Karya Reva Bagja Andriana
Ketika melihat upaya beberapa klub besar dalam mendatangkan penjaga gawang di bursa transfer, saya teringat akan lagu "Two is Better than One" yang pernah dibawakan oleh band asal Amerika, Boys Like Girl, yang berduet dengan Taylor Swift. Liriknya sederhana, berkisah seputar dua individu yang ingin bersatu.
Kecenderungan yang saat ini terlihat, klub-klub tersebut berusaha untuk mendapatkan dua orang shot-stopper di bawah mistar dengan kualitas yang sama baiknya. Keduanya diproyeksikan untuk mengarungi kompetisi yang berat dan panjang, apalagi bagi klub yang bermain di Liga Champion.
Tren baru semacam ini benar-benar terasa pada klub-klub papan atas Liga Primer Inggris. Misalnya, Arsenal yang bersikeras untuk mendatangkan Petr Cech, walaupun sudah memiliki Ospina dan Szczesny (yang akhirnya dipinjamkan ke AS Roma selama setahun). Alasannya sederhana, Szczesny dinilai tidak cukup kuat untuk mengantarkan Arsenal meraih gelar selain piala FA. Performanya yang angin-anginan membuat Arsene Wenger mendatangkan Cech untuk memperkuat palang pintu terakhir mereka.
Ospina yang didatangkan musim lalu juga belum begitu pantas untuk mendapatkan kepercayaan dari sang profesor, meski sebenarnya, penampilannya ketika menggantikan Szchesny dan sewaktu bermain di Copa America cukup menjanjikan.
Tak ingin kalah dari klub tetangganya tersebut, Chelsea langsung menggaet Asmir Begovic dengan mahar 11 juta euro. Kedatangan Begovic sendiri bukan sekadar pengobat luka yang ditinggalkan oleh Petr Cech. Ia datang untuk membuat kompetisi âinternalâ dengan Thibaut Courtois yang sangat diperlukan agar performa yang ditunjukan oleh siapapun yang ditunjuk oleh Mou konsisten.
Tentunya Mou tak ingin Courtois dilapisi hanya dengan Jamal Blackman ataupun Mitchel Beeney yang belum terbukti dan masih miskin pengalaman. Apalagi dengan seabreg kompetisi yang akan dijalani oleh Chelsea, setidaknya, Courtois akan terbantu dengan kedatangan Begovic.
Jika beralih ke klub Manchester United, maka kita akan melihat duo espana yang sama-sama kuat. Kiper sekelas Victor Valdes menjadi pelapis David de Gea sejak pertengahan musim lalu. Victor Valdes yang sepertinya sudah siap meninggalkan Red Devils, karena tidak diajak âjalan-jalanâ pre-season tour ke Amerika Serikat. Tapi MU tidak gusar, mereka langsung mendatangkan Sergio Romero yang baru saja membela Argentina di Copa America dengan performa yang cukup apik, mengantarkan Argentina ke partai puncak.
Barcelona boleh dikatakan sebagai kesebelasan yang mempopulerkan pola semacam ini. Sejak musim lalu, performa yang ditunjukkan oleh Claudio Bravo maupun Ter Stegen sangat konsisten. Hal ini benar-benar membantu Barcelona meraih treble winners di bawah kepelatihan Luis Enrique.
Claudio Bravo menunjukkan kematangannya sebagai kiper dengan mengemas 23 clean sheet di La Liga Spanyol. Penampilan gemilangnya ini pada akhirnya mengantarkannya sebagai kiper terbaik dengan gelar El Zamora 2014/2015.
Ter-Stegen tak mau kalah dari sang senior. Ia menunjukan penampilan yang konsisten di bawah mistar ketika bermain di Liga Champion maupun Copa Del Rey. Selain mengantarkan Barcelona meraih gelar ke-5 liga champion, ia terus dipercaya dari seluruh gelaran Liga Champion dibawah panji Barcelona dengan total 13 pertandingan dengan pencapaian 6 clean sheet.
Menarik untuk menyaksikan dua kiper yang sama-sama hebat berada pada satu tim dan mengantarkan timnya meraih prestasi. Apalagi jika melihat klub rival Barcelona yang memiliki masalah dengan kipernya. Mungkin inilah salah satu kelebihan âberduaâ yang dimiliki oleh klub, mereka dapat saling berkompetisi dan menunjukan kemampuan terbaiknya ketika ditunjuk oleh sang pelatih.
Klub-klub di atas agaknya belajar dari Barcelona yang membuktikan pentingnya kompetisi bagi seorang kiper. Ketika era Pep Guardiola, Barcelona memiliki Victor Valdes sebagai kiper utama dan Pinto sebagai kiper cadangan.
Pinto yang lebih eksentrik dengan rambut kepangannya itu tak mampu menyamai level Victor Valdes. Dibandingkan penyelamatan apik, Pinto lebih sering membikin blunder saat menggantikan Valdes. Akibatnya, ketika Valdes mengalami cedera atau mendapatkan suspensi larangan bermain, tak ada rasa aman bagi lini belakang ketika Pinto menjalankan tugasnya. Barangkali, yang paling diingat adalah momen di mana Gareth Bale dengan aksi heroiknya beradu sprint dengan Bartra dan dengan mudahnya mengolongi Pinto di depan gawang. Gol tersebut mengantar Real Madrid memenangkan trofi Copa Del Rey 2013/2014.
Memang sudah saatnya para klub memiliki setidaknya dua kiper dengan kemampuan yang sama agar ketika kiper utama mereka cedera, maka kiper cadangan mampu menggantikan dengan baik. Seperti yang dilantunkan oleh Boys Like Girls, dua memang lebih baik daripada satu.
Memiliki dua kiper hebat tak ada salahnya. Namun tetap saja, klub tetap harus cerdas dalam menentukan jatah bermain yang pantas untuk kedua kiper. Salah-salah, mereka bisa ngadat dan akhirnya lebih memilih pindah ke klub lain untuk mendapat jaminan menit bermain. So, is two better than one ?
Penulis adalah mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan, biasa beredar di dunia maya dengan akun Twitter @RevaCore
Komentar