Ditulis oleh Dadan Resmana
Frodo Baggins tak bisa hanya sekali bicara kepada para manusia, elf dan dwarf perihal keingingannya untuk mengenyahkan cincin yang kerap menjadi sumber masalah di sepanjang trilogi The Lord of the Rings itu. Ia membutuhkan kali yang kedua, dengan suara yang lebih keras, agar siapa-siapa yang tadinya mengacuhkan keinginannya untuk berangkat ke negeri Mordor itu mau memberikan perhatian.
Gandalf, sang penyihiri tua, hanya bisa merestui apa yang menjadi keinginan hobbit muda yang ingin menghancurkan cincin pembawa sial itu di gunung Mordor. Pikirnya, itu keinginan gila. Tapi apa boleh bikin, sebagai seorang tua rasanya ia paham, bahwa melawan keinginan pemuda yang tegar tengkuk sama saja dengan perkara mustahil.
Sementara itu, jauh di ranah sepakbola Eropa, Allegri tak perlu memiliki masalah dengan cincin pembawa sial untuk mengalami situasi serupa dengan Gandalf. Kamis (6/8) lalu, dalam sebuah konferensi pers yang digelar Juventus, Allegri menerima kabar mengejutkan yang dibisikkan oleh salah seorang stafnya.
�"Pogba akan memakai kostum nomor sepuluh;�" seperti itulah kira-kira ucapan Allegri yang untuk beberapa saat, membuatnya terlihat seperti Gandalf saat mendengar omongan tentang keinginan Frodo Baggins tersebut.
Kostum nomor sepuluh bukan sembarang kostum. Keberadaannya dianggap keramat, mirip dengan cincin sialan yang ingin dihancurkan oleh mister Frodo.
Bagi saya, Pogba mirip dengan Frodo Baggins. Ia seorang anak muda yang memikul beban berat di pundaknya. Jika Frodo Baggins harus menaklukkan kumpulan Orks, Uruk-hai dan Goblin sebelum mencapai puncak Modor, apa bedanya dengan Pogba yang harus berhadapan dengan pemain-pemain bintang kepunyaan Real Madrid, Barcelona, Milan? Kali ini, yang menjadi tanggung jawab Pogba bukan hanya nama besar, ia pun mengemban misi tak ringan untuk menjaga kesakralan kostum nomor sepuluh itu.
Andai saja ketika rapat di kediaman Raja Elrond itu Frodo tidak sembrono, dan membiarkan Legolas atau Gimli untuk menghancurkan cincin tersebut; ia tidak akan perlu menempuh perjalanan panjang yang penuh bahaya tersebut. Namun seberbahaya apapun jalan yang ditempuh Baggins, di situlah kisah besar itu bermula. Seadainya Frodo Baggins tak culup nekat, rasanya cerita hidupnya akan menjadi biasa-biasa saja. Ia bakal menjadi seorang cameo belaka; apapun yang dilakukannya tak akan dihiraukan oleh sebagian penonton sampai di akhir cerita.
Hal demikian tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Pogba di Juventus. Seandainya, ia menolak tanggung jawab tersebut dan mengalihkannya kepada salah seorang rekan, Marchisio, misalnya Ãâbelum tentu di musim depan ia akan kembali ditawarkan kesempatan serupa. Pogba boleh muda, karirnya memang seumur jagung, namun ia tahu pasti kalau ia layak menjadi pewaris kostum bernomor keramat tersebut.
Pada akhirnya, tepat atau tidak keputusan manajemen untuk menyerahkan kostum keramat tersebut kepada Pogba, memang harus ia jawab sendiri lewat penampilannya. Il Popo, julukan Pogba, mau tak mau harus bersusah payah seperti Frodo Baggins yang membawa cincin sial itu ke puncak Modor.
Suatu waktu, saat Pogba mulai jengah akibat memikul beban berkostum nomor sepuluh itu, rasanya ia harus menonton cerita Frodo Baggins dalam film trilogi The Lord of the Rings tersebut. Film tersebut bakal mengingatkannya kalau di tengah segala kepayahannya, tak sekalipun Baggins mengambil jalan pintas. Buktinya, di sepanjang film, saya tak menemukan adegan Frodo Baggins menggunakan jasa kurir untuk mengantarkan cincin tersebut sampai ke puncak Modor. Tapi, entahlah dengan The Lord of the Rings yang Anda tonton.
Tulisan merupakan tugas dari materi Pandit Camp hari keempat: literasi sepakbola dan budaya populer. Penulis bisa dihubungi lewat akun Twitter @dadanresmana
foto: commons.wikimedia.org
Komentar