Piala Kemerdekaan 2015 telah berakhir. PSMS Medan yang menang lewat gol pada menit-menit akhir pertandingan, meski bermain dengan 10 pemain sejak babak pertama, menjadi klimaks dari segala drama yang terjadi sepanjang turnamen yang digagas Tim Transisi dan Kemenpora ini.
Tak banyak yang mengikuti benar setiap laga pada turnamen ini. Tak adanya stasiun televisi yang konsisten menyiarkan Piala Kemerdekaan menjadi faktor utama. Setelah beberapa kali disiarkan oleh TVRI, baru pada laga puncak sebuah stasiun televisi swasta menayangkannya.
Maka tak sedikit yang cukup terkejut dengan penampilan yang ditunjukkan oleh finalis turnamen, PSMS dan Persinga Ngawi. Tempo tinggi ditunjukkan oleh kedua kesebelasan hampir selama 90 menit. Aksi-aksi para pemainnya pun membuat pertandingan semakin menarik untuk disaksikan.
Persinga Ngawi sebagai Kejutan
Sebenarnya pertandingan-pertandingan dengan tensi seperti ini sudah sering terjadi di Piala Kemerdekaan 2015. Makanya, salah jika ada yang berpendapat bahwa pertandingan-pertandingan di Piala Kemerdekaan tidak berkualitas karena hanya diikuti oleh sejumlah kesebelasan Divisi Utama.
Saya berani mengatakan hal ini karena saya tak hanya menyaksikan laga final. Pada fase grup, saya menyaksikan rekaman-rekaman pertandingan sejumlah kesebelasan untuk keperluan analisis. Sementara, sejak babak semifinal yang di gelar di Surabaya, saya menyaksikan setiap pertandingannya secara langsung.
Persinga Ngawi menjadi cerita tersendiri. Sejak awal turnamen, skuat besutan M. Hasan ini tak begitu diunggulkan di setiap pertandingan.
Tergabung pada grup C bersama PSIR Rembang, Persibangga, PPSM Magelang, Persis Solo dan Persiba Bantul -Persinga tampil tanpa cela dengan tak terkalahkan sepanjang babak grup. Persis dan Persiba yang notabene lebih diunggulkan, berhasil ditahan imbang. Hasil akhir babak grup pun Persinga sukses menggagalkan langkah Persis ke babak berikutnya, meski berstatus sebagai tuan rumah.
Pada perempat final, Persinga kembali tampil mengejutkan dengan menjungkalkan kesebelasan kuat macam Cilegon United. Sementara pada babak semifinal, giliran Persiba Bantul yang ditaklukkan kesebelasan berjuluk Laskar Alas Ketonggo ini. Dua kesebelasan tersebut tentu saja lebih familiar dibanding Persinga Ngawi.
Yang membedakan Persinga dengan kesebelasan lain, kesebelasan dengan warna kebanggaan merah-hitam ini tak memiliki individu yang begitu diandalkan. Persinga lebih bermain secara kolektif.
Mentalitas para pemainnya pun patut diacungi jempol. Pada babak semifinal melawan Persiba, Persinga sempat tertinggal satu gol sebelum dibalas dengan tiga gol. Melawan Persibangga pada babak grup, kebobolan lebih dulu satu gol mampu dibalas dengan empat gol. Sementara ketika melawan Persis, sempat tertinggal dua gol sejak menit 20, Persinga berhasil memaksakan hasil imbang lewat gol yang diciptakan Slamet Haryadi dan Ali Usman.
Dalam skuat Persinga Ngawi sendiri tak ada pemain-pemain senior yang populer seperti dalam skuat lain. Di Persepam misalnya, ada nama-nama seperti F.X. Yanuar, Deni Rumba, atau Waluyo. Atau Perserang Serang yang memiliki Abanda Herman, Joko Sasongko, dan Ade Suhendra. Kesebelasan Persinga bisa dibilang terdiri dari pemain-pemain yang rasanya tak cukup kita kenal.
Hebatnya, skuat Persinga pun dihuni oleh banyak pemain muda. Lebih dari itu, para pemain muda macam Andre Sitepu (22 tahun), Harris Adiyatma (24 tahun), Muhammad Zamnur (22 tahun), dan Jefri Kurniawan (22 tahun), merupakan pemain-pemain yang seringkali diturunkan sejak menit pertama.
Jefri Kurniawan sendiri menjadi pencetak gol pada babak final. Penampilannya pada laga final pun menobatkannya sebagai pemain terbaik Piala Kemerdekaan 2015, yang membuatnya mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp 50 juta.
