Ditulis oleh Dadan Resmana
#PanditCamp sudah memasuki hari ketiga. Setiap harinya, para peserta akan diberi materi dan tugas yang berbeda. Hari ketiga, mereka diharuskan untuk menulis dari pengamatan lapangan.
Pengamatan langsung barangkali tidak lagi populer di era kepenulisan sepakbola modern. Banyaknya kendala yang sebenarnya cukup masuk akal, seperti lokasi yang tidak mudah dijangkau, keengganan untuk berbaur dengan objek pengamatan, tidak ada jaminan munculnya peristiwa menarik untuk ditulis, minimnya waktu yang dimiliki sampai adidaya internet yang sanggup memberikan banyak informasi secara cepat; sering kali membikin pengamatan langsung sebagai metode terakhir yang diambil oleh mereka yang menggiati penulisan sepakbola.
Namun demikian, sepakbola tak melulu tentang statistik pertandingan ataupun transfer pemain. Ia juga menyoal petugas loket stadion yang jengkel karena ulah penonton, sekelompok tukang becak yang gemar minum anggur murah sambil menyaksikan pertandingan di warung-warung, keluh-kesah para pedagang kaus bola berharga miring ataupun tradisi menonton langsung pertandingan sepakbola perempuan yang berbeda dengan sepakbola laki-laki.
Sepakbola juga tentang remeh-temeh yang terlalu tak penting untuk dijadikan pemberitaan. Dan agaknya, hal-hal kecil tersebut hanya bisa ditemukan jika kita mau "membuang waktu dan bertungkus lumus di lapangan, seperti yang dilakukan oleh para peserta Pandit Camp di hari ketiga.
*****
Hari ini saya bertemu Walcott. Ia benar-benar berbeda dengan yang biasa saya lihat di televisi, walaupun sama-sama berseragam Arsenal.
Seharusnya latihan dimulai pukul dua siang, namun di sana, hanya terlihat beberapa anak yang menunggu latihan dimulai. Sekitar pukul dua lebih lima menit, anak-anak yang lain muncul. Ada yang datang sendiri-sendiri, ada yang datang bergerombol.
Kedatangan bocah-bocah ini mengingatkan saya akan latihan kesebelasan-kesebelasan di Eropa sana. Ditambah dengan lapangan yang dipagari oleh besi yang tingginya lebih dari tiga meter. Lapangan itu, di mata saya, mirip dengan tempat latihan Munchen, Juventus, Madrid dan klub-klub Eropa lainnya. Pagarnya yang kokoh membikin kesan kalau latihan tersebut harus steril dari orang-orang yang tak berkepentingan. Mereka, biarpun masih bocah, tak boleh diganggu!
Pelatih muncul kira-kira pukul 02.15 siang. Wajah-wajah lugu khas bocah itu jadi sumringah. Sensei, orang yang mereka tunggu-tunggu sudah memasuki lapangan. Satu per satu anak-anak tersebut menyalami sang pelatih. Semacam pemandangan yang menyenangkan buat dilihat. Tak hanya karena sejak kecil mereka sudah diajar untuk menghormati yang lebih tua, tetapi juga karena tradisi memberikan salam semacam itu terasa begitu dekat dengan saya.
Setelah acara sun tangan selesai, saya pikir latihan akan segera dimulai. Akan tetapi sang pelatih masih mempunyai agenda lain untuk memulai latihan di sore itu. Kurang lebih 15 menit sang pelatih memberikan tausiyah kepada anak-anaknya layaknya seorang Luis Enrique ketika memimpin latihan  skuat Barcelona. Dan di akhir tausiyah, sang pelatih pun memilih salah satu dari anak-anak tersebut memimpin doa untuk memulai latihan di sore itu. Mungkin yang dipilihnya itu ialah seorang kapten tim umur kelompok tersebut, karena dia begitu lugas dan tegas memipin anak-anak dalam sesi doa tersebut.
