Sepakbola dekat dengan surealisme. Ia akrab dengan kemustahilan yang tiba-tiba saja bisa menyeruak menjadi sebuah kemungkinan yang akhirnya terealisasi di lapangan.
Penulis asal Argentina, Jorge Luis Borges, sering membicarakan hal-hal surealis lewat karyanya. Salah satu hal surealis yang sering diangkat oleh Borges adalah penggandaan, yang terdapat dalam -- salah satunya-- cerpen The Other.
Cerpen ini mengisahkan peristiwa yang terjadi pada bulan Februari 1969, di sebuah bangku taman di tepi sungai Charles, Cambridge. Waktu itu, sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (ya, Borges menjadikan dirinya sendiri sebagai tokoh dalam cerita), tertidur karena penat bekerja.
Beberapa saat kemudian, ia terbangun oleh siulan lagu populer di Argentina saat itu, La Tapera milik Elias Regules. Merasa tertarik dengan orang tersebut, Borges pun memutuskan bercakap-cakap dengannya. Ajaibnya, Borges pun sadar kalau orang yang di hadapannya itu adalah dirinya sendiri di masa tua.
Borges tua dan muda tidak membutuhkan banyak waktu untuk terlibat dalam perbincangan seru. Borges tua menceritakan apa-apa saja yang sudah terjadi padanya. Walau terdengar tak masuk akal, Borges muda tentu saja harus mempercayainya, karena bagaimanapun juga, orang yang ada di hadapannya adalah dia di masa tuanya. Dalam perbincangan tengah hari tersebut, Borges tua meyakinkan Borges muda kalau ia akan menulis buku dan menjadi seorang dosen.
Borges adalah kelangkaan di Argentina. Sebagai orang Argentina, ia mengklaim diri sebagai pembenci sepakbola. Bahkan dalam sebuah wawancara, dengan gamblang ia mengaku begitu muak saat teman-teman berulang-ulang membicarakan sepakbola dan seks.
Borges pernah menulis cerpen Esse Est Percipi, tentang sepakbola dan persepsi atas realitas.
Namun sebenci apapun Borges terhadap sepakbola, tema penggandaan yang beberapa kali diangkatnya itu (cerpen Borges yang berjudul Borges and I juga bertema sama) juga merupakan hal yang kerap terjadi dalam sepakbola. Dan bila menyoal fenomena penggandaan dalam konteks sepakbola Bandung, kita harus menyoal satu nama: Ayi Beutik (ia meninggal pada 9 Agustus 2014, hari ini tepat setahun meninggalnya Ayi).
Kehidupan Ayi Beutik adalah penghayatan mendalam tentang sepakbola yang sesuai kiblat. Kehadirannya di ranah sepakbola tidak melahirkan revolusi taktikal buat Persib. Namun saat membicarakan Ayi Beutik, maka kita akan menemukan namanya di sepanjang penelusuran sejarah budaya tribun.
Lewat rahim idealismenya, kelompok suporter Persib, Viking, lahir tanggal 17 Juni 1993. Â Nama Ayi Beutik tak melulu lekat dengan epos yang mengharu-biru. Bagi suporter klub lain, ia kerap tampil sebagai sosok yang paling menyebalkan. Mang Ayi, sapaan akrabnya, menjadi karib dengan kata-kata provokatif yang sering memperburuk rivalitas antarklub.
Simak tulisan kami tentang Ayi Beutik, Panglima Persib:
Namun sosoknya, yang selalu berdiri di barisan paling depan selalu dinanti, diingat dan disegani oleh para bobotoh, terutama anggota Viking Persib Club. Saat gaya suporter Eropa belum akrab dengan budaya sepakbola Indonesia, Ayi dan teman-temannya sudah menghidupi budaya tribun yang erat dengan kekerasan.
Sepakbola, bagaimanapun juga tidak dapat dipisahkan dari kekerasan. Jegal-menjegal lawan di lapangan, berontak atas keputusan wasit bahkan terlibat perkelahian dengan lawan adalah hal biasa. Terlebih jika menyangkut apa yang terjadi di tribun penonton. Caci-maki kepada lawan dan penghinaan kepada wasit adalah hal yang lumrah. Bahkan ada banyak suporter yang mati karena mendukung klub pujaannya. Terkesan mati konyol, tapi memang itulah yang dihidupi oleh budaya tribun.
