Timnas Indonesia Homeless World Cup (HWC) pulang ke Tanah Air tidak dengan tangan hampa. Trofi Amsterdam Cup, kompetisi peringkat lima dan enam masing-masing grup pada babak kedua, menjadi oleh-oleh yang rasanya tetap patut untuk diapresiasi.
Berbicara mengenai HWC, turnamen ini merupakan turnamen untuk mereka yang memiliki latar belakang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), eks pengguna narkoba, dan tunawisma. Olahraga yang dipertandingkannya sendiri merupakan Street Soccer atau sepakbola jalanan.
Sepakbola jalanan yang kita tahu mungkin hanyalah sekadar sepakbola dengan lapangan dengan ukuran yang tak terlalu besar plus gawang yang jauh lebih kecil dari gawang sepakbola biasa, bahkan futsal. Street Soccer pun dimainkan oleh empat pemain melawan empat pemain.
Pada acara syukuran dan penyambutan kedatangan para pemain timnas Indonesia HWC yang digelar Selasa, 23 September 2015, di kantor Rumah Cemara, saya mendapatkan kesempatan untuk mengetahui lebih mendetil tentang bagaimana Street Soccer ini dimainkan. Saya pun menanyai hal tersebut secara langsung pada sang pelatih, Gimgim Sofyan.
Street Soccer dimainkan dengan intensitas pertandingan yang tinggi. Hal ini dikarenakan bola jarang meninggalkan lapangan yang dikelilingi oleh pembatas. Jika pun gol, bola tak dikembalikan ke tengah, melainkan langsung digulirkan kembali tanpa jeda.
Selain itu, faktor lain yang membuat pertandingan berjalan dengan intensitas yang tinggi adalah pertandingan yang hanya berlangsung selama dua kali tujuh menit. Dengan hanya satu menit waktu istirahat, hal ini membuat setiap tim berusaha secepat mungkin menciptakan gol untuk kemudian mengendalikan permainan.
âKita bermain dengan dua kali tujuh menit, jadi maksimalkan tujuh menit itu dengan rotasi pemain. Keliatan capek, ganti. Keliatan capek, ganti,â papar Gimgim.
Rotasi pemain tersebut tentunya dilakukan agar setiap pemain yang berlaga dalam kondisi baik. Stamina menjadi penting bagi para pemain Street Soccer. Kelelahan akan berujung kelengahan. Dan Kelengahan bisa berakhir dengan kekalahan.
Secara taktikal, Street Soccer lebih sederhana dibanding sepakbola maupun futsal. Apalagi dengan peraturan yang mengharuskan satu pemain selalu berada di area bertahan lawan meskipun timnya sedang mendapatkan serangan (jika semuanya mundur = foul), selalu terjadi situasi tiga pemain melawan dua pemain saat menyerang (atau tiga pemain jika kiper dihitung).
Satu pemain Ukraina (biru) berada di area bertahan Brasil (kuning). Brasil menyerang dan situasi menjadi tiga lawan tiga (plus kiper)
Strategi bertahan menjadi hal yang paling diterapkan Gimgim pada anak asuhnya. Dan strategi bertahan yang ia gunakan adalah dengan cara full press saat bola berada di area pertahanan lawan, dan bermain sabar saat bola yang sedang berada di kaki lawan masuk ke area pertahanan sendiri.
Tapi tak seperti banyak tim yang menggunakan defense dua sejajar, Indonesia asuhan Gimgim bertahan dengan membentuk diagonal oleh dua pemain bertahannya. Skema bertahan ini kemudian diakhiri dengan âkuncianâ atau dua lawan satu.
âStrategi Indonesia beda sendiri. Saat defense, kita ga pake sejajar, tapi diagonal. Dua pemain bertahan kita tak hanya menunggu datangnya serangan, tapi mengarahkan serangan lawan ke area yang diinginkan. Tim lain kemudian ikut-ikutan pake strategi ini,â Gimgim menjelaskan.
Gimgim pun mengajarkan pada setiap pemainnya untuk bisa bermain dengan berbagai peran. Hal ini untuk memudahkan rotasi dan transisi. Kordinasi dan komunikasi antar pemain pada akhirnya menjadi penting termasuk dalam Street Soccer.
Transisi dari menyerang ke bertahan ataupun sebaliknya menjadi komponen yang tidak boleh disepelekan dalam strategi Gimgim. Menurutnya, tim yang memiliki kordinasi yang baiklah yang akan memenangi pertandingan.
âYang paling penting itu transisi sama ketenangan,â kata Gimgim. âKualitas pemain, dari kiper, semuanya seimbang. Bukan lagi soal strategi atau taktik, tapi bagaimana membangun tim ini dengan komunikasi.â
âHebatnya Indonesia itu. Indonesia jadi satu-satunya negara yang semua pemainnya bisa bikin gol (kecuali kiper karena kiper tidak diperbolehkan mencetak gol). Beda dengan negara lain yang, apalagi yang udah punya nama besar, yang punya pemain inti dan cadangan. Pemaen intina weh nu dimaenkeun terus teh,â lanjutnya.
Pemahaman taktik dan strategi yang dimiliki Gimgim memang ia sinergikan dengan tujuan dari gelaran HWC yang memberikan kesempatan pada orang-orang marjinal untuk bisa mewakili Indonesia. Karenanya ia tak memisahkan pemain inti dan cadangan, semua pemain mendapatkan kesempatan bermain.
âTurnamen HWC ini kan kesempatan sekali seumur hidup buat para pemain, jadi saya kasih kesempatan semuanya buat main. Itu yang bikin panitianya juga muji, apalagi semuanya bisa cetak gol. Jadi cukup membanggakan.â
Baca juga cerita menarik tentang salah satu pemain Indonesia HWC 2015, Rokim, pada artikