Oleh Muh. Isna Nurdin Wibisana
Di Spanyol, bulutangkis jelas kalah populer kalau dibandingkan dengan sepakbola, basket, moto GP ataupun tenis. Ini bukan hanya soal prestasi, tapi fanatisme. Namun demikian, bukan berarti atlet bulutangkis Spanyol tidak bisa berprestasi. Mereka mengejutkan dunia lewat gelar juara yang direbut Carolina Marin menjadi juara dunia tunggal putri Kejuaran Dunia 2014 di Kopenhagen, Denmark.
Marin, begitu dia biasa dipanggil, mengalahkan unggulan pertama asal Cina, Li Xuerui, dengan pertarungan ketat 17-21, 21-17, 21-18. Saat itu, Marin ditempatkan sebagai unggulan enam. Pemain yang lahir 15 Juni 1993 ini adalah orang Spanyol pertama yang mampu juara dunia bulutangkis, sejak pertama kali diselenggarakan tahun 1977 di Malmo, Swedia.
Marin membuktikan dia mampu melakukan back to back. Kejuaraan Dunia 2015 di Jakarta menjadi bukti. Carolina Marin mampu menggondol medali emas setelah mengalahkan unggulan kedua asal India, Saina Nehwal, 21-16, 21-19.
Perjuangan pemain kelahiran Hueval 22 tahun silam ini sungguh tidak mudah. Dia baru berkenalan dengan bulutangkis pada usia 12 tahun. Lantas, baru saat usia 14 tahun dia mengikuti turnamen-turnamen di negaranya. Â Adalah Fernando Rivas yang menemukan bakatnya yang kemudian dibawa ke pemain nasional.
Menjadi pemain profesional tidak mudah buat Marin. Sebab, bulutangkis tidak mempunyai tradisi kuat di masyarakat Spanyol. Kondisi ini membuatnya kekurangan lawan tanding. Tidak ada pilihan, Marin akhirnya lebih sering berlatih melawan pemain putra.
Untuk menambah kemampuannya, Marin melancong ke negara yang punya tradisi kuat bulutangkis di Asia. Dia berkelana ke sejumlah negara. Marin menimba ilmu dengan sistem magang di Indonesia, Tiongkok, dan Malaysia.
Butuh perjuangan dan proses yang tidak instan untuk menjadi pemenang. Sepakbola Indonesia akhirnya mampu puasa gelar internasional untuk pertama kalinya sejak Sea Games 1991. Adalah generasi emas Evan Dimas dkk yang mewujudkannya. Mereka mampu menjadi kampiun Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo. Tendangan Ilham Udin Armayn menjadi penentu kemenangan lewat drama adu penalti melawan Vietnam.
Akuilah Kalau Sepakbola Indonesia Memang Kelas Gurem!
Sontak hasil itu memberikan harapan pada masa depan sepakbola Indonesia. Tapi sayangnya, sepakbola Indonesia tidak pernah belajar dari kegagalan yang sudah-sudah. Pemain yang masih abg harus menerima sorotan media yang berlebihan. Bahkan mereka harus melakukan program traveling, alih-alih persiapan khusus sebelum Piala Asia  U-20 2014 di Myanmar. Hasilnya pada kompetisi itu, pemain terlihat mabok di lapangan. Indonesia gagal berbicara banyak di kompetisi yang ditargetkan mampu lolos ke semifinal.
Sementara timnas senior masih belum mampu menjadi juara di kawasan ASEAN. Kompetisi yang carut marut, match fixing yang belum menemukan pemecahan dan dualisme yang tak kunjung selesai. Ah, begitu banyak masalah persepakbolaan Indonesia.
Pemerintah Spanyol baru memperhatikan bulutangkis pada tahun 2010. Tahun yang juga menjadi masa persiapan Carolina Marin yang lolos Olimpiade London 2012. Semua kebutuhan Marin mendapat perhatian penuh dari pemerintah Spanyol. Karena minimnya lawan tanding di negaranya, fasilitas dan sport science menjadi prioritas Marin. Setelah mendapat perhatian dari pemerintah, Marin mendapatkan hasil yang luar biasa, dia mampu menjadi juara dunia junior pada tahun 2011, meskipun pada Olimpiade London 2012 gagal.
Marin sangat mengerti pentingnya sport science. Satu bulan sebelum kejuaraan dunia 2015, dia mengalami cedera dan pesimis bisa ikut ambil bagian. Untung saja cederanya pulih tepat waktu dan bisa ikut turnamen tersebut. Cedera sebelum ternamen membuat kondisinya jauh dibawah siap untuk tampil maksimal. Lagi-lagi berkat sport science, Marin harus bermain tiap hari dan empat pertandingan untuk mencapai final dan menjadi juara. Tanpa pengelolaan fisik, psikologi dan nutrisi yang baik, mustahil dia bisa jadi juara dengan cedera yang membayangi sebelum turnamen. Disitulah pentingnya sport sains.
Sebenarnya sport science sudah menjadi agenda lama sepakbola Indonesia. Bahkan, Djohar Arifin menjadikan sport science sebagai salah satu dari lima pilar pengembangan sepakbola dalam program kerjanya. Tapi kenyataannya, klub-klub Indonesia belum menerapkannya dengan baik. Masih banyak klub di negeri ini berkutat dengan masalah klasik, yaitu finansial. Untuk membayar gaji pemain saja harus menunggak, apalagi menambah staf dokter tim. Hanya beberapa klub yang bisa memakai fisioterapis daripada tukang pijat.
âJangan bertanya apa yang negara berikan kepadamu. Tapi bertanyalah apa yang bisa kau berikan untuk negaramu;â John Fitsgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke 35. Pernyataan itu seakan menjadi renungan kita semua sebagai elemen sepakbola Indonesia.
Prestasi bukan lagi harga mati karena egoisme telah merasuki jiwa sebagian besar pengurus PSSI. Begitu pun dengan pengrurus klub tingkat daerah. Mereka masih saja memperebutkan kekuasaan dengan cara apapun. Kesadaran akan adanya âmy game is fair playâ cuma ada di bendera pembukaan sebuah pertandingan. Mereka tidak memahami slogan itu untuk segala hal di dalam olahraga.
Kalau mau diperhatikan pemerintah, berikanlah kompetisi yang sehat di tubuh klub maupun pengurus PSSI. Carolina Marin membuktikan, olahraga minoritas di negaranya mampu membuat mata pemerintah Spanyol terbuka. Sekarang Spanyol membangun bulutangkis dengan serius. Negaraânegara Asia yang notabene menjadi rumah bagi bulutangkis merasa terancam akan dominasi Spanyol.
Sepakbola Indonesia? Ranah ini kaya bakat dan peluang, namun belum punya kegigihan buat berubah menjadi lebih baik.
Tulisan ini merupakan tugas materi pop culture #PanditCamp gelombang IV. Penulis dapat dihubungi lewat akun Twitter @isna_w
Komentar