dunia sepakbola  dalam beberapa hari terakhir sangat menarik perhatian. Mulai dari kisah hengkangnya penjaga gawang Real Madrid C.F, Iker Casillas, hingga berita kisruhnya federasi sepakbola lokal dengan instansi pemerintahan yang begitu klise dan memuakkan.
Untuk saya pribadi, sepakbola sendiri lebih mulia dari semua cerita modernitas yang menempel di dalamnya. Saya ingin membagikan sedikit cerita yang menggambarkan sepakbola sebagaimana mestinya, di mana sepakbola sebagai identitas, sepakbola dengan kebebasan, dan sepakbola dengan kebanggaan.
Cerita sepakbola ini berasal jauh dari hingar bingarnya sepakbola lokal profesional, apalagi sepakbola benua biru. Amat sangat jauh. Cerita sepakbola ini berasal dari sebuah desa tersembunyi dengan warisan bendungan era pemerintahan kolonial, desa tempat ibu saya lahir, Desa Cibendung.
Secara administratif desa ini masuk wilayah Kabupaten Brebes, persisnya di Kecamatan Banjarharjo. Letaknya di perbatasan Brebes dan Cirebon. Kendati masuk wilayah Brebes, warga desa Cibendung tidak berbahasa ngapak dalam kesehariannya. Sehari-hari warga menggunakan bahasa Sunda.
Desa Cibendung memiliki satu buah lapangan sepakbola dengan dimensi yang cukup untuk melakukan pertandingan dua kesebelasan. Hanya saja kontur tanahnya jauh dari kata baik; gundukan tanah terdapat di sana-sini. Walaupun warganya telah berusaha meratakan dengan cangul dan alat berat, kondisi lapangan akan kembali pada keadaan semula.
Garis-garis lapangannya pun hanya ada pada imajinasi pemain, wasit dan para penonton yg menyaksikkn pertandingan sepakbola di sana. Lemparan ke dalam dilakukan jika bola sudah benar-benar keluar lapangan.
Karenanya terdapat dua hal yang menyatakan bola keluar lapangan. Yang pertama ketika bola sudah masuk selokan di salah satu sisi lapangan dan ketika bola sudah menyentuh pagar batas permukiman warga di sisi lainnya. Begitu pula dengan sepak pojok dan tendangan gawang. Dinyatakan demikian apabila bola sudah mengenai bagian tubuh salah seorang penonton di belakang  gawang.
Meskipun demikian, lapangan ini tetap menjadi favorit anak-anak kecil di sana yang selalu menyerbunya ketika jeda turun minum saat pertandingan berlangsung. Saat jeda turun minum itu, mereka memainkan bola plastik seakan-akan mereka adalah para pemain dari salah satu kesebelasan yang mereka banggakan.
Hal di atas mungkin bukanlah cerita yang langka. Mungkin banyak pula lapangan di daerah lain yang situasinya tak jauh berbeda dengan lapangan yang saya ceritakan di atas. Tapi sebenarnya ada hal lain yang membuat lapangan ini menjadi menarik untuk diceritakan.
Jika di Inggris kita mengenal istilah Boxing Day, pertandingan sepakbola yang diadakan pada waktu-waktu Natal, di lapangan ini kompetisi sering diadakan setelah warga merayakan Idul Fitri. Kadang sore hari di hari Idul Fitri atu pun keesokan harinya. Kompetisi ini diikuti oleh para pemuda-pemuda desa sekitar.
Kompetisi ini selalu dinantikan oleh para pemuda desa ini setiap tahunnya. Setiap malam sebelum kompetisi dimulai perwakilan dari masing-masing kesebelasan melakukan diskusi di balai desa untuk membicarakan regulasi mengenai pertandingan.
Masing-masing kesebelasan pun mempersiapkan strategi untuk menghadapi pertandingan. Uniknya, pembahasan strategi tidak hanya mencakup formasi kesebelasan ataupun pemain inti dan pemain pengganti, tapi juga mencakup arah angin, kontur lapangan, dan letak gawang pun menjadi hal yang didiskusikan.
Di lapangan tersebut memang ada bagian-bagian lapangan yang mesti dihindari saat melakukan serangan terhadap lawan. Bagian-bagian lapangan tersebut merupakan gundukan tak kasat mata yang akan menghambat laju aliran bola yang mengakibatkan gagalnya serangan.
Kesebelasan-kesebelasan yang turut sertai berasal dari masing-masing blok: ada blok utara, blok selatan, blok timur, blok barat. Tapi selain kesebelasan dari antar blok, ada juga kesebelasan khusus seperti kesebelasan Aceh Jaya yang para pemainnya merupakan para pekerja yang bekerja di Aceh. Mereka pulang kampung di hari lebaran.
