Di tengah hiruk pikuk konflik yang tengah melanda sepakbola nasional, saya seringkali tertegun memikirkan sesuatu. Jika sepakbola Indonesia selama ini benar-benar telah terkontaminasi oleh pengaturan skor, bahkan pengaturan siapa yang menjadi juara, lalu apa bedanya saya menonton sepakbola dengan menonton Smackdown?
Bisa dibilang saya merupakan sedikit orang yang masih mengikuti perkembangan WWE Smackdown atau yang dikenal Smackdown hingga saat ini. Dan mungkin sebagian atau banyak yang membaca pernyataan saya di atas akan sedikit geli dan berkomentar: âHari gini masih nonton Smackdown?â.
Acara yang sempat menjadi kontroversi di Indonesia beberapa tahun lalu ini memang semakin kehilangan pamornya setelah tak ditayangkan di TV nasional. Kemudian banyak pula yang berhenti mengikuti perkembangan Smackdown setelah mengetahui acara yang mengedepankan olahraga gulat ini by script atau berskenario.
Ya, bukan rahasia lagi jika Smackdown ini merupakan acara gulat yang direkayasa (tentunya setelah banyak artikel atau video yang menunjukkan ke-rekayasa-an tayangan ini). Semua yang terjadi di dalamnya (entah itu siapa yang akan menang atau siapa yang akan meraih gelar juara) telah diatur sedemikian rupa.
Seperti nama perusahaannya, WWE yang kini melingkupi RAW, Smackdown dan NXT, merupakan singkatan dari World Wrestling Entertainment. Dari sini sudah jelas terlihat bahwa acara ini disajikan sebagai hiburan untuk para penggemar wrestling atau gulat di dunia.
Lalu untuk apa saya menyaksikan acara olahraga yang setiap pertandingannya telah diatur siapa yang menang dan siapa dan kalah? Seperti tujuan dari WWE sendiri, saya menyaksikan tayangan ini hanya untuk hiburan semata.
Saya bisa menikmati Smackdown karena ketika saya menyaksikan tayangannya, saya memposisikan diri sebagai orang yang sedang menyaksikan sebuah drama yang bercerita lewat pertandingan gulat di mana terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan alur ceritanya. Saya sendiri sering menyebut Smackdown sebagai sinetron para pria atau âSinetron Lakiâ.
Sebagaimana ibu-ibu yang menyaksikan Tukang Bubur Naik Haji, Preman Pensiun, dan sejenisnya, saya pun bisa âterbawaâ oleh tayangan Smackdown. Saya bisa dibuat kesal oleh Triple H (sekarang menjadi COO WWE, atau yang mengatur setiap pertandingan WWE) yang mengintimidasi para jagoan atau tokoh protagonis seperti John Cena, Roman Reigns, atau Dean Ambrose. Atau saya pun bisa dibuat merinding ketika misalnya tokoh antagonis seperti Randy Orton tiba-tiba bekerja sama dengan salah satu tokoh protagonis untuk menghajar Seth Rollins, tokoh antagonis yang sekarang menjadi juara WWE World Heavyweight Championship.
Tapi bagi saya, menyaksikan Smackdown yang kembali ditayangkan di Indonesia sejak 2011, hanyalah sebagai hiburan semata. Menyaksikan Smackdown bagi saya seperti tengah menyaksikan sebuah serial drama, layaknya serial drama khas Amerika Serikat. Mereka pun bertanding bukan atas nama prestasi, melainkan hanya sebagai entertainer atau penghibur karena para superstar-nya bertanding sesuai skenario.
Sepakbola Bukan Hanya Hiburan
Soal pertandingan yang sesuai skenario dalam tayangan Smackdown, saya langsung teringat dengan konflik yang terjadi di Indonesia. Karena salah satu masalah yang kabarnya telah mengakar di sepakbola Indonesia adalah soal pengaturan pertandingan, pengaturan skor, bahkan pengaturan kompetisi. Dengan kata lain, sepakbola Indonesia selama ini telah memiliki skenario tersendiri.
Namun isu penting seperti 'pengaturan' yang pada awal pemberitaannya begitu booming kini perlahan-lahan mulai meredup belakangan ini. Hingga saat ini, berita tentang skenario yang terjadi di sepakbola Indonesia masih belum menemukan titik terangnya, atau masih sekadar isu semata.
Saya sendiri kadang sering merasa heran ketika whistleblower-nya sudah berani tampil di publik, tapi kasus soal pengaturan skor yang katanya sudah ada sejak zaman saya belum lahir, masih belum bisa diusut. Pada sejumlah acara talkshow di TV nasional, isu ini pun bukan sekali dua kali diangkat bahkan menghadirkan pelaku pengaturan skor tersebut.
Lewat harian Tempo, dua mantan pelatih kesebelasan Indonesia pun ikut buka suara soal pengalamannya terlibat dalam pengaturan skor. Salah satunya Agus Yuwono, mantan pelatih Persiwa Wamena. Pada 2012, sehari sebelum kesebelasannya bertanding melawan Persidafon Dafonsoro, seorang bandar judi meminta timnya untuk kalah.
"Saya ditawari uang Rp 150 juta agar menyerag dengan skor 3-0 atau 3-1, tapi saya menolak," tutur Agus. Tapi ternyata, penolakan Agus itu tak membuat sang bandar menyerah di mana kemudian bandar tersebut mendekati manajemen Persiwa yang lain. Dan benar saja, kesebelasannya mengalah pada laga itu.
Masih menurut media yang sama, Bambang Suryo, seorang pengatur skor yang juga merupakan eks pesepakbola nasional pada 90-an hingga 2000-an, mengakui bahwa dirinya sudah puluhan tahun mengatur pertandingan di Indonesia. Ia pun mengatakan bahwa ia tahu siapa saja orang-orang yang bermain di dalam jaringan bandar judi sepakbola Indonesia tersebut.
Atas pernyataan-pernyataan tersebut, PSSI yang awalnya mengatakan bahwa tidak ada pengaturan skor, akhirnya mengatakan akan mengusut isu pengaturan skor yang ada di Indonesia. Bahkan menurut sejumlah berita yang beredar pada awal Juli, PSSI sudah menggandeng Kapolri dan baru-baru ini Interpol agar kasus âpengaturanâ ini terungkap.
Pun begitu dengan pihak Menpora. Sebelum PSSI bekerja sama dengan Kapolri dan Interpol, kubu Menpora telah merilis bukti terkait adanya âpengaturanâ lewat beberapa penyadapan atau percakapan telepon para pelaku. Beberapa pelaku âpengaturanâ pun sudah berani buka-bukaan dan siap menjadi saksi untuk membongkar kasus yang (kabarnya) sudah menjamur ini.
Tapi hingga saat ini, masih belum ada kelanjutan mengenai isu âpengaturanâ ini, baik dari kubu PSSI maupun kubu Menpora. PSSI kini  justru lebih giat menggemborkan hasil PTUN yang membuat mereka semakin vokal untuk meminta Menpora mencabut SK pembekuan PSSI, sementara Menpora (dan tim transisinya) masih sibuk mengelola Piala Kemerdekaan yang rencananya akan digelar Agustus nanti.
Tanpa mengesampingkan mengenai masalah penunggakan gaji, pemain yang meninggal, dan permasalahan hak-hak pemain yang lainnya, bagi saya isu âpengaturanâ pun harus mendapat perhatian lebih. Karena jika benar adanya, tentunya publik sepakbola nasional akan merasa tertipu selama ini karena ternyata hasil akhir pertandingan hingga siapa yang menjadi juara kabarnya telah diatur sebelum kompetisi dimulai.
Menyaksikan pertandingan sepakbola, terlebih pertandingan sepakbola nasional, bagi saya lebih dari sekadar hiburan. Karena kesebelasan yang bertanding seringkali merepresentasikan sebuah daerah asal kesebelasan tersebut, tak terkecuali di Indonesia.
Sekarang bayangkan, ketika kita sudah mencurahkan semua energi kita untuk mendukung kesebelasan yang kita dukung untuk meraih kemenangan bahkan menjadi juara, ternyata pertandingannya sendiri telah diatur oleh pihak-pihak tertentu. Bukankah ini membuat dukungan, teriakan, ketegangan, kesedihan, kekesalan, bahagia, bahkan air mata yang kita ekspresikan selama ini menjadi sia-sia?
Sepakbola bukan hiburan sebagaimana Smackdown. Kurang tepat jika menyebutkan kehilangan pertandingan sepakbola nasional membuat kita kehilangan hiburan. Kurang tepat jika ada yang menyebutkan tak adanya kompetisi sepakbola Indonesia membuat masyarakat kehilangan hiburan. Karena sepakbola tak hanya sekadar menghibur, tapi juga melibatkan emosi, energi, dan ekspresi.
Karenanya, masalah pengaturan skor di Indonesia ini harus segera ditemukan titik terangnya. Jangan sampai kompetisi sepakbola di Indonesia bisa kembali bergulir tapi masalah-masalah yang selama ini menjadi alasan Menpora membekukan PSSI tak menemukan solusi dan penyelesaiannya.
Baca juga artikel tentang Smackdown yang berhubungan dengan sepakbola lainnya seperti eks kiper timnas Jerman yang kini menjadi superstar Smackdown dan Rooney yang pernah ditantang oleh superstar Smackdown.
Dan mengenai âpengaturanâ, bukan rahasia lagi bahwa sepakbola Indonesia memang terindikasi bahwa hal tersebut memang ada, seperti âSepakbola Gajahâ atau yang dikatakan Agus Yuwono misalnya. Jika hal ini tak terselesaikan ketika kompetisi kembali berjalan, bisa saja para âpengaturâ tersebut masih berkeliaran di luar sana sehingga kompetisi atau setiap pertandingan sepakbola Indonesia masih sepenuhnya belum aman dari âpengaturanâ.
PSSI harusnya tak terlalu sibuk dengan hasil PTUN, dan Menpora tak terlalu sibuk dengan penyelenggaran Piala Kemerdekaan. Percuma jika pembekuan PSSI dicabut tapi nantinya pertandingan kembali diatur, percuma Piala Kemerdekaan dilaksanakan karena tak mustahil pertandingannya pun diatur oleh mereka yang masih berkeliaran.
Dan jika sepakbola Indonesia seperti Smackdown, tak mengedepankan sportifitas, sepakbola Indonesia benar-benar hanya menyajikan hiburan semata. Dan pada akhirnya, mungkin kita, atau khususnya saya, akan menyaksikan sepakbola nasional sebagaimana saya memposisikan diri saya saat menonton tayangan Smackdown: mencari hiburan dari sinetron yang disajikan lewat olahraga.
Komentar