Keberadaan Ayi Beutik di garis depan tak hanya tentang provokasi yang melahirkan keributan. Jika bentrokan terjadi, ia pula yang akan berada di garis depan untuk memberikan perlawanan. Atas perbuatan semacam ini, tak jarang Mang Ayi harus menginap di sel.
Yang menjadi pertanyaan, sepeninggal Mang Ayi, 9 Agustus 2014 lalu, siapa yang melanjutkan upayanya menghidupi budaya tribun?
Kecintaan Mang Ayi terhadap Persib adalah kecintaan yang turun-temurun. Ia menamai kedua anaknya dengan nama-nama yang berbau Persib. Anak pertama diberi nama Jayalah Persibku, sedang yang bungsu diberi nama Usab Perning.
Tak sekadar memberi nama yang ajaib buat kedua anaknya, Ayi Beutik pun bergiat memperkenalkan budaya tribun kepada anak-anaknya sejak dini. Dalam sebuah wawancara, Jayalah Persibku bercerita kalau sejak bayi, sang ayah rajin membawanya ke stadion untuk menonton Persib.
Sebagai bayi, Jaya, tentu tak tahu apa-apa soal sepakbola, fanatisme, Persib, apalagi budaya tribun. Namun demikian, sedikit-banyak, ingatannya sebagai anak akan bercerita tentang kegilaan ayahnya terhadap Persib. Dan bukannya tak mungkin, suatu saat, kegilaan itu akan menjadi kegilaannya juga.
Barangkali segala sesuatu yang dilakukan Ayi Beutik terhadap anaknya terlihat sebagai bentuk fanatisme buta belaka. Namun terpikirkan atau tidak terpikirkan sebelumnya, apa yang dilakukan oleh Mang Ayi ini adalah upaya untuk menggandakan kecintaannya kepada Persib. Di sini, Mang Ayi sebagai ayah yang begitu mencintai Persib, ingin merasuki kedua anaknya dengan kecintaan yang serupa.
Jika kita kembali kepada cerpen Borges di atas (dan membacanya secara lengkap), maka kita akan diyakinkan bahwa upaya âmerasukiâ orang lain inilah yang membikin sosok Borges muncul dalam Borges yang lainâ.
Seperti telah dijelaskan di paragraf sebelumnya, dalam cerpen ini, Borges tua berusaha sedapat mungkin meyakinkan kalau Borges muda pasti bisa menulis buku dan menjadi dosen. Selain itu, ia juga meyakinkan kalau tidak ada hal buruk yang bakal terjadi pada ibunya. Pun dengan masalah penglihatan yang dialaminya. Di situ dengan santainya Borges tua menjelaskan kalau menjadi buta tidak terlalu buruk.
Pada intinya, apa yang dilakukan oleh Borges tua hari itu di tepi sungai, bertujuan agar Borges muda bisa menghidupi segala sesuatu yang pernah dihidupinya.
Begitu pula dengan Ayi Beutik. Upaya merasuki kedua anaknya dengan kecintaan terhadap Persib inilah yang memungkinkan kita bakal melihat Ayi Beutik dalam rupa yang lain. Dan rasanya, upaya Mang Ayi ini juga tak sia-sia. Malam itu di stadion Jakabiring, saat Persib berlaga melawan Persipura di final ISL 2014, sepakbola Indonesia melihat penggandaan Ayi Beutik dalam wujud bocah laki-laki yang juga berdiri di tempat dulu bapaknya memimpin.
Membiarkan bahkan mendorong seorang anak untuk menghidupi budaya tribun yang keras dan kasar barangkali menjadikan Mang Ayi sebagai ayah yang menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam bahaya. Namun, jika menganalogikannya sebagai percakapan antara Borges tua dan muda tadi, sesungguhnya kita tidak pernah tahu apa yang telah dibicarakan oleh Ayi Beutik tua dan Ayi Beutik muda. Pembicaraan yang di satu sisi, memang, merupakan upaya Ayi Beutik untuk menggandakan dirinya.
*sumber foto: jawapos.com
Komentar