Karya Ariandanu Catur Biandana
Tidak dapat disanggah, komik superhero keluaran Marvel sedang booming diadaptasi ke layar lebar. Diawali Spider-Man dan X-Men yang meraih sukses di bioskop, komik lainnya juga menyusul dengan gemilang. Bahkan, tiga film superhero keluaran Marvel Studio berhasil masuk dalam daftar sepuluh besar film box office terlaris sepanjang masa.
Semakin maraknya film adaptasi dari komik Marvel ini merupakan tren tersendiri untuk dunia perfilman saat ini. Hal ini menjadi magnet untuk studio lain berlomba-lomba membuat film bertema superhero lainnya. Tak luput pula untuk ikut dalam tren ini adalah Fox Studio. Seakan ingin mengikuti jejak kesuksesan Marvel Studio, mereka pun memanfaatkan momentum dengan membuat remake untuk film Fantastic Four dengan harapan meraih kesuksesan lebih besar dibanding film Fantastic Four sebelumnya (yang tidak sukses-sukses amat).
Harapan penonton pun amat besar terhadap remake film ini, mengacu pada nama besar Fox Studio yang sukses membawa film X-Men: Day of Future Past ke salah satu jajaran film terlaris. Berbagai berita pun menghiasi layar kaca pemirsa seperti turut andilnya Milles Teller, salah satu nominator peraih Academy Awards atas keapikan aktingnya di film Whiplash ke dalam pembuatan film ini dan angka 120 juta dollar yang dihabiskan untuk produksinya turut melengkapi hebohnya persiapan film ini hingga ke hari peluncuran perdana. Hasilnya?
Film ini berhasil membuat heboh penonton di seluruh dunia. Bukan heboh karena kesuksesan filmnya, melainkan heboh karena film ini seakan dibuat tidak serius sehingga film yang dihasilkan terlihat seperti film dengan budget murahan. Plot yang tidak jelas, karakter yang kurang kuat dan yang paling utama (dan paling susah dimaafkan tentunya), sang tokoh antagonis Doctor Doom terlihat seperti ibu-ibu pejabat bermasker dengan kerudung murahan.
Bahkan situs review film seperti Rotten Tomatoes sampai memberi film ini rating 9. Bagi anda yang belum tahu, hal ini tentu dianggap biasa saja sampai anda kemudian mengetahui bahwa rating tersebut dinilai dari skala 100. Josh Trank sebagai sutradara tentu mendapatkan sorotan hebat dari penonton. Dia dinilai tidak serius dalam menggarap skrip dan tidak mampu memaksimalkan kemampuan Milles Teller.
Berbagai hujatan pun datang di twitter. Sampai dia terlibat adu mulut dengan pemain yang kecewa akan kritik yang ditujukan terhadap film tersebut. Sebuah catatan yang buram untuk karirnya.
Kisah serupa namun tak sama bisa kita lihat pada tim Manchester United (MU) saat ini. MU digadang-gadang akan bisa berbicara banyak musim ini setelah melakukan pembelian-pembelian hebat di awal musim seperti Memphis Depay, Morgan Schneiderlin, Bastian Schweinsteiger dan sang wonderkid Anthony Martial. Nama besar MU turut menjadi magnet bagi pemain-pemain tersebut hingga akhirnya mereka mau bergabung ke klub yang berjuluk Setan Merah. Tentu bukan sebuah kesengajaan jika empat pemain ini disebut Fantastic Four oleh fansnya, mengacu pada performa masing-masing pemain di klub sebelumnya yang jika digabung dalam satu tim diharapkan akan membawa hasil yang fantastis.
Namun bagaimana hasilnya? Satu kali menang, dua kali imbang dan satu kali kalah tentu bukan start yang diinginkan oleh tim sebesar MU. Pembelian pemain-pemain top dan mahal ternyata belum cukup mampu mengangkat performa MU secara signifikan. Bahkan MU harus rela menelan kekalahan saat berhadapan dengan Swansea City. Tanpa mengesampingkan kemampuan Swansea, MU seharusnya bisa memberi pelajaran kepada Swansea dengan materi pemain wah yang dimilikinya. Tapi yang terjadi justru Swansea berhasil mengekspos kelemahan di lini belakang MU dengan dua gol hasil dari serangan balik cepat.
