Ditulis oleh Gagah Nurjanuar Putra
Perseteruan dua kubu berimbas kepada kehilangan-kehilangan yang tak bisa dianggap sepele. Pemain dan pelatih kehilangan pekerjaan, talenta muda kehilangan wadah, suporter kehilangan hiburan, pedagang kehilangan pembeli. Negeri ini kehilangan sepakbolanya.
Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke rumah Dedi Kusnandar, pemain tengah Persib Bandung. Pukul 08.00 WIB, saya sudah berada di depan rumahnya. Adiknya (atau kakaknya) menyambut saya dan menyuruh menunggu di ruang tamu. Katanya, Dedi sedang melihat tempat kos yang ia bangun. Pemain timnas satu ini akan segera menjadi pengusaha kos. Ia juga membangun cafe di atas rumahnya.
Saya menunggu agak lama, tapi tidak keberatan sama sekali. Perbincangan kami pagi itu, di rumahnya, sesuatu yang berbobot. Dedi saat itu telah diputus kontrak oleh Persib. Saya ingin tahu keadaan dan menanyakan perasaannya.
Ketika bicara, saya lihat bahasa tubuhnya tidak nyaman. Mungkin ia kesal membicarakan kisruh sepak bola. Saya bisa saja salah. Hanya itu yang terpikirkan. Lantas saya bertanya, apakah ia kesal dengan kisruh itu? Jawabannya: ya, dia kesal.
Kedatangan saya sebenar-benarnya ingin bertanya soal Persib. Katanya akan segera rujuk. Rupanya itu bukan kabar burung semata. Djadjang Nurdjaman, pelatih kepala Persib, juga ikut mengonfirmasi, Persib akan latihan pada 3 Agustus 2015 demi memenuhi undangan bermain Arema Malang. Ia sedang mengumpulkan pemain-pemain lokal.
Seminggu berlalu, saya merasa harus datang membuktikan rujuknya Persib. Lantas, berangkatlah saya ke Stadion Persib, Bandung, Jawa Barat. Tanpa perasaan apa pun, saya sudah tiba di sana tepat pukul 15.00 WIB.
Saya langsung masuk ke stadion, lantas menemukan para bobotoh atau viking. Saya tidak yakin yang mana. Sebenarnya, saya tidak tahu apa bedanya. Kedua sebutan suporter itu, kan, sama-sama mendukung tim yang samaâPersib. Hebatnya, tidak hanya dari Bandung, saya bertemu dengan suporter dari Subang dan Bekasi. Mereka juga datang ingin membuktikan tim kesayangannya rujuk.
Saya berada di antara para wartawan ketika para pemain turun tangga. Mereka langsung menuju lapangan. Saya sempat bertegur sapa dengan Dedi Kusnandar di dekat tangga. Ia terlihat bersemangat sore itu.
Semua orang di dekat tangga itu berjalan ke arah yang sama, lapangan. Djanur beserta jajaran pelatih lainnya sudah ada di sana. Saya bisa melihat hampir semua pemain Persib hadir. Sayangnya, saya tidak melihat Makan Konate, Vladimir Vujovic dan Supardi.
âSupardi baru dapat tiket (ke Bandung) hari ini,â kata Djanur. Sementara Konate dan Vujovic berada di luar negeri.
Persib benar-benar berlatih di sore yang mendung itu. Tidak ada yang murung, semua ceria. Firman Utina berkali-kali bercanda. Bahkan ketika saya bertanya padanya soal kesiapan Persib melawan Arema, ia menjawab, âArema yang siap melawan kita.â Ah!
Saya yang duduk di samping pengelola stadion, Dada Sudana, ikut menikmati latihan. Berkali-kali ia menunjuk ke segala arah. Kebanyakan ke arah pemain. Pengelola berusia 70 tahun itu hampir tidak berhenti bicara soal Persib.
âKuduna mah ieu (lapangan) teh dipake batur,â katanya dalam Bahasa Sunda, yang bila diartikan akan menjadi: âSeharusnya lapangan ini dipakai orang.â
Menurut cerita Pak Dana, Persib mendadak ingin memakai lapangan. Lantas ia mengusahakan Persib supaya bisa menggunakan lapangan sore itu. Ia senang-senang saja mengerjakan itu demi Persib. âAsal dibayar,â katanya. Seharusnya para pencinta Persib ikut berterima kasih pada Pak Dana yang sudah memberi izin.
Latihan selesai menjelang magrib, mungkin, pukul 17.30 atau lebih. Seusai latihan, entah siapa, mungkin Firman Utina, berteriak âPersib!â. Pemain lain membalasnya dengan âBandung!â. Saat itulah para suporter mendekat. Saya tidak tahu pasti apakah mereka meminta foto bersama atau tanda tangan, pokoknya mereka menyerbu para pemain. Sementara itu, para wartawan menyerbu Djanur.
