Ditulis oleh Dadan Resmana
Hari kedua Pandit Camp, peserta mendapatkan materi menulis sepakbola dengan memanfaatkan isu-isu non sepakbola yang sedang hangat. Gaya kepenulisan sepakbola semacam ini memang terkesan nyeleneh dan tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Namun demikian, kepekaan dan kejelian seorang penulis sepakbola untuk menggunakan isu-isu di luar sepakbola, dapat membikin tulisannya sebagai bacaan yang menarik dan tidak ketinggalan zaman; seperti tulisan berikut ini.
xxxxx
Rasanya menjadi hal yang wajar saat terjadi kekisruhan dalam proses demokrasi di negeri ini. Gesekan antargolongan dalam pemilihan pemimpin organisasi masyarakat (ormas), partai politik, hingga pemilihan kepala daerah kian hari kian terasa.
Jika The Founding Father kita mengedepankan asas musyawarah mufakat, masyarakat saat ini seperti lebih senang jika keputusan diambil dengan cara pemungutan suara. Hasilnya? Selalu ada pihak yang tak puas karena pihak yang menang tak menawarkan solusi yang dianggap menguntungkan.
Sepekan lalu kita menjadi saksi adanya ketidakpuasan dalam proses demokrasi. Ini bukan tentang Pemilihan Presiden 2014 yang seperti membagi masyarakat Indonesia ke dalam dua kelompok, melainkan lebih mengejutkan daripada itu.
Muktamar organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nadhatul Ulama (NU), tidak berlangsung mulus. Ada sejumlah pihak yang menyatakan ketidakpuasannya terhadap hasil akhir muktamar. Ada yang bilang ini karena panitia menggunakan sistem Ahwa (dipilih oleh anggota Ahwa) ketimbang sistem pemungutan suara.
Kejadian tersebut tentu sangat disayangkan, pasalnya anggota NU adalah para ulama yang semestinya menjadi contoh bagi umat. Ulama secara umum berarti orang yang berilmu dan amat disayangkan apabila saling gempur demi kekuasaan. Lantas apa bedanya ormas Islam yang dianggap mulia tak ubahnya seperti partai politik yang haus kekuasaan?
Pemimpin yang Menghargai Sistem
Pemilihan presiden kesebelasan-kesebelasan Eropa dikenal lebih demokrasi tanpa adanya gesekan sebelum maupun sesudah pemilihan. Hal yang biasanya hadir hanyalah janji kampanye para calon presiden tersebut.
Misalnya saja saat Joan Laporta bertarung dalam Pemilihan Presiden FC Barcelona pada Juli lalu. Laporta, yang pernah menjabat sebagai presiden, mesti menghadapi Agusti Benedito, Toni Freixa, dan tentu saja lawan terkuatnya, Josep Maria Bartomeu.
Laporta memiliki sejumlah janji seperti menjaga tradisi Barcelona dengan membuat kostum yang bersih dari logo-logo sponsor.Laporta beralasan kalau Barcelona bisa mendapat pemasukan lain di luar sponsor yang melekat pada kostum. Dalam urusan transfer, Laporta terang-terangan ingin merekrut Paul Pogba, sementara Bartomeu masih abu-abu. Bartomeu berjanji akan terus mempertahankan dan mengembangkan La Masia dan diakhiri dengan mempertahankan independensi Barcelona dari kekuatan ekonomi, politik, dan media.
Meski memiliki janji yang berbeda, secara umum keduanya memiliki tujuan untuk membuat Barcelona lebih baik dalam hal skuat maupun finansial. Pada akhirnya, Bartmoeu kembali menjadi Presiden FC Barcelona periode 2015-2021 dengan 25 ribu suara atau 54 persen, sedangkan Laporta meraih 15 ribu suara atau 33 persen.
Mengetahui dirinya kalah dalam pemilihan tersebut, Laporta bicara seperti ini, âSaya adalah seorang demokratis dan saya menerima hasil pemilihan. Itu merupakan pemilihan ketat karena banyak terjadi perdebatan. Kami tahu itu sulit. Ada banyak anggota klub di luar sana yang memahami cara kami.â
Dalam pidato kemenangan yang dilansir situs resmi, Bartomeu memuji para kandidat lain atas sikap fair play yang mereka tunjukkan. âKata pertama saya untuk anggota Barcelona yang memberi suara ataupun tidak, yang ikut atau tidak tidak berpartisipasi, terimakasih. Ini hari yang sempurna. Kita telah menunjukkan bahwa kita adalah tim terbaik di dunia. Kami akan mencoba meniru tingkat kepercayaan yang ditunjukkan anggota dan direksi yang telah datang sebelum kami,â kata Bartomeu.
Tidak ada gugatan maupun gesekan dari para loyalis Laporta meski mereka kalah. Pun dengan Bartomeu yang malah berterimakasih pada para pesaingnya. Proses demokrasi di sepakbola yang diwakili oleh pemilihan presiden Barcelona, lebih baik dan mulia ketimbang pemilihan umum yang biasa kita saksikan untuk memilih pemimpin politik.
Jika anggota DPR melakukan kunjungan ke luar negeri hanya untuk studi banding mengenai masalah transportasi, asuransi kesehatan, bahkan cara mengelola taman kota yang baik dan benar di negara tersebut. Mengapa tidak sekalian menambahkan studi banding mengenai bagaiaman cara FC Barcelona melakukan pemilihan presiden yang demokratis dan terstruktur.
Para politisi yang haus kekuasaan, gila hormat dan pujian, mestinya bisa introspeksi diri dengan apa yang melandasi mereka menjadi pemimpin. Bartomeu dan Laportamemang bersebrangan dalam pemilihan , tapi tujuan utama mereka adalah menjadikan Barcelona sebagai yang terbaik dan menjadikan penggemar lebih loyal terhadap mereka.
Apakah para calon pemimpin yang ikut pemilihan ketua partai, ormas, atau pilkada, sudah memikirkan mengapa mereka mencalonkan diri? Jika tujuan utamanya membangun bangsa dan menyejahterakan rakyat, tentu kericuhan bisa diminimalisasi karena siapapun yang memimpin dia adalah pilihan berdasarkan sistem demokrasi. Atau mungkin ada yang salah dengan sistem ini?
 Penulis dapat dihubungi lewat akun Twitter @dadanresmana
Komentar