Jika melihat sepak terjang Persinga pada beberapa musim terakhir sebenarnya kesebelasan yang bermarkas di stadion Ketonggo ini memang cukup menjanjikan. Musim 2010-2011, Persinga berhasil promosi ke Divisi Dua Indonesia atau yang merupakan tingkat keempat dalam piramida Indonesia.
Setelah itu, Persinga sedikit demi sedikit menaiki tangga promosi. Pada musim 2011-2012, mereka berhasil promosi ke Liga Nusantara. Dan pada musim berikutnya, berhasil promosi ke Divisi Utama, yang artinya satu tingkat di bawah divisi teratas Liga Indonesia.
Persinga kemudian tampil  gemilang pada fase grup. Bersama PSIM Yogyakarta, Persinga berhasil melenggang ke babak berikutnya karena berhasil finish sebagai runner-up. Sayangnya pada babak 16 besar, Persinga gagal bersaing dengan Pusamania Borneo FC dan Persiwa Wamena.
Piala Kemerdekaan Tempat Unjuk Gigi Pemain Muda
Tak hanya Persinga yang menggunakan mayoritas pemain muda dalam skuatnya. Selayaknya kompetisi Divisi Utama, mayoritas peserta Piala Kemerdekaan 2015 ini pun dihuni oleh pemain-pemain muda.
PSMS Medan misalnya. Meski terdapat nama senior seperti Legimin Raharjo, skuat besutan Suharto A.D ini pun mengandalkan pemain-pemain yang usianya di bawah 25 tahun. Bahkan lini serang kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan mengandalkan trio pemain muda, yaitu: Erwin Ramdani (22 tahun), Suhandi (24 tahun), dan Guntur Triaji (22 tahun). Bahkan Asrul Risahondua (23 tahun) menyisihkan gelandang senior macam Wijay.
Menunggu Ayam Kinantan Berkokok Kembali
PSMS sendiri memang merekrut sejumlah pemain muda yang berasal dari kesebelasan junior peserta Indonesia Super League. Guntur (bersama Riki Astanto) sebelumnya membela Persija U-21, Choirul Hidayat dari Persib U-21, Safri Al Irfandi dari Semen Padang U-21, Muhammad Hamzaly dan Fiwi Dwipan dari Produta U-18, serta Andy Prayoga yang masih berusia 18 tahun dari salah satu kesebelasan anggota PSMS, PS PTPN.
Para pemain muda ini pun semakin mendapatkan tempatnya karena mayoritas peserta Piala Kemerdekaan 2015 tak menggunakan pemain asing. Satu-satunya pemain asing pada kompetisi ini hanyalah bek yang pernah bermain untuk Persija Jakarta, Persib Bandung, dan PSM Makassar, Abanda Herman.
Dengan banyaknya para pemain muda pada setiap kesebelasan, maka tak heran permainan bertempo tinggi dan ngotot dari para pemainnya sering terlihat pada setiap pertandingan. Satu-satunya sisi negatif dari para pemain muda ini adalah soal pengelolaan emosi.
Pada babak grup, hampir di setiap pertandingan terjadi insiden-insiden yang menodai pertandingan. Keputusan-keputusan wasit yang dianggap tak adil menurut sang pemain, disikapi dengan cara tidak terpuji dengan, mengerumuni wasit, mendorong-dorong wasit, bahkan ada yang sampai memukul.
Padahal secara keseluruhan, kinerja wasit pada Piala Kemerdekaan ini terbilang sangat baik untuk level sepakbola Indonesia. Wasit tak ragu untuk menganulir gol, memberikan pelanggaran, bahkan kartu merah. Hal yang cukup jarang kita lihat pada kompetisi resmi sepakbola Indonesia.
Tapi tentu saja wasit tak terhindar dari beberapa catatan negatif, khususnya asisten wasit. Pada sejumlah momen, banyak asisten wasit yang menganggap offside padahal tidak offside ataupun sebaliknya. Sepertinya memang perlu pemahaman ulang bagi mereka mengenai aturan offside ini.
Baca kembali Laws of the Game: Offside dan Kenihilan Peraturan Offside
Meskipun begitu, secara keseluruhan, Piala Kemerdekaan 2015 memiliki banyak sisi positif. Hal-hal positif yang patutnya terus dijaga untuk bisa mengangkat kembali gairah sepakbola Indonesia yang tengah dirundung masalah seperti saat ini.
Tinggal bagaimana Tim Transisi dan pihak penyelenggara lainnya menuntaskan kewajiban-kewajiban pada para peserta Piala Kemerdekaan 2015. Dimulai dari match fee, biaya panpel pertandingan, hingga hadiah juara yang bernilai lebih dari tiga miliar harus segera diselesaikan sebagai contoh âtata kelolaâ yang baik.
foto: pialakemerdakaan.com
Komentar