Karya Yudhsitira Haryo Nurresi Putro
Jika dihadapkan pada dua pilihan, merasakkan puncak ketenaran lalu hilang bak ditelan bumi atau berada di tengah-tengah tanpa merasakan puncak ketenaran maupun tenggelam, orang mungkin akan terdiam lebih dulu. Keduanya mungkin bukan pilihan yang ideal. Sebab, saya kira, apalagi bagi mereka yang ambisius, akan ada opsi ketiga: Puncak ketenaran dan tak pernah tenggelam.
Ambisius sekali, memang, opsi ketiga itu. Namun jelas itu sah-sah saja, namanya juga ambisi. Meski harus juga diakui dan disadari betapa dunia terkadang tidak bisa diajak berkompromi, sehingga kadang tidak ada ruang untuk memilih.
Penulis Sepakbola dan pesepakbola, sebagai pelaku dalam industri sepakbola, pasti menginginkan opsi ketiga sebagai capaian utama. Penulis sepakbola, sebagai empunya karya yang didapat dari hasil permainan para pesepakbola maupun kejadian lain yang berhubungan dengan sepakbola, wajar juga jika ingin mendapat apresiasi tinggi dari pembaca. Begitu juga pesepakbola, sebagai pelaku utama di lapangan hijau pasti ingin apa yang ditampilkan di lapangan juga dihargai dengan sepatutnya.
Genre football writing saat ini menjadi wadah bagi siapapun yang menggemari sepakbola. Seperti terbaca dalam salah satu editorial www.Panditfootball.com yang berjudul "Supersub dan Genre Football Writing yang Terus Berkembang", genre ini masih akan terus berkembang. Merujuk kutipan Arnold J.Toynbee tentang konsep respon and challenge, bisalah dikatakan bahwa genre football writing adalah sebuah gerak dan bukan keaadan, merupakan suatu perjalanan dan bukan pelabuhan.
Pada saat ini memang benar siapapun dapat melibatkan diri pada perjalanan menjadi penulis sepakbola. Dari latar belakang apapun dan berbeda-beda, kini banyak sekali orang yang ingin menulis sepakbola dengan berbagai sudut pandang. Terlebih pada zaman digital saat ini yang membuat segalanya menjadi mungkin.
Secara pribadi saya baru memulai menulis tepatnya pada Maret 2012 lalu. Tulisan saya tayang di kolom OPOSAN (Opini Ole Santun) di Tabloid Bola. Tulisan berjudul "Cinta, Loyalitas, dan Harapan" itu terbit pada edisi 23 Maret 2012. Sejak saat itu saya mulai sering menulis.
Saya mencari media online yang mudah untuk memuat artikel. Ternyata saya menemukannya di https://www.beritasatu.com/blog/olahraga.php. Kala itu Pangeran Siahaan masih sering menulis dalam kolom Opini Olahraga di blog tersebut.
Tapi dari situ pula saya menemukan tantangannya. Tantangan terbesar menjadi penulis di zaman digital seperti ini, bagi saya dan mungkin sebagian besar penulis (muda) yang lain, adalah melawan rasa cepat puas.
Bagaimana tidak, begitu mudahnya menjadi penulis pada saat ini. Sekali kirim ke media tertentu, lalu diposting oleh media yang bersangkutan di social media (twitter) dan kemudian mendapatkan perhatianatau apresiasi dari followers berupa reply, retweet dan favorite. Makin banyak respons pembaca di media sosial, makin gampangan pula kita sudah merasa menjadi penulis yang bagus.
Bandingkan dengan zaman cetak. Mengirim tulisan saja harus harus melalui kantor pos. Dan untuk mengetahui tulisan dimuat atau tidak harus membeli surat kabar tujuan. Itu pun sangat lama prosesnya. Seorang penulis pemula sangat jarang yang bisa langsung dimuat di koran. Antri. Harus bersaing dengan penulis-penulis top yang sudah berpengalaman.
Di awal-awal mulai menulis di media digital, saya juga banyak merasakan hal tersebut. Saya gampang terlalu cepat puas hanya karena dimuat dan diapresiasi banyak orang di media sosial dalam bentuk reply, retweet atau di-fav..
Rasa cepat puas seorang penulis sepakbola mungkin dapat disamakan dengan pesepakabola yang karirnya cepat melesat namun juga cepat pula meredup. Orang-orang menyebutnya sebagai one hit wonder. Satu kali membuat prestasi atau sensasi, setelah itu bak hilang ditelan bumi.
Ambil contoh Freddy Adu. Dalam usia 14 tahun ia sudah menjadi sangat terkenal. Ia bahgkan mendapatkan cap sebagai "Pele Baru". Sekarang? Di usia yang baru 25 tahun dirinya hanya tercatat sebagai pemain Tampa Bay Rowdies, klub yang berada di North American Soccer League (NASL). Karena cepat puas?
Atau ambil contoh Martin Odegaard. Ia dikabarkan sempat menolak bermain untuk Madrid Castilla karena dirinya (mungkin) merasa lebih pantas berada di skuat utama Real Madrid bersama Cristiano Ronaldo dkk. Karena cepat merasa puas juga? Atau?
Ketika seseorang sudah mendapat sesuatu yang diinginkan, jika tidak ditindaklanjuti dengan latihan dan mengembangkan diri terus menerus, maka klimaks dari pencapaiannya pun sudah ada di depan mata. Dan rasa cepat puas adalah jalan pintas menuju kehancuran.
Penulis adalah mahasiswa di Politeknik Negeri Jakarta. Dapat dihubungi melalui akun Twitter: @yudhishnp.
Komentar