Oleh: Aditya Nugroho
Akhir pekan lalu, 30 Agustus 2015, Andre Villas-Boas membuat sensasi, namun sayangnya atas hal negatif yang ia lakukan. Saat kesebelasan yang dilatihnya, Zenit St. Petersburg, tertinggal 0-1 atas tamunya, Kyrlia Sovetov Samara, Villas-Boas melakukan tindakan tak terpuji yaitu bersitegang dengan salah seorang ofisial ke-4 di pertandingan Liga Primer Rusia itu. Akibatnya, pelatih berusia 37 tahun ini diusir dari lapangan, dan Zenit menyerah 1-3 atas Kyrlia.
Cerita tentang seorang pelatih yang bersitegang dengan penyelenggara pertandingan memang bukan hal baru di dunia sepakbola. Namun siapa sangka, insiden memalukan tadi merupakan puncak dari sebuah krisis yang terjadi pada seorang Villas-Boas,dan bisa saja menjadi akhir tidak menyenangkan dari perjalanannya di negara Rusia.
Bahkan boleh jadi hal ini mengancam pekerjaan Villas-Boas, karena hingga tulisan ini dibuat, Zenit dikabarkan sudah menghubungi calon-calon penggantinya, termasuk di antaranya mantan pelatih Borussia Dortmund, Juergen Klopp.
Perjalanan karir kepelatihan seorang Villas-Boas memang begitu berwarna. Sempat mengukir capaian treble winners ketika menangani FC Porto tahun 2011, nama Villas-Boas kemudian kerap disamakan dengan seniornya, Jose Mourinho.
Berbekal kesuksesan itu, Villas-Boas melanjutkan karirnya di Inggris. Namun sayangnya negeri Ratu Elizabeth meninggalkan cerita yang kurang sedap baginya. Kiprah Villas-Boas bersama Chelsea dan Tottenham Hotspur berakhir dengan pemecatan sekaligus tanpa gelar.
Tidak sampai setahun menganggur, Villas-Boas dikontrak Zenit selama dua tahun dengan bayaran 8,5 juta euro per musim. âSaya mendapat banyak tawaran dari kesebelasan-kesebelasan besar Eropa, namun saya memilih low profile. Di Zenit, saya dapat bekerja dengan bahagia, dengan dukungan total dari klub dan pemain,â jelasnya ketika ditanya alasan memilih Zenit dibanding kesebelasan-kesebelasan lain yang juga menginginkannya.
Sekilas, pilihan yang diambil pelatih berusia 37 tahun ini cukup logis. Selain Liga Primer Rusia dikenal bukan liga yang berat, ia juga menangani kesebelasan yang begitu dominan dalam lima tahun ke belakang. Dengan demikian, Villas-Boas mengambil jalan yang mudah untuk kembali meraih kesuksesan yang telah cukup lama hilang.
Pada awalnya, keputusan pelatih yang kerap disapa AVB ini terlihat tepat. Setelah hanya mampu memberi gelar runner-up pada musim kompetisi 2013-14, AVB berhasil membawa Zenit memenangi liga musim lalu. Di kompetisi antarklub Eropa, Zenit pun berhasil melaju hingga babak perempat final Europa League sebelum dihentikan Sevilla, kesebelasan yang akhirnya keluar sebagai juara.
Namun kemudian datanglah serangkaian peristiwa yang merusak zona nyaman milik AVB. Kejadian yang mungkin bisa disebut âjebakan Batmanâ karena sepertinya kejadian-kejadin ini tidak pernah diduga olehnya.
Pertama, war currency yang kini melanda sebagian negara di dunia membuat nilai tukar mata uang Rubel terjun bebas. Ini tentu saja berdampak buruk bagi kesebelasan yang mempekerjakan pemain-pemain asing, di mana mereka harus membayar dengan mata uang asing. Kedua, dari sisi timnas, Rusia mengalami kegagalan di Piala Dunia 2014, yang berlanjut pada performa buruk pada Kualifikasi Piala Eropa 2016.
Dua peristiwa ini memaksa menteri olahraga dan federasi sepakbola Rusia turun tangan. Hasilnya, mereka mengeluarkan kebijakan terkait batasan pemain asing yang boleh diturunkan di lapangan. Selain menggerus keuangan klub dengan gaji yang tinggi, terlalu banyak pemain asing juga membatasi kesempatan talenta lokal. Maka terhitung sejak musim 2015-16 ini, setiap kesebelasan hanya diperbolehkan menurunkan maksimal enam pemain asing dalam satu laga (sebelumnya diperbolehkan menurunkan tujuh pemain).
Kebijakan inilah yang dikeluhkan oleh AVB. Karena untuk diketahui, Zenit merupakan kesebelasan kosmopolitan yang amat mengandalkan para legiun asingnya. Pemain seperti Hulk, Danny, Luis Neto, Axel Witsel, Javi Garcia, Ezequiel Garay atau Domenico Criscito terus menjadi andalan dalam beberapa tahun terakhir. Berkurangnya kuota jelas berpengaruh terhadap keleluasaan AVB dalam menerapkan taktik. Ditambah lagi, Zenit amat pasif pada bursa transfer musim panas ini akibat isu Financial Fair Play.
Merasa tidak dbekali dengan prajurit-prajurit handal, AVB meradang. Permintaan hengkang dilayangkan pelatih kelahiran Porto ini kepada manajemen pada akhir musim lalu, ketika Zenit baru saja menjuarai liga. Manajemen Zenit kala itu menolaknya, dan AVB terpaksa (atau dipaksa) melanjutkan pekerjaan di tempat yang tidak sepenuhnya ia inginkan, meski ia mengaku akan bekerja dengan dedikasi penuh.
Hal inilah yang mungkin menjadi alasan logis mengapa Zenit mengukir start kurang meyakinkan pada awal musim Liga Primer Rusia. Dalam tujuh laga yang telah dijalani, Zenit memang membukukan lima kemenangan, namun terdapat dua kekalahan mengejutkan yang terjadi di kandang sendiri, yaitu dari FC Krasnodar dan terakhir pekan lalu dari Kyrlia Sovetov. Diusirnya AVB, seperti dijelaskan di awal tulisan tadi, seolah menjadi puncak dari segala kekacauan ini, dan semoga saja ini bukanlah kesengajaan agar Zenit memecatnya lalu memberinya uang kompensasi.
Sementara itu, performa Zenit di lapangan memang terlihat tidak segarang musim lalu. Zenit sendiri terpaksa melego bomber Solomon Rondon ke West Bromwich Albion untuk memberi tempat kepada bomber lokal berbakat namun kemampuannya belum terlalu terbukti, Artem Dzyuba. Zenit pun terpaksa lebih sering memainkan bek sayap senior Alexander Anyukov untuk âmengorbankanâ Criscito demi menaati kuota pemain asing. Imbasnya, kekuatan Zenit tidak lagi semenakutkan musim lalu.
Memang harus diakui bahwa situasi yang dialami AVB tidaklah mudah. Namun semestinya AVB mahfum bahwa perubahan-perubahan semacam ini memang bisa saja terjadi dan hal ini semata konsekuensi yang harus dihadapi seorang pelatih.
Meski tidak dapat sepenuhnya dibandingkan, mungkin AVB perlu sedikit saja melihat kiprah pelatih CSKA, Leonid Slutsky. CSKA bukanlah kesebelasan dengan anggaran gaji dan pembelian pemain sebesar Zenit, namun dengan strategi transfer yang tepat dan kejelian meramu taktik, Slutsky mampu memberikan konsistensi kepada CSKA untuk terus berada di level tertinggi (untuk level Rusia, tentunya).
Rangkaian kesulitan yang dialami ini semestinya menjadi pelecut bagi AVB untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah tipe pelatih yang hanya mampu bekerja dengan baik apabila dibekali skuat yang bagus dan dinaungi situasi yang serba menguntungkan. Jika pun pada akhirnya nanti ia meninggalkan Zenit, AVB jelas membutuhkan kesan baik agar namanya masih dilirik oleh kesebelasan-kesebelasan papan atas Eropa. Dan untuk mendapatkan kesan baik itu, tentunya âjebakan Batmanâ ini harus lebih dulu diatasi.
Penulis cukup sering menulis tema ekonomi sepakbola, dan beredar di dunia maya dengan akun Twitter @aditchenko.
foto: sportskeeda.com
Komentar