Pada kompetisi ini terdapat sebuah pertandingan yang menarik, memiliki tensi tinggi. Pertandingan ini mempertemukan dua kesebelasan yang menjadi rival sejak dahulu kala.
Rivalitas ini berawal dari sebuah perselisihan yang dimulai sejak generasi terdahulu. Ketika pertandingan ini berlangsung, tak jarang terjadi keributan-keributan, meski tidak sampai terjadi baku hantam.
Hal ini terjadi mungkin karena konteks pertandingan yang hanya mencakup satu desa di mana para pemain-pemain dan para pendukungnya mengenal satu dengan yang lainnya. Bahkan tak jarang dari pemain dan pendukung yang saling berlawanan merupakan saudara, baik dengan status sepupu ataupun paman dengan ponakannya.
Pertandingan ini selalu menarik perhatian saya dan siapapun penontonnya yang merupakan campuran dari pria lansia, ibu rumah tangga, wanita dan anak-anak kecil. Bahkan, adik saya dan adik-adik sepupu perempuan saya, yang sehari-hari tinggal di Jakarta dan sama sekali tidak peduli dengan sepakbola, mereka ikut menjerit-jerit ketika terjadi kemelut di depan gawang maupun pelanggaran keras antar pemain.
Saat pertandingan ini berlangsung, sang kuwu atau Kepala Desa dipastikan hadir di sebelah komentator. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Saking spesialnya laga ini, disediakan satu wasit cadangan. Wasit utama dan wasit cadangan ini berasal dari desa lain.
Tahun lalu memang sempat terjadi kerusuhan pada pertandingan ini, sehingga sang wasit harus menghentikan pertandingan ini. Insiden ini terjadi ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan salah seorang pemain terhadap pemain lawan di area kotak penalti yang berujung pada kartu kuning dan tendangan penalti.
Keributan dimulai setelah beberapa pendukung kesebelasan yang mendapatkan kartu kuning  merengsek masuk ke lapangan karena tidak terima dengan keputusan wasit. Salah seorang di antaranya menendang bola jauh-jauh dari kotak penalti ketika bola sudah berada di titik putih.
Suasana semakin tidak kondusif ketika wasit menghentikan pertandingan. Beberapa pemain kesebelasan yang melakukan pelanggaran berusaha mengejar sang wasit karena tidak terima dengan keputusan sang wasit. Secara spontan sang wasit pun keluar lapangan dan pihak-pihak kantor desa segera mengamankan sang wasit. Beruntung pihak desa segera bertindak sebab pendukung dan pemain tim yang mendapatkan penalti juga tak terima kerena  penalti tidak kunjung dilaksanakan.
Setelah sang Kepala Desa menenangkan suasana dengan wejangan-wejangan menggunakan bahasa Sunda halus melalui pengeras suara, wasit kembali melanjutkan pertandingan, penalti dilaksanakan dan berujung gol. Sontak para pendukung kesebelasan yang mencetak gol melakukan perayaan besar-besaran; mulai dari kakek-kakek yang mengangkat sarung, hingga anak-anak berlari-lari kegirangan kedalam lapangan, pitch invasion!
Saya sendiri terus tersenyum-senyum sejak kekisruhan pertandingan ini dimulai karena pertandingan ini begitu lugu sekaligus suci. Tidak ada pagar pembatas,tidak ada teknologi garis gawang, tidak ada mafia-mafia pengatur skor, tidak ada pihak keamanan dan tidak ada pihak-pihak konyol yang selalu memberatkan sepakbola dengan peraturan-peraturan langitnya.
Saya bisa merasakan keluhuran dan kemuliaan sepakbola kampung macam ini, sepakbola tradisional yang masih murni, masih asali. Bukan sepakbola profesional yang nyatanya masih kampungan, bukan pula sepakbola kampung yang sok-sok memeriahkan diri dengan menggunakan jasa pemain-pemain pemain pro yang nyatanya masih butuh juga uang kampung. Inilah sepakbola tradisional, sepakbola kampung, yang sesungguhnya.
Bersyukur saya masih bisa menemukan sepakbola seperti ini. Pertandingan sepakbola kampung semacam ini setidaknya menjadi obat rindu saya terhadap sepakbola Indonesia yang tengah mati suri, tak tahu kapan akan bangkit kembali.
âFootball is a whole skill to itself. A whole world. A whole universe to itself. Me love it because youâve to be skillful to play it! Freedom! Football is Freedom!â  -Bob Marley.
Penulis beredar di dunia maya dengan akun twiter @alwinsyahlubis
Komentar