Saya bukan pendukung Newcastle United, namun ketika Florian Thauvin, pemain muda Perancis yang sering disamakan dengan Franck Ribéry, dikabarkan sedang menjalani tes medis sebagai bagian dari proses transfernya dari Olympique de Marseille ke Newcastle, saya ikut mendoakan demi segala kelancaran.
Saya pertama kali melihat Florian Thauvin di Piala Dunia U-20, yang diselenggarakan di Turki pada 2013. Saya tak ingat persis di pertandingan apa saya melihat Thauvin bermain (mungkinan besar perempat final, ketika Thauvin mencetak satu gol dan satu assist ke gawang Uzbekistan dan membawa Perancis menang 4-0; atau mungkin semifinal, ketika Thauvin mencetak semua gol Perancis untuk membawa kesebelasannya mengalahkan Ghana dengan skor tipis 2-1 dan, karenanya, lolos ke final; atau bahkan mungkin saya melihat Thauvin di pertandingan final, saat ia tidak mencetak gol dan tidak pula mencetak assist); yang saya ingat, Thauvin bermain bagus dan membuat saya menginginkan dirinya bergabung dengan salah satu kesebelasan favorit saya.
Tak lama setelah Thauvin pulang dari Turki sebagai juara dunia di tingkat usianya, pemain yang lahir di Orléans pada Januari 1993 tersebut bergabung dengan Olympique de Marseille.
Bergabungnya Thauvin ke Marseille membuat saya bahagia, namun hanya beberapa saat. Selebihnya saya lebih banyak mengumpat. Semua yang saya lihat ada dalam diri Thauvin di Piala Dunia U-20, tak banyak yang saya saksikan sejak ia bergabung dengan Marseille. Bukan karena ia jarang bermain; Thauvin, sejak bergabung dengan Marseille pada 2 September 2013, sudah bermain dalam 81 pertandingan resmi. Semua tingkat kejuaraan, dari Coupe de la Ligue (setingkat Carling Cup di Inggris) hingga Champions League, sudah ia cicipi. Bermain di pertandingan mudah maupun sulit, Thauvin konsisten bermain inkonsisten. Lebih parah lagi, sebagai bagian dari kesebelasan ia tidak memuaskan.
Gocekan-gocekan Thauvin, yang membuatnya menjadi senjata mematikan Perancis di Piala Dunia U-20, masih ada. Kemampuannya mengecoh lawan semakin hari semakin baik, malah. Sepakbola, bagaimanapun, bukan tenis. Apa gunanya olah bola menawan jika kemampuan tersebut tidak mampu membantu kesebelasan?
Menyaksikan Thauvin bermain lebih banyak kesal daripada senangnya. Melihatnya menendang bola ke gawang (dari sudut dan jarak yang tidak selalu baik) ketika ada rekan satu kesebelasan yang memiliki peluang mencetak gol lebih besar adalah makanan wajib yang harus disantap sebagai komposisi wajib dari satu piring besar menonton-Marseille. Begitu pula dengan melepas umpan kunci di saat yang tidak tepat dan menggocek lawan ketika ada opsi yang lebih baik dalam umpan-dan-berlari. Thauvin di Marseille kurang lebih adalah Luis Nani di Manchester United. Kurang lebih.
Bisa saja saya subjektif. Bisa saja sebenarnya semua kekecewaan ini hanya milik saya. Bisa saja Thauvin, sebenarnya, tidak buruk-buruk amat. Bisa saja saya merasakan semua ini karena saya memiliki standar tinggi untuk setiap pemain yang bermain untuk kesebelasan favorit saya. Bisa saja demikian, namun patut diingat Thauvin bermain di Ligue 1.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ligue 1, kesebelasan mana pun bisa menjuarai liga ini dengan barisa belakang yang biasa saja selama kesebelasan yang dimaksud memiliki lini depan yang baik. Tidak harus semengerikan lini serang Real Madrid atau Barcelona; setingkat dengan Arsenal dengan segala kekurangan lini depan mereka saja sudah cukup.