Saat itu saya sadar apa yang menjadi alasan Dedi memprioritaskan Persib: suporter. Tidak hanya Dedi, Spasojevic juga bertahan karena antusiasme suporter. Mereka bisa saja pindah ke klub lain yang menawari mereka, tapi mereka urung.
Baca juga:Sepakbola (Indonesia) Bukan Smackdown
Akuilah Kalau Sepakbola Indonesia Memang Kelas Gurem!
Indonesia Gagal dan Myanmar Berhasil Tidaklah Mengejutkan!
Sayang, para suporter ini kehilangan hiburan mereka. Hiburan yang mati suri lantaran kisruh sepakbola. Pertengkaran Menpora dan PSSI menjadi dalang di balik matinya liga Indonesia. Saya memahami kekesalan Dedi.
Tidak ada lagi nonton bareng di kafe atau warung kopi. Penjaga loket stadion kehilangan pekerjaan lantaran tidak ada tiket yang bisa dijual. Tukang sapu mess pemain menganggur lantaran tidak ada yang perlu dibersihkan. Tidak lupa Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang kabarnya juga ikut bersedih.
Jangan sedih, Pak, Persib sudah rujuk!
Selain itu, pengusaha kaus bola ikut-ikutan kehilangan pelanggan. Saya pernah berkunjung ke toko-toko di sekitar Stadion Persib. Miris, usaha mereka mogok. Kaus yang seharusnya terjual 50-100 buah, kini terjual 5-10 buah saja. Pemasukan mereka berkurang pasca klub-klub sepakbola, terutama Persib, membubarkan diri.
âSetelah Persib bubar jadi sepi pelanggan,â kata Eman, si pedagang. âKita juga kehilangan hiburan.â
Hal itu diamini Nisa Ramdhani alias Ica, yang bersama Eman mencetak kaus-kaus bola. Ia merasakan juga sepinya pelanggan. Dulu sehari saja toko akan sibuk. Pemain Persib juga biasa pesan kaus di sana. Menurut Eman, Dedi Kusnandar pernah pesan 300 kaus Persib, mungkin untuk dibagikan kepada sanak saudara.
Para pedagang berharap, kisruh tidak berkepanjangan. Dedi juga ikut berharap, Menpora dan PSSI bisa duduk bersama memikirkan masa depan yang baik. Tony Sucipto, bek Persib, saat ditemui di tempat cukur beberapa waktu lalu, bahkan takut kehilangan talenta muda. Katanya, kisruh sepakbola ini mematikan wadah talenta muda untuk bermain.
Baru-baru ini telah terdengar kabar kalau Evan Dimas akan bermain di Spanyol. Andik Vermansyah sudah lebih dulu merantau ke Malaysia. Sergio van Dijk, eks penyerang Persib, juga sudah ada di Thailand. Irfan Bachdim? Dia main di Jepang. Mereka bahkan merantau sebelum kisruh terjadi. Mungkinkah mereka kembali bermain di Indonesia? Ah, saya lupa kalau Indonesia tidak punya liga profesional. Pemain-pemain malah bermain di liga tarkam.
Saya tahu, Dedi tahu, Tony juga tahu dan mungkin, semua orang akan tahu, kalau Indonesia memiliki pasar sepakbola yang besar. Buktinya, AS Roma masih mau datang walau sepakbola Indonesia sedang carut-marut. Orang-orang Indonesia, harus saya akui, memiliki minat besar pada sepakbola. Entah minat bermain, melatih tim, sekadar menonton, mengikuti pertandingan lewat radio atau saling berdebat kesebelasan mana yang paling hebat di media sosial. Lantas, perlukah kondisi sakit ini dipertahankan?
Kasihan sekali para pencinta sepakbola Indonesia ini.
Persib relatif lebih baik. Jarang kita dengar ada tunggakan gaji yang menimpa para pemain, pelatih atau ofisial Persib. Mungkin saja sempat ada juga keterlembatan gaji, tapi tidak separah dan sesering mayoritas kesebelasan Indonesia yang lain.
Masalahnya: sudah cukupkah belas kasihan untuk para pemain, pelatih dan offisial yang selalu ditunggak gajinya dari musim ke musim? Sudah cukupkah belas kasihan untuk para pemain dan pelatih yang menjadi korban pengaturan skor, yang dihukum tahunan hingga seumur hidup, sementara otak sesungguhnya malah tak mendapatkan sanksi apa-apa? Sudah cukupkah belas kasihan untuk para suporter yang sudah mengorbankan segala-galanya, dari uang, waktu bahkan hingga nyawa, namun hasil pertandingan ternyata bisa dipermainkan dengan begitu menggelikan sebagaimana terpapar dalam skandal sepakbola gajah?
Penulis adalah mahasiswa jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, tergabung dalam pers mahasiswa Djatinangor. Bisa dihubungi lewat akun Twitter @NJPgagaw.
*Sumber foto bola.tempo.co
Komentar