Memang akhir pekan kemarin, MU berhasil menghajar Liverpool dengan skor 3-1. Tiga gol yang disarangkan Daley Blind, Ander Herrera dan Anthony Martial hanya mampu dibalas sebiji gol oleh Christain Benteke. Namun jika melihat pertandingan kemarin, hasil ini tentu tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menganggap bahwa mereka sudah bangkit dari keterpurukan. Dua gol hasil bola mati dan satu gol hasil aksi individu Martial terjadi karena Liverpool juga sedang menghadapi krisis lini pertahanan yang sama dengan MU. Ditambah kehilangan Coutinho dan Henderson membuat lini tengah Liverpool seakan miskin kreativitas. Pendeknya, kondisi Liverpool patut membuat MU tidak gampang berpuas diri.
Melihat hasil pada empat pertandingan awal MU ini tentunya tidak bisa dipisahkan dengan keputusan yang diambil pelatih Louis Van Gaal. Sebagai pelatih, Van Gaal seakan menutup mata bahwa skema formasi yang dijalankannya bukanlah yang terbaik dengan materi pemain yang ada di MU sekarang. Sama halnya dengan yang dilakukan Josh Trank di atas, Van Gaal kerap terlalu sesuka hati menjalankan skenarionya.
Penempatan pemain yang bukan pada posisi sesungguhnya membuat sang pemain tidak bisa menunjukkan performa terbaiknya. Entah tidak belajar pada kasus Angel Di Maria di musim lalu yang gagal bersinar, Van Gaal kembali mengulanginya pada Memphis Depay. Memphis kerap dipasang di posisi gelandang serang di belakang striker tanpa menyadari bahwa posisi terbaiknya adalah sebagai inverted winger yang menjadikannya pemain terbaik di PSV Eindhoven. Hasilnya, Memphis seperti pemain yang kebingungan beradaptasi di liga inggris dan kerap tampil tidak maksimal. Dengan strategi seperti ini, cepat atau lambat Van Gaal akan terjungkal sendiri oleh strateginya sendiri.
Dan benar saja, seakan tidak perlu menunggu waktu lama, hasilnya dapat dilihat pada pertandingan semalam saat MU menghadapi PSV Eindhoven. MU yang mencadangkan Wayne Rooney dan memasang Ashley Young untuk melengkapi trisula Juan Mata dan Memphis Depay yang bermain di belakang striker tunggal Anthony Martial harus rela menelan kekalahan pahit 2-1 atas PSV Eindhoven. Lini belakang PSV sendiri bermain lebih disiplin dibandingkan Liverpool sehingga membuat Memphis, Mata dan Young tidak bisa berbuat banyak. Martial yang bermain gemilang akhir pekan kemarin pun dibuat tak berkutik oleh Narsingh dkk.
Terlepas dari berbagai keputusan kontroversial wasit, lini tengah MU yang berisi Schweinsteiger, Herrera, Memphis, Mata dan Young bermain seakan tanpa panduan yang jelas. Ditambah lini belakang yang kurang padu, PSV menghukum lini belakang MU dengan dua gol yang dicetak Hector Moreno dan Luciano Narsingh.
Sama-sama suka membuang banyak uang, menyia-nyiakan talenta bagus dan menjalankan skenario permainan dengan sesuka hati, tentu kita akan berpikir bahwa Josh Trank dan Louis Van Gaal adalah saudara sekandung. Namun masih ada banyak waktu hingga akhir musim bagi Van Gaal untuk membuktikan bahwa dia adalah peracik skenario permainan yang sarat pengalaman.
Jika dia tidak mengubah sikapnya dalam mengatur strategi, bukan tidak mungkin Van Gaal akan mengalami nasib yang sama dengan Josh Trank, meraih âkesuksesanâ bersama Fantastic Four.
Penulis kerap menulis di blog www.arianarena.blogspot.com. Dapat dijumpai di akun twitter @ariandanucatur.
Komentar