Karya Ramzy Muliawan
âDi mana Anda belajar menjadi seorang Indonesia?â
Pertanyaan itu mungkin terdengar retoris. Barangkali yang ditanya bakal menjawab: di lapangan upacara ketika SD atau saat menyanyikan lagu kebangsaan bersama atau saat pawai hari kemerdekaan  atau di puncak gunung sembari mengerek tinggi bendera Merah Putih di ketinggian.
âBagaimana Anda belajar menjadi seorang Indonesia?â
Pertanyaan ini mungkin lebih kurang sama retorisnya. Mungkin akan ada yang menjawab: dengan mempelajari buku perjuangan bangsa atau menonton film soal proklamator kemerdekaan atau dengan menyimak guru-guru berkhotbah dengan buku Pendidikan Kewarganegaraan yang tebal di hadapannya.
Saya tidak pernah menganggap diri saya sendiri sebagai seorang nasionalis, terutama karena saya tidak pernah menemukan manfaatnya untuk jadi nasionalis. Tentunya, seumur-umur hidup saya pernah melakukan tindakan-tindakan yang lazim dilakukan orang Indonesia yang cinta bangsanya; entah itu menghormat kepada bendera, menyanyikan lagu wajib, menyantap masakan tradisional, atau sekadar menghafal nama-nama pahlawan yang tertempel di dinding-dinding kelas. Dan tentunya itu tidak cukup untuk memasukkan seseorang dalam kategori nasionalis sejati. Toh, bukannya itu juga dilakukan semua orang?
Namun, saya harus membuat perkecualian dalam satu hal. Jika orang lain menjadi nasionalis dalam segala bidang lantaran ikut baris-berbaris atau dimakan propaganda âNKRI harga matiâ, maka izinkan saya dengan bangga menepuk dada: saya juga nasionalis, tapi hanya untuk urusan sepakbola!
Penulis artikel ini, Ramzy Muliawan, adalah kontributor paling awal #PanditSharing, sekaligus juga yang termuda. Simak dua tulisannya yang terdahulu yang tidak kalah menarik dengan artikel ini:
Kecintaan kepada bangsa yang saya kenal pasti dan paham dengan baik, berakar semuanya di lapangan sepakbola. Namun, ini bukan cerita-cerita klasik menonton timnas lalu langsung memproklamirkan diri menjadi patriot nomor satu. Sama sekali bukan. Ini cerita tentang bagaimana tanah yang asing bisa menjadi tempat yang sangat baik, dan sepakbola bisa jadi cara yang amat tak terbayangkan untuk mengajarkan seperti apa sebaiknya kecintaan terhadap bangsa itu ditanamkan.
Saya cukup beruntung dapat mengecap kehidupan di luar negeri selama beberapa tahun. Selama empat tahun, Malaysia menjadi persinggahan keluarga saya. Ayah saya berkesempatan untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di salah sebuah perguruan tinggi teknologi di negeri tersebut, demikian pula ibu saya. Kami pun tinggal, belajar, dan hidup di sana.
Hal yang barangkali mengejutkan untuk kebanyakan orang Indonesia (tapi tidak untuk orang Indonesia lain yang mafhum) adalah Malaysia mempunyai kualitas âmenara gadingâ yang cukup lumayan jika dibandingkan dengan dunia pendidikan tinggi kita. Universitas teknologi dimana ayah dan ibu saya belajar adalah perguruan yang cukup punya nama dan bereputasi baik dalam bidangnya. Dan di Malaysia, terbilang cukup banyak universitas yang punya kualitas serupa atau bahkan lebih baik. Mereka menarik mahasiswa tidak saja dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri.
Nah, perihal mahasiswa luar negeri ini yang menarik. Universitas punya fasilitas dan staf pengajar yang cukup untuk menampung ribuan mahasiswa luar negeri. Perlu diperhatikan bahwa ketika berbicara tentang âluar negeriâ, kita sedang membicarakan tentang serombongan besar penuntut ilmu yang berlatar budaya merentang dari Afrika Utara sampai Vietnam. Universitas menyediakan cukup tempat tinggal untuk semua mahasiswa luar negeri (baik itu undergraduate maupun postgraduate) di dalam kawasan kampus. Hasilnya adalah lingkungan internasional yang amat beragam dari segi budaya, ekonomi, agama, sosial, bahkan ideologi politik.
Para mahasiswa dari negeri yang jauh itu punya kebanggaan yang amat terhadap asal usul mereka. Tentu saja mereka menghormati Malaysia, tuan rumah mereka saat ini, yang sudah bersedia memberikan kesempatan mereka untuk mengasah ilmu di sini. Namun mereka juga bangga dengan identitas nasionalnya.
Saya ingat pertama kali tiba di Malaysia saat sedang panas-panasnya Piala Asia 2007 berlangsung. Perhelatan sepakbola negara-negara Asia itu kebetulan berlangsung di empat negara: Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Malaysia sendiri kedapatan jatah sebagai tuan rumah di dua stadion: Stadion Nasional Bukit Jalil di Kuala Lumpur dan Stadion Shah Alam di Shah Alam, keduanya terletak di wilayah Lembah Klang (semacam Jabodetabek-nya Malaysia). Letak universitas kami di ujung barat Semenanjung (dan lebih dekat ke satu lagi negeri tetangga kita, Singapura) membuat Piala Asia dapat dinikmati di layar kaca saja.
Seperti yang sudah saya sebut di atas, mahasiswa luar negeri di kampus ini amat beragam. Ada komunitas Yaman, Sudan, Iraq, Iran, Saudi, Turki, Suriah, Palestina, sampai negara-negara yang berakhiran tan di Asia Tengah. Selain komunitas dari Timur Tengah, tentu saja ada yang berasal dari negara-negara lebih dekat, seperti Pakistan, Bangladesh, Thailand, dan tentu saja: Indonesia, negeri jiran seberang selat. Dan tentu saja setiap komunitas ini punya jago masing-masing di Piala Asia.
Tuan rumah Indonesia dan Malaysia, sayangnya, harus angkat koper duluan dari turnamen. Pada titik itu (yang sangat awal, fase grup) saya agak meragukan tim nasional kita, kenapa tak menang-menang juga lawan Arab-Arab ini? Padahal pada pertandingan awal kita sudah bisa menang atas Bahrain yang Arab, tapi kemudian takluk di tangan Saudi Arabia (negara Arab) dan Korea Selatan (untungnya bukan Arab). Namun saya dapat sedikit berlega hati karena Malaysia selaku kompatriot senasib sepenanggungan juga tersingkir awal, tanpa harus bertemu negara Arab (tapi mereka bertemu dan dihempaskan oleh Iran dan Uzbekistan, yang fisiknya sama-sama mirip Arab juga).
Babak penyisihan jauh lebih menarik. Iraq yang dirundung perang dengan penuh gaya menyingkirkan Vietnam dan Korea Selatan. Komunitas Iraq di kampus sangat gembira menyimak sepak terjang Singa-singa Mesopotamia ini dan tak henti membicarakan (atau memuja?) sang kapten, Younis Mahmoud. Iran harus tersingkir di perempatfinal dari Korsel, sehingga Hussein, Ali, dan Javed yang biasanya bercuap-cuap soal Mehdi Mahdavikia harus tutup mulut lebih awal. Mahasiswa asal Saudi (atau dari negara-negara sekutu Teluknya) umumnya berbaris di belakang bendera hijau Dinasti Saud dan melolongkan yel-yel, bersorak untuk Yasser Al-Qahtani cs.
Pada partai final di Gelora Bung Karno, Jakarta (oh, ironis sekali fakta ini), Iraq akhirnya juara Asia setelah gol telat Younis Mahmoud menggetarkan jala Yaser Al Mosailem. Di kampus, komunitas Iraq bersorak gembira, tertawa-tawa sambil merangkul rekan senegara mereka: perkara beraliran Sunni atau Syiah tampaknya lebur sama sekali malam itu. Mereka, orang-orang Iraq, sudah berusaha untuk melarikan diri dan keluarga mereka dari bayang-bayang perang dan konflik militer yang kejam hingga ke penjuru dunia seperti Malaysia; dan kini, rekan-rekan senegara mereka memainkan sepakbola yang membuat mereka semua bangga. Bayangkan, negeri yang dirundung perang dan dibombardir Amerika selama bertahun-tahun itu, kini penguasa Asia!
Jika ada pelajaran yang dapat saya tarik dari orang-orang Iraq yang gembira ini, tentunya adalah bahwa sepakbola itu punya daya rekat yang amat kuat untuk mempersatukan suatu negeri. Iraq yang dikoyak perang, mampu tampil jadi juara. Ini pelajaran pertama soal nasionalisme dan cinta bangsa selama saya hidup di komunitas internasional ini: berikan mereka bola, atau paling tidak tontonan bola yang bagus, bersatulah mereka dalam satu bangsa. Semudah itu.
Setelah kemenangan Iraq, hidup jalan terus. Bermacam-ragam bangsa yang bermunculan di kampus, mulai dari orang-orang Somalia, Kurdi, bangsa-bangsa yang kerap kita dengar tertindas di media utama dunia.
International Students Association (organisasi mahasiswa internasional) di kampus tampaknya paham benar dengan peran olahraga sebagai pemersatu antarbangsa dan antarbudaya. Organisasi ini rutin menyelenggarakan beragam-ragam festival budaya dan semacamnya. Namun pernah pula organisasi ini menyelenggarakan kompetisi olahraga antar komunitas mahasiswa. Dan yang menjadi suguhan utama, tidak lain dan tidak bukan, tentu saja: sepakbola.
Sebenarnya tidak benar-benar sepakbola, walaupun universitas kami punya fasilitas olahraga yang terbilang cukup modern: lapangan bola, futsal, basket, bulu tangkis, sampai tenis dan squash. Setiap mahasiswa dan yang bertempat tinggal di dalam kampus dapat memanfaatkannya secara bebas. Akhirnya digelarlah turnamen futsal antar mahasiswa internasional, yang digelar tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami.
Indonesia, sebagai negeri jiran terdekat, punya pendukung yang paling banyak. Tim futsal PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di kampus kami sebagian besar diisi para mahasiswa undergraduate (S1) yang masih muda dan bertenaga, dibantu juga beberapa mahasiswa postgraduate (S2 dan S3) yang bisa bermain. Saya pergi menonton turnamen ini bersama ayah, dan tetap di sana sepanjang hari.
Komunitas lain beragam. Lawan pertama kami, Bangladesh, dapat ditumpaskan dengan mudah. Postur mereka yang tidak jauh berbeda dengan pemain kami, ditambah dengan dukungan penonton yang antusias menyorakkan âIndonesia! Indonesia!â membuat kami menang mudah.
Saya ingat tim Indonesia masih cukup mudah ketika mengalahkan tim Pakistan: tim yang didominasi para mahasiswa senior berjanggut tebal yang akan mengingatkan kita pada sosok insinyur âNuclear Nadalâ yang diperankan Jason Mantzoukas di The Dictator.
         Para suporter Pakistan ini amat nasionalis. Mereka tak henti bersorak âPakistan Zindabad! Pakistan Zindabad!â dan ucapan sorak berbahasa Urdu lain dari sisi lapangan futsal. Namun selain amat nasionalis, mereka juga amat religius: tatkala azab Maghrib berkumandang, para pemain ini langsung bertayamum dan shalat berjamaah di lapangan yang baru saja mereka injak-injak beberapa jam sebelumnya! Sungguh kombinasi nasionalisme dan religiusitas yang sangat menarik.
Namun babak selanjutnya tidak terlalu beruntung. Tim Indonesia berhadapan dengan Iran di semifinal, sementara Iraq di partai lain melawan Nigeria. Hari sudah masuk pukul delapan malam, namun saya bersikeras untuk tetap menonton.
Pada akhirnya Indonesia menanggung kekalahan dengan selisih gol yang tidak tipis, antara lain lantaran faktor postur â untuk pertama kalinya saya paham mengapa komentator-komentator Indonesia hobi sekali menyalahkan faktor satu ini. Orang-orang Persia dan Arab memang tinggi dan besar, dan yang saya saksikan langsung di lapangan pada malam itu tampaknya bahkan jauh lebih tinggi besar dibanding yang saya tonton di televisi. Sebagai semifinalis, Indonesia berhadapan Nigeria, yang tersungkur dari Iraq.
Perebutan tempat keempat. Saya sudah lelah, namun penasaran. Ini pertandingan menyelamatkan harga diri.
âIndonesia! Indonesia! Indonesia!â
Waktu normal tak cukup rupanya. Pemain-pemain Indonesia sudah kelelahan menghadapi serangan pemain-pemain Nigeria (yang tidak hanya tinggi besar, tapi juga kokoh dan agresif), tapi masih dapat memaksakan laga ke adu penalti.
Saya melihat ke gawang Nigeria, di sana ada Thomas NâKono versi lebih bongsor. Habis sudah.
Pada akhirnya Indonesia memang harus kalah lagi. Tendangan eksekutor-eksekutor Indonesia gagal: entah nyasar atau dapat dihalang Mr. NâKono tadi. Para tukang jagal Nigeria dengan sukses sentosa menjaringkan bola ke gawang kita. Di partai final, Iran dan Iraq saling membantai dengan riuh. Sampai hari ini saya tidak ingat siapa yang menang, tapi sama saja: mereka sama-sama tinggi besar semua!
Turnamen itu mengajarkan saya banyak hal. Bahwa sepakbola adalah sebuah bahasa; ia bahasa yang universal, semacam lingua franca yang dapat memperekatkan orang dari berbagai macam latar budaya. Namun pada saat yang sama, untuk bangsa-bangsa yang bertarung di lapangannya, ia menjadi sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta pada bangsa sendiri.
Harus saya akui, sejak saat itu saya mulai belajar untuk mencintai Indonesia, dari sisi yang saya cintai: sepakbola. Saya menyimak setiap pertandingan tim nasional di televisi. Saya hadir apabila mungkin di setiap kesempatan saat tim berlabel âIndonesiaâ bertanding.
Hal ini mungkin tak akan pernah terjadi andaikata saya tak pernah hidup di tanah yang asing, atau jika saya tak pernah mengenal sepakbola. Hidup di tanah yang asing, dengan aneh namun mengagumkan, justru berperan besar membentuk kecintaan saya terhadap tanah air.
âDi mana Anda belajar menjadi seorang Indonesia?â
âDi lapangan sepakbola, nun di negeri seberang selat sana.â
âBagaimana Anda belajar menjadi seorang Indonesia?â
âDengan menonton orang Indonesia bermain bola!â
Ramzy Muliawan, pelajar biasa yang makan nasi dan suka membaca. Suka menonton dan menulis soal sepak bola. Tinggal di Pekanbaru, berkicau di @poroshalang.sumber foto:Â
Komentar