Seperti biasa, pemanasan dan berlari-lari mengelilingi setengah lapangan menjadi appetizer di sore itu. Sesekali sang pelatih berteriak; âPadli jangan main-main, ayo serius latihannya!"
Saya tak bisa memastikan anak mana yang dimaksud pelatih tersebut. Sepanjang pengamatan saya, tak satu pun anak yang berlatih dengan serius. Mereka cuma bermain-main. Saat disuruh berlari tanpa bola, mereka berlari dengan bola. Saat disuruh menahan bola, mereka malah menendang bola sesukanya. Anak-anak...
Setelah hampir setengah jam memperhatikan latihan yang itu-itu saja, datanglah dua orang anak yang berboncengan dengan menggunakan sepeda. Mereka, dengan santainya, duduk di depan saya. Tadinya, saya pikir, keduanya akan mengikuti latihan di lapangan tersebut. Usut punya usut, mereka hanya datang untuk mengunjungi teman-temannya yang sedang berlatih. Dan kalau pun keduanya memang ingin berlatih, seharusnya mereka membawa peralatan latihan, bukannya cuma mengenakan seragam Arsenal.
Ternyata, mereka berdua adalah mantan siswa SSB itu. Rangga dan Bagas, nama kedua bocah tersebut, keluar sejak setahun lalu. Saat ditanya alasannya, Bagas yang mengenakan seragam Walcott itu menjawab dengan wajah polos khas bocah SD; "Capek a, antara les dan latihan sama-sama berat. Terus jadwalnya pun barengan. Jadi aku mah milih les aja. Da kata si mamah juga mending les daripada latihan mah.."Â
Jangankan pesepakbola, kelompok hooligan macam apapun tak akan berkutik melawan ibu-ibu mereka!
Astaga, "Walcott" pensiun karena les! Jangan sampai les bahasa Inggris!
Beberapa menit saya merenungi apa yang dikatakan Walcott KW Ciganitri tersebut. Tak salah memang, malah terhitung bijak untuk ukuran pemikiran seorang bocah. Kalau dipikir-pikir, ia rela mengorbankan kesenangannya bermain bola untuk menuruti apa yang diperintah oleh ibunya. Namun di sisi lain, saya juga merasa miris. Setahu saya, dunia anak adalah dunia bermain. Anak-anak adalah makhluk yang paling berhak buat menenggelamkan diri dengan apa-apa yang menjadi kesenangannya.
Terkadang, ibu-ibu adalah the law of the game yang sebenarnya. Tidak percaya? Silakan baca tautan ini.
"Ya, kalau dah SMP mah, mau ikutan lagi latihan 'a. Tapi gimana si mamah deng...â
Sesekali saya melihat gerak-gerik tubuh mereka. Beberapa kali mereka meremas rumput yang ada di genggamannya. Barangkali mereka gemas saat menyaksikan peluang emas yang tidak bisa dimanfaatkan oleh teman-temannya. Atau mungkin mereka sedikit mangkel karena tak bisa bermain akibat les yang tak penting-penting amat. Ah, tapi kalau dipikir-pikir, anak kecil tahu apa soal kepentingan? Kepentingan itu perkara orang dewasa, Bung!
Bola tetap menggelinding di lapangan yang kontur tanahnya tak rata itu. Sesekali pelatih berteriak. Anak-anak tak peduli teriakan pelatih, mereka cuma mau bermain. Langit makin kelabu. Agaknya, sebentar lagi hujan deras.
Lantas, di hadapan saya, kedua bocah itu berlalu sambil mengayuh sepeda. Rangga yang mengemudi, "Walcott" yang dibonceng. Sungguh sore yang ajaib.
 Penulis adalah peserta #PanditCamp, kelas menulis yang diadakan oleh PanditFootball.com  bisa dihubungi lewat akun Twitter @dadanresmana
Komentar