Oleh: Rio Adriano*
Dalam serial televisi  Da Vinci's Demon dikisahkan seorang Leonardo Da Vinci muda yang kesulitan mengatasi pikiran-pikiran berbahaya dan liar demi mendapatkan pengakuan dari ayahnya. Namun, di samping itu semua, Da Vinci merupakan seorang pelukis yang sangat handal, bisa dibilang jenius.
Karena kejeniusannya itu, Da Vinci terjebak di antara romansa perseteruan politis antara keluarga Medici, Pazzi, dan Gereja Katolik di Vatikan. Terlebih, Da Vinci memiliki keterkaitan dengan the Book of Leaves, di mana berkat pencariannya terhadap buku tersebut, Da Vinci dapat membuka sudut terjauh dalam pikirannya dengan menggunakan the Fountain of Memory. Dengan kemampuan itu, Da Vinci bukan sekadar mamu melihat masa depan melainkan mampu membentuknya!
Da Vinciâs Demons memang karya fiksi. Ia hanya bisa berada di dalam kepala seseorang dan tidaklah nyata. Namun, seperti kata-kata terakhir Albus Dumbledore dalam Harry Potter: The Deathly Hallows, âOf course it is happening inside your head, Harry, but why on earth should that mean that it is not real?â. Mengapa hal-hal yang terjadi di dalam kepala, harus dianggap tidak masuk akal?
Pun di sepakbola di mana hal-hal yang mestinya cuma ada di dalam kepala, tapi terjadi secara nyata. Misalnya gerakan ajaib Dennis Bergkamp pada 3 Maret 2002 saat mencetak gol ke gawang Newcastle United. Buat penulis, gerakan tersebut cuma bisa dilakukan di dalam kepala.
Bagi sekumpulan kecil pemain yang biasa disebut fantastista, hal-hal yang dilakukan Bergkamp adalah suatu hal yang lumrah. Lionel Messi, misalnya. Sudah terlalu banyak keajaiban yang dikeluarkan dari kaki kirinya, sehingga akan sangat lelah jika dibahas satu persatu. Di antara sekumpulan kecil fantasista itu, ada seorang pemain yang sebenarnya bukan merupakan fantasista murni. Orang lebih senang mengategorikan dia sebagai regista: namanya Andrea Pirlo.
Baca juga: posisi dan peran pemain berdasarkan nomor punggung.
Pirlo tidak punya kemampuan menggiring bola fenomenal maupun tendangan keras berupa cannonball. Namun Pirlo punya sesuatu hal yang tidak semua pemain tengah punya. Ia dikaruniai visi bermain.
Jika kebanyakan pemain memiliki misi, maka Pirlo punya visi untuk melihat jauh ke depan dan mengubah jalannya pertandingan hanya lewat pergerakan yang terkesan asal-asalan, seperti seorang Riquelme. Visi yang diberikan kepada Pirlo oleh Tuhan, disempurnakan dengan paduan umpan-umpan ciamik yang seringkali membuat penonton tidak bisa bernafas.
Di antara teriakan kegembiraan dan dengung umpatan, semuanya tetap berdasarkan pada euforia kekaguman pada sang maestro. He was and still one of the best passer the world of football has ever seen.
Tapi Pirlo sudah tua, dan sudah sepantasnya dunia sepak bola mencari pemain yang dapat memberikan sentuhan magis seperti Pirlo. Seperti Da Vinci, Pirlo mampu menjadikan kenyataan apa yang seharunya bisa terjadi didalam kepala saja. Keduanya seperti memiliki Vvsi untuk dapat membentuk masa depan.
Musim ini, Jonjo Shelvey ingin mencoba untuk menggantikan stereotip master passer yang selama ini diemban oleh Pirlo. Memang musim masih panjang, dan liga baru berjalan tiga pertandingan saja (saat tulisan ini dibuat). Tapi secara kasat mata, terlihat perubahan yang sangat signifikan terhadap pola permainan Shelvey.
Shelvey tak lebih sebagai pemian yang kerap melakukan pelanggaran bodoh. Senjatanya pun cuma tendangan keras. Namun, musim ini Shelvey ujug-ujug berubah menjadi pemain dengan passing yang menakutkan. Terutama through pass miliknya, yang saat ini sudah menjadi ancaman berarti bagi barisan pertahanan lawan. Apabila konsisten, saya sih yakin Shelvey bisa menggantikan peran Pirlo di Eropa. Ditambah kakinya yang sekeras tiang bendera, dan tendangan yang sekeras suara knalpot anak ABG jaman sekarang, Shelvey jadi punya senjata lebih dibandingkan dengan Pirlo.
Situs WhoScored.com menyebutkan dua keunggulan Shelvey adalah long shots dan through balls. Suatu kombinasi yang mengerikan sebenarnya, hanya saja, keunggulan yang dimiliki Shelvey rasionya tidak seimbang dengan kelemahan dalam permainannya. Untuk ukuran pemain yang ditempatkan di posisi gelandang bertahan, Shelvey dinilai kurang berkontribusi dalam pertahanan. Selain itu kemampuan tekel dan merebut bolanya selevel amatiran, sehingga sering menyebabkan terjadinya pelanggaran di dekat daerah penalti Swansea. Â Shelvey rentan terkena kartu. Belum lagi potensi ancaman dari tendangan bebas di area pertahanan Swansea.
Hal lain yang tidak bisa dikontrol Shelvey adalah kemampuan untuk fokus selama 90 menit. Padahal hal tersebut merupakan hal krusial bagi seluruh pesepakbola. Ini juga menjadi hal utama bagi seorang gelandang bertahan terutama saat timnya diserang habis-habisan pada menit akhir.
Ini merupakan dosa yang tak termaafkan. Sudah tidak jago merebut bola dengan tekel, jarang membantu pertahanan, tidak bisa fokus pula. Namun, saya rasa rekan-rekannya di Swansea dapat memaklumi kelemahan permainan Shelvey, apabila dia terus dapat bermain seperti seorang Andrea Pirlo. Akan timbul kondisi di mana pemain Swansea akan men-spesial-kan Shelvey yang âspesialâ.
Andai Shelvey mampu mengatasi segala kelemahan yang ia miliki, bukan tidak mungkin ia bisa membuntuti kemampuan spesial Andrea Pirlo. Ia juga mampu menimbulkan kengerian bagi barisan pertahanan lawan saat mendengar namanya. Sama halnya seperti yang biasa dilakukan saudara kembarnya Ia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut, Lord Voldemort.
Hanya waktu yang bisa membuktikan, dan Jonjo Shelvey sendiri. Saya pun, penasaran.
"Oooo Harry Potter, he's coming for you, he's coming for you, he's coming for you..."
foto: sporfnews.com
*Calon penguasa dunia, bisa dihubungi di @rioadriano
Komentar