Karya Toga Ardian Saputra
15 Juli akan diingat para Juventini sebagai titimangsa yang tidak enak.
Pada 15 Juli 2014, sang juru selamat, Antonio Conte, meninggalkan Vinovo setelah tiga musim berturut-turut membawa Si Nyonya Tua kembali ke singgasananya usai skandal Calciopoli. Tiga scudetti dan dua trofi supercoppa Italiana ia persembahkan setelah pada dua musim sebelumnya Juventus hanya berkutat di posisi ketujuh Serie A.
Statusnya sebagai legenda Bianconeri, sekaligus mantan kapten di era 90-an, semakin menambah pahit perpisahan sang allenatore.
âJuventus bagaikan seseorang dengan uang 10 euro yang ingin bersantap malam di restoran seharga 100 euro,â dalih Conte sebagai alasan kepergiannya, merujuk ketidakmampuan Juventus bersaing secara finansial dengan raksasa-raksasa daratan Eropa lainnya.
Pada 15 Juli 2015, tidur para pendukung Juventus kembali terusik dengan datangnya rumor tak sedap. Alih-alih mendapatkan berita tentang pembelian suksesor-suksesor duo Midas mereka, Andrea Pirlo dan Carlos Tevez, media-media terpercaya justru mengabarkan kepindahan sang pilar lini tengah, Arturo Vidal. Menjadi gelandang terproduktif dan penyumbang tekel terbanyak selama empat musim belakangan, apa lagi baru saja membawa Chili menjuarai Copa America, tentu saja membuat kepergiannya diiringi kernyit dahi dan tanda tanya.
Vidal pun pergi dengan banderol yang dirasa kurang menggambarkan kontribusinya. Di saat pemain muda tanpa medali juara seperti Raheem Sterling ditebus dengan harga selangit, 49 juta pounds atau setara hampir 70 juta euro, Vidal âhanyaâ dibeli dengan mahar 40 juta Euro. Tentu saja keputusan menjual Vidal, apalagi setelah kepergian Pirlo dan Tevez, menuai berbagai kecaman dari publik Juventus.
Namun rasanya Juventini tak perlu risau-risau amat.
Walau pun ditinggal pelatih kelas wahid, seperti Antonio Conte, dan pemain-pemain kunci macam Andrea Pirlo, Carlos Tevez, dan Arturo Vidal, Juventus masih memiliki nama-nama yang lebih bertanggung jawab atas segala kesuksesan Si Nyonya Tua pasca Calciopoli. Siapa lagi kalau bukan tiga sosok sentral Bianconeri: Andrea Agnelli, Beppe Marotta, dan Fabio Paratici.
Di tangan Agnelli, Si Nyonya Tua mengukuhkan dirinya sebagai klub Italia yang paling stabil keuangannya. Kehadiran Juventus Stadium, J-Museum, serta proyek Continassa, tak pelak menjadikan Juventus sebagai acuan tersahih dalam sisi ekonomi bagi kesebelasan-kesebelasan lain di Italia. Apalagi ditambah kegemaran Marotta dan Paratici berburu pemain gratisan. Pakem Marottanomics, dengan jargonfree signing atauloan with option to buy, menjadikan Juventus sebagai kesebelasan juara yang dibangun dengan modal seminim-minimnya. Andrea Pirlo, Paul Pogba dan Fernando Llorente, contohnya.
Keputusan-keputusan teknis selama era Agnelli pun banyak mengundang decak kagum. Antonio Conte, yang ditunjuk sebagai pelatih kepala, berhasil menularkan ciri grinta dan mental pantang menyerah ala Juventinita-nya dalam permainan anak asuhnya.
Dalam bursa transfer, selain mendatangkan pemain-pemain free agent, duo Marotta-Paratici berhasil mendatangkan pemain-pemain berkelas dengan harga yang tak begitu mahal: Leonardo Bonucci, Stephan Lichtsteiner, Arturo Vidal, Carlos Tevez, dan Patrice Evra masing-masing didatangkan dengan harga yang paling banter hanya menyentuh kisaran belasan juta euro. Mereka pun tak pernah sembarangan memboyong pemain. Perilaku di dalam dan di luar lapangan selalu jadi acuan.
âSaya selalu memberitahu istri saya bahwa sebelum membeli seorang pemain, saya harus melihatnya dalam tiga situasi: saat bermain di lapangan, saat bersama keluarganya, serta saat bersama orang-orang di sekelilingnya,â ujar Paratici, membeberkan betapa Juventus membutuhkan pemain dengan mental pemenang dan perilaku yang baik.
Hasilnya? Juventus berhasil memuncaki singgasana sepakbola Italia selama tiga musim berturut-turut. Di tangan trio Agnelli-Marotta-Paratici, Juventus berhasil disulap menjadi sebuah kesebelasan yang garang di segala bidang: ditakuti di lapangan hijau serta disegani di bidang ekonomi. Sebuah perwujudan yang lama dirindukan Juventini.
Namun, bukan berarti masa kepemimpinan Agnelli bersih dari dosa. Kepergian kapten, ikon, dan legenda Juventus, Alessandro Del Piero, menyisakan noda kecil yang sulit dihapuskan dari ingatan. Loyalitas yang ditunjukkan Del Piero selama 19 musim mengenakan seragam putih-hitam sudah selayaknya dibayar Agnelli dengan penghormatan yang lebih manusiawi, paling tidak, dengan mengijinkan Del Piero pensiun di klub yang ia cintai.
Marotta-Paratici pun sebetulnya tak melulu bisa menghadirkan transfer-transfer ajaib. Masih ingat Jorge Martinez? Ya, ia salah satunya.
Tak ada yang sempurna di dunia, termasuk Agnelli, Marotta, dan Paratici. Tapi, toh, nyatanya terpaan badai 15 Juli edisi pertama mampu dengan gemilang diatasi.
Sehari setelah kepergian Conte, Juventus langsung bergerak cepat dengan mendatangkan Massimiliano Allegri. Walau pun sempat diragukan di awal kepemimpinannya, terutama pasca tensi Juventus-Milan di musim 2011/12 akibat âgol hantuâ Sulley Muntari, Allegri justru mampu membungkam segala keraguan dengan menyandingkan gelar Serie A dan Coppa Italia -- sebuah torehan yang dinanti-nanti hingga dua dekade lamanya. Tiket final Liga Champions pertama Juventus dalam 12 tahun terakhir pun mampu dipersembahkan, sekaligus menjadi penawar atas kritik pedas Conte setahun silam.
Desas-desus kepergian Pirlo dan Tevez pun telah diantisipasi dengan baik oleh Marotta dan Paratici sejak jauh-jauh hari. Sponsorship deal dengan raksasa apparel Jerman, Adidas, membuat mereka semakin leluasa bermanuver.
Paulo Dybala, Mario Mandzukic, dan Simone Zaza didatangkan untuk meramaikan lini depan. Peran Pirlo sebagai regista pun sudah siap diambil alih Claudio Marchisio. Sami Khedira, yang didatangkan secara gratis dari Real Madrid, merupakan pengganti sepadan bagi Vidal yang terbiasa tampil sebagai box-to-box midfielder. Pengalaman Khedira yang pernah menjuarai Liga Champions dan Piala Dunia juga dianggap cukup mampu memberi nuansa kepercayaan diri di ruang ganti, setelah duo pemain kharismatik, Marco Storari dan Simone Pepe, memilih hengkang musim ini.
Masalah gol dari lini tengah? Serahkan saja pada Paul Pogba dan tendangan-tendangan dari luar kotak penaltinya. Alvaro Morata yang beranjak dewasa juga telah siap memimpin Juventus setelah mampu mencetak gol-gol krusial di penghujung musim lalu. Stefano Sturaro pun siap menjadi mezzâala apabila Allegri ingin bermain ngotot. Kehadiran Neto Murara dan Daniele Rugani pastinya juga akan memperkokoh lini pertahanan. Apalagi Juventus masih disibukkan dengan proses kepindahan Julian Draxler dan Guilherme Siquiera, yang kedatangannya diharapkan mampu mengobati lara Juventini selepas eksodus para pemain yang mereka puja.
Agnelli, Marotta dan Paratici pun tak bisa sepenuhnya disalahkan atas kepergian tiga pilar itu. Alasannya jelas: Marotta tak akan pernah menjual pemainnya, kecuali pemain itu sendirilah yang merengek untuk dilego.
Pirlo hijrah ke New York karena ia tak mau dianggap habis oleh Juventus, seperti saat di Milan. Tevez malah secara blak-blakan ingin pulang ke kampung halaman. Dan Vidal.. merujuk pada pernyataan Allegri, âSeorang pemain dapat dihargai 400 juta atau bahkan satu milyar euro, tapi tanpa motivasi yang tepat, ia tak akan berharga satu euro pun,â
Maka dapat disimpulkan bahwa bermain untuk Si Nyonya Tua tak lagi membahagiakan Vidal. Bermain untuk Juve agaknya tidak lagi menjadi prioritas Pirlo dan Tevez yang punya agenda pribadi yang, mengingat totalitas dan kontribusi mereka selama ini, amat sangat layak untuk dihormati. Tak ada opsi lain bagi Juventus selain membukakan pintu keluar bagi ketiganya.
Rasa-rasanya, pendukung Si Nyonya Tua tak perlu berlama-lama dirundung duka atas kepergian pilar-pilar utama. Dengan pembenahan segala lini yang dipersiapkan Agnelli, Marotta dan Paratici - juga Allegri tentunya - Juventus diyakini tak banyak menghadapi kendala dan tetap akan memimpin perburuan titel Serie A dalam beberapa musim mendatang.
Sah-sah saja memang apabila banyak yang mencibir dan mengkritik kinerja trio pemimpin Juventus. Tapi yang harus dicamkan betul-betul adalah: tanpa mereka mana mungkin Bianconeri bisa seperti saat ini?
Juventini harusnya meresapi kembali perkataan legendaris milik almarhum Gianni âLâavvocatoâ Agnelli: âPlayers come and go, but Juve remains.â
Kalau pun kepergian pemain-pemain pilar masih menyisakan pedih yang keterlaluan, bersabarlah. Percayalah saja bahwa masih ada orang-orang di balik layar yang setia membela panji-panji Bianconeri. Percayalah saja pada trinitas Agnelli, Marotta, dan Paratici.
Sumber foto:Â www.spaziojuve.it
Penulis adalah penganut paham poligami dalam berklub, karena manusia tak betul-betul bisa memilih kemana hatinya akan berlabuh, toh? Jiwa raganya bertaut pada Juventus karena mental fino alla fine-nya, Chelsea karena Jimmy Floyd Hasselbaink-nya, dan Fenerbahçe karena Istanbul-nya. Penulis dapat ditemui di dunia maya dengan akun twitter @togaas.
Komentar