Ini bukan tentang Evan Dimas edisi 2013 atau 2014 yang sudah melambung dan meroket setinggi bintang. Ini cerita tentang ketika Evan Dimas baru dibicarakan segelintir orang di Surabaya.
Jauh sebelum Evan menjadi bahan omongan banyak orang, beberapa kawan sudah mulai membicarakannya sejak 2011. Dan itu masih jauh sebelum Evan berangkat ke La Masia, akademi sepakbola Barcelona, pada pertengahan 2012 lalu. Saat itu, saya sudah mendengar bagaimana permainan pesepak bola asal SSB Mitra Surabaya itu sangat istimewa. Sentuhan bolanya disebut sangat halus. Evan juga disebut sebagai sosok playmaker.
Tentu saja semua cerita itu membuat saya penasaran dengan Evan. Sayang, saya belum mempunyai waktu untuk melihatnya bermain. Rasa penasaran saya semakin membuncah saat suata malam di akhir tahun 2012 saya diajak Mursyid Effendi mendampinginya dalam pertemuan dengan perwakilan manajemen Persija Jakarta di sebuah tempat di Surabaya.
Mursyid adalah mantan pemain Persebaya Surabaya sekaligus pelatih Evan di Mitra. Terus terang saat itu saya benar-benar tidak tahu siapa Evan dan bagaimana cara mainnya. Saya baru mengenalnya dari omongan teman-teman dan berita di media massa. Karena itu, saya sempat meminta diri untuk keluar dari pertemuan. Tapi, Cak Mung-begitu saya memanggil Mursyid-meminta saya bertahan untuk menjadi saksi sekaligus memberi masukkan.
Malam itu, Persija melalui salah satu orangnya (maaf saya tidak bisa menyebut namanya) meminta Evan untuk bergabung ke Jakarta. Beragam alasan dikemukakan, salah satu terkait skill Evan yang disebut sangat istimewa. Mitra melalui Mursyid sangat berterima kasih dengan pinangan itu dan tidak keberatan melepasnya. Hanya saja, harus ada kontribusi yang diberikan Persija ke Mitra.
Di sinilah letak penasaran saya semakin meletup. Betapa tidak, Cak Mung menyebutkan nilai yang sangat fantastis untuk ukuran sepak bola Indonesia. Dan tentu saja untuk ukuran anak seusia Evan yang saat itu baru 17 tahun dan masih hijau. Evan belum memiliki pengalaman bergabung dengan klub yang berkompetisi di liga level atas sebuah negara. Dalam hati saya bertanya seberapa berkualitasnya Evan sehingga Cak Mung menyebut nilai yang teramat  jauh dari perkiraan saya, banderol yang setinggi langit.
Tapi, saya menyimpan pertanyaan itu cukup di dalam hati. Sebab, saya âharusâ berada di pihak Cak Mung untuk membentengi Evan. Jangan sampai talenta Evan (padahal saya sendiri belum pernah melihat permainannnya, he..he..) tersia-siakan. Nilai itu sepertinya juga sengaja diapungkan Cak Mung karena sejatinya dia tidak rela Evan terbang ke Jakarta. Sebab, hatinya masih dan selalu untuk Persebaya. Ketika itu, saya menyebut kalau nilai tersebut memang sangat tinggi. Namun, nilai itu sebanding dengan kualitas yang dimiliki Evan sekaligus beban yang bakal dipikulnya.
Seperti diketahui, hubungan suporter Surabaya dengan Jakarta tidak harmonis. Karena itu, ketika ada seorang pemain yang mulai mendapat perhatian masyarakat Surabaya, jelas tidak mudah baginya untuk bermain di klub di luar Surabaya. Lebih-lebih di Jakarta. Bukan tidak mungkin secara pribadi Evan akan banjir caci maki dari suporter Surabaya. Bukan tidak mungkin keluarga Evan juga mendapat teror, seperti yang pernah dialami Bejo Sugiantoro dan keluarganya saat memutuskan menyeberang ke Arema Malang.
Tapi upaya memboyong Evan ke Jakarta itu juga menjelaskan bagaimana radar Persija bekerja dengan cukup bagus dalam mengendus pemain-pemain muda berbakat. Kita sudah bisa melihatnya pada bagaimana Persija menemukan dan mengasah Ramdani Lestaluhu atau Hasyim Kipuw, misalnya.
Pertemuan itu berlalu dan Evan ternyata urung pergi kemana-mana. Saya sendiri akhirnya bisa melihat penampilan Evan ketika tim nasional  U-19 berlatih di Sidoarjo pada pertengahan Agustus 2013 untuk persiapan Piala AFF U-19. Saat latihan saya memang tidak bisa melihat Evan secara utuh. Saya baru benar-benar melihatnya saat tim nasional U-19 melakukan laga ujicoba dengan Jember United di Stadion Jenggolo, Sidoarjo.
Di pertandingan itu, cerita yang mampir ke saya tentang Evan ternyata tidak keliru. Saya melihatnya sebagai pemain cerdas. Dia mampu mengatur tempo pertandingan :Â kapan harus bermain cepat dan kapan memperlambatnya. Evan juga cerdik dalam menempati ruang, mencari ruang, dan membuka ruang. Umpan-umpannya juga akurat. Tidak sekedar umpan pendek, tapi juga umpan jauh-soal umpan jauh ini merupakan salah satu kelemahan pemain Indonesia.
Satu hal lagi yang saya ingat, setiap kali melakukan tendangan sudut, Evan selalu menempatkan bola di tiang jauh. Selalu. saya melihatnya ini sebagai sesuatu yang istimewa, karena seringkali pemain Indonesia asal tendang ketika mengeksekusi tendangan sudut.
Pendek kata, Evan bukan sekedar bermain dengan kakinya. Tapi, dia juga bermain dengan hati dan pikirannya.
Apa yang saya lihat dipartai ujicoba tersebut ternyata juga ditampilkannya saat pertandingan Piala AFF U-19. Kebetulan, kecuali saat dikalahkan Vietnam di penyisihan grup, saya selalu melihat langsung pertandingan tim nasional U-19 di stadion. Evan menegaskan kembali kepada saya bahwa inilah playmaker di lapangan hijau. Posisi yang sejak dulu selalu menggelitik saya untuk melihat, menikmati, dan memainkan sepak bola.
Evan ternyata tidak sekedar cerdas memainkan bola. Dia juga pemain yang cukup dewasa di luar lapangan. Cara bertuturnya teratur. Sopan dan tidak melupakan asal muasalnya.
Evan juga pemberani, khas arek Suroboyo. Kebetulan saya pernah merasakan sehari yang menegangkan sekaligus menyenangkan bersama Evan di latihan perdana tim nasional U-19 selepas juara Piala AFF U-19 di Sidoarjo. Ketika itu, saya bersama jajaran pelatih Mitra mengajaknya menyemarakan acara bersama adik-adik di SSB tempat asalnya berlatih, Mitra.
Pagi-pagi saya meminta izin ke pelatih tim nasional. Izin saya kantongi. Tapi, siangnya ada yang berubah. Evan tidak diperkenankan pergi karena malam harinya ada acara di tempat menginap tim nasional U-19.
Evan ternyata mengambil keputusan ikut dengan kami. Keputusan yang beresiko. Sebab, pelatih tim nasional U-19 jauh hari sudah menegaskan siapa yang menerobos aturannya bakal dicopot. Tidak peduli pemain itu berstatus pemain inti sekalipun. Tapi, Evan tetap pada keputusannya. Tim pelatih akhirnya memberi izin dengan catatan Evan harus sudah kembali sebelum pukul 19.00 WIB. Catatan yang sulit dan berat. Karena jarak Surabaya dan Sidoarjo tidak benar-benar dekat dan waktunya juga berhimpitan dengan jam pulang kerja yang artinya jalanan bakal macet.
Namun, kami (saya dan Evan) akhirnya bisa kembali ke hotel sepuluh menit sebelum deadline tim pelatih tim nasional U-19. Dan sepanjang perjalanan pulang ke hotel, Evan begitu rileks menjalani situasi yang sebenarnya menegangkan buat saya. Dia juga bercerita banyak tentang tim nasional U-19 dan pandangannya tentang sepak bola, juga kehidupannya.
Dari situlah saya mengambil kesimpulan kalau Evan bukan sekedar cerdas di lapangan saja. Dari situpula saya menemukan jawaban kenapa dulu Cak Mung berani menyebut nilai yang sangat fantastis ketika Evan hendak dipinang tim ibukota. Nilai yang cukup besar, tapi sepertinya cukup pantas.
Berapa nilainya, maaf saya tidak bisa menyebutkannya. Biarkan, saya, Cak Mung, jajaran pelatih Mitra, dan perwakilan manajemen Persija saja yang tahu. Sebab, Evan sendiri saya yakini juga belum pernah tahu tentang itu.
Dikirim oleh: Aqila FS
Komentar