Marseille, dengan lini serang berisi André-Pierre Gignac, André Ayew, Dimitri Payet, dan Florian Thauvin, di atas kertas lebih dari cukup baik untuk membuat kebanyakan lini belakang kesebelasan Ligue 1 kerepotan. Pada praktiknya sudah lima tahun berlalu sejak Marseille terakhir kali merasakan manisnya gelar juara liga.
Dalam kebanyakan kasus, komposisi pemain yang tidak sesuai menjadi alasan kegagalan kesebelasan bertabur bintang. Dalam kasus Marseille, Thauvin yang membuatnya tidak tepat. Ayew selalu bermain bagus di sisi kiri sementara di sisi yang berseberangan, Thauvin konsisten tampil inkonsisten. Thauvin membuat Marseille berat sebelah.
Anda boleh berargumen Ayew lebih matang, namun itu tak akan mengubah cara saya memandang Thauvin. Jika Giannelli Imbula yang sebaya dengannya bisa bermain konsisten dan berguna sebagai bagian dari kesebelasan, mengapa Thauvin tidak? Jika Marco Verratti â yang pada 2013 hanya mampu menjadi nominee sementara Thauvin memenangi gelar pemain muda terbaik â bisa berkembang semakin matang, mengapa Thauvin tidak? Kita sedang membicarakan Thauvin, pemain yang bakatnya terlihat jelas; bukan sembarang pemain muda yang biasa saja.
Kegagalan Thauvin tampil baik dan berguna bagi kesebelasan membuat saya, yang merasa sangat kehilangan dalam Eksodus Musim Panas 2015 (saya merasa kehilangan ketika Gianelli Imbula, André-Pierre Gignac, André Ayew, dan Dimitri Payet ramai-ramai meninggalkan Marseille; saya bahkan juga merasa kehilangan ketika duo pemain tua Jérémy Morel dan Rod Fanni pergi) malah merasa bahagia mendengar dirinya merapat ke Newcastle.
Graham Carr, kepala pemandu bakat Newcastle, ikut berbahagia bersama saya. Carr, yang sudah sejak lama menginginkan Thauvin, pasti sangat bahagia. Anda yang pernah lama mengidamkan sesuatu dan mendapatkannya pasti tahu rasanya. Bahagia saya â rasa lega, tepatnya â lebih besar dari itu.
Terlebih lagi, Marseille akan mendapat 17 juta euro plus Rémy Cabella sebagai pemain pinjaman selama satu musim (dengan opsi permanen 8 juta euro). Lain hal, kepergian Thauvin berarti lebih banyak peluang bermain untuk Romain Alessandrini dan Lucas Ocampos. Walau tidak istimewa, keduanya lebih konsisten (konsisten bermain konsisten, bukan konsisten bermain inkonsisten) ketimbang Thauvin.
Semua tinjauan buruk mengenai Thauvin ini, bagaimanapun, tidak lantas membuat Newcastle melakukan kesalahan. Awalnya saya hanya percaya kepada dua jenis Efek Bielsa, namun belakangan saya melihat Efek Bielsa jenis baru: pemain-pemain yang sepanjang musim lalu bermain di bawah arahan Marcelo Bielsa tak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi di Premier League musim ini.
André Ayew mencetak dua gol dalam dua pertandingan pertamanya bersama Swansea (salah satunya membantu Swansea menahan imbang juara bertahan, Chelsea, di pertandingan pembuka) sementara Dimitri Payet mencetak satu assist (saat West Ham United mengalahkan Arsenal di Emirates Stadium) di pertandingan pertamanya lalu mencetak satu gol di pertandingan kedua. Bukan tidak mungkin Thauvin, yang musim lalu bermain dalam 38 pertandingan, juga akan sama produktif dengan kedua seniornya.
Bukan tidak mungkin harapan Steve McClaren akan terpenuhi: dengan kaki kanan dan kiri yang sama baiknya dan kemampuan melepas umpan silang yang cukup baik, Thauvin mampu menjadi penyuplai utama untuk Aleksandar Mitrovi? dan dengannya Newcastle, musim ini, tak harus mengakhiri musim di papan bawah seperti musim lalu.
Komentar