Karya Aditya Bela Halimawan
Bagi anda yang gemar menyaksikan pertandingan sepakbola di layar kaca, pernahkah anda menonton pertandingan dengan suara tv yang dimatikan? Beberapa pasti pernah melakukannya. Alasannya biasanya sama: suara presenter atau komentator yang sangat tidak enak dinikmati.
Faktor tidak enak dinikmati` itu beragam jenisnya. Dari soal jenis suara yang mungkin cempreng alias tidak nyaman didengar, hingga isi dari semua ucapan presenter dan komentator yang tidak enak untuk disimak. Lagi-lagi, `tidak enak disimak` itu juga bisa beragam jenisnya: dari persoalan subyektif karena presenter atau komentator yang dianggap menyudutkan kesebelasan favorit penonton, hingga mutu ucapan dan penyajiannya yang memang jelek, berlebihan alias lebay.
Tapi secara umum saya yakin kebanyakan masih menyalakan suara televisi saat pertandingan berlangsung. Seburuk-buruknya suara presenter atau sejelek-jeleknya analisis seorang komentator, kadang memang terasa aneh menonton pertandingan sepakbola di layar kaca tanpa suara. Sepi dan membosankan.
Liga Inggris, sejak berubah format menjadi Premier League, salah satu contoh kompetisi yang sangat sadar membangun atmosfir yang hidup dalam penyajian pertandingan di layar kaca. Selain teknologi mereka yang terus berkembang dari waktu ke waktu, salah satu yang sangat saya nikmati adalah suara para presenter yang melaporkan pertandingan dari waktu ke waktu (play by play) sepanjang pertandingan.
Tentu saja banyak yang familiar dengan duo Jon Champion dan Jim Beglin (apalagi bagi anda pecinta video game PES, saya sendiri masih menikmati PES sebagai game sepakbola terbaik setelah FIFA dan Football Manager). Suaranya begitu khas dan â??" bagi saya terasa-- kebapakan dalam mengomentari jalannya pertandingan. Saya selalu ingat â??its inâ?Â-nya yang sudah terlalu klise ketika ada seorang pemain mencetak gol. Reaksi dan teriakan histerisnya ketika Michael Owen mencetak gol di injury time dalam derby Manchester pada 2009 lalu juga salah satu yang melekat dalam ingatan.
Selanjutnya ada Martin Tyler. Bagi anda pecinta video game FIFA seperti saya, tentu sudah khatam benar dengan suara milik pria yang lahir di Chester 69 tahun lalu ini. Siapa yang tidak ingat kalimat "can-u Believe it"-nya pada saat Nwankwo Kanu mencetak hattrick di Stamford Bridge atau ketika dia menyebut "Agueroooo"-nya dalam pertandingan terakhir BPL musim 2012 yang termasyhur dan dramatis itu.
Untuk urusan laga-laga berskala internasional, ia terkenal karena kalimatnya ketika Lord Heskey mencetak gol kelima saat Inggris mempecundangi Jerman 5-1 di Berlin dalam Kualifikasi Piala Dunia 2002. Sesuatu yang sekarang rasanya hampir mustahil terulang lagi.
Dari nama-nama tersebut, bagi saya pribadi, masih kalah dibandingkan Peter Drury saat mengomentari jalannya pertandingan. Spesialis pertandingan big match ini sangat antusias dan bersemangat dalam menyampaikan jalannya pertandingan, membuat beberapa orang mungkin ingin menaikkan volume TV-nya ketika pertandingan berlangsung . Itulah yang saya lakukan ketika menyaksikan laga dengan Drury sebagai pengisi suara yang melaporkan jalannya pertandingan.
Tidak dapat disebutkan satu demi satu ucapan-ucapan menarik Drury. Bagi saya, terlalu banyak yang harus disebutkan. Namun jika perlu à disebutkan pun salah satunya, saya akan memilih kalimat "how many do you wants?" yang ia ucapkan ketika Daniel Sturridge mencetak gol ke-4 Liverpool ke gawang Arsenal di musim 2014. Atau ketika Siphiwe Tshabalala mencetak gol pertama di Piala Dunia Afrika Selatan 2010 ketika tuan rumah Afrika Selatan ditahan imbang Meksiko 1-1.
Pria 47 tahun ini sudah mulai dikontrak menjadi komentator dalam video game PES 2016. Hal yang membuat beberapa orang, setidaknya saya, tentu paling tidak akan mencoba game tersebut setidaknya untuk satu pertandingan saja.
Tinggal menunggu hitungan hari kick-off Liga Primer Inggris berlangsung. Akhir pekan nanti à ajang sepakbola terakbar di Britania Raya itu sudah dimulai dan saya berharap Peter Drury lebih sering hadir dalam setiap pertandingan BPL dengan Jim Beglin atau Alan Smith sebagai partner-nya
Nama-nama tersebut, bagi saya, Ã membuktikan bahwa hal yang dibutuhkan untuk menjadi presenter atau komentator yang baik dan menarik dalam sepakbola adalah dengan mempunyai analisis yang bagus, passion yang tinggi, dan membawakan pertandingan senatural mungkin. Sangat penting untuk tidak berlebih-lebihan. Berlebih-lebihan dalam arti memberikan reaksi tertentu di saat yang tidak tepat atau kurang pas.
Juga dibutuhkan kosa kata yang kaya agar laporan pertandingan tidak membosankan, tanpa harus berlebih-lebihan dan tetap natural. Kalimat-kalimat yang cerdas, satire yang tajam dan sindiran yang tepat sangat dibutuhkan untuk membuat penonton bisa tersenyum dengan lepas atau manyun dengan pahit (saat kesebelasan favorit disindir) namun tetap bisa menerimanya.
Saya pribadi tidak merasa nyaman dengan embel-embel kata yang kurang penting seperti "jeger", "ahay" atau apalah itu. Atau hal yang lebih absurd lagi: menambahkan komentar machois atau sexis, seperti memuji ketampanan pemain, saat pertandingan berlangsung, yang jelas-jelas tidak ada kaitannya sama sekali dengan sepakbola.
Kalau boleh jujur, berpengaruh atau tidaknya dan bagus atau tidaknya presenter dan komentator dalam setiap pertandingan sepakbola kembali pada diri kita masing-masing sebagai penikmat sepakbola itu sendiri. Ada yang beranggapan bahwa suara-suara itu hanya menjadi pengganggu dan mencibir bahwa sikap sok tahu presenter dan komentator tidaklah teramat penting. Ada pula yang beranggapan suara mereka itu menjadi bumbu yang membuat pertandingan menjadi semakin menarik.
Sah-sah saja memang, toh cara orang dalam menikmati suatu hal pun berbeda-beda, tak terkecuali untuk hal ini yang bagi saya sakral.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Ahli bermain game FIFA dan (masih) percaya bisa melihat Liverpool juara liga. Dapat dihubungi melalui akun twitter @adityabela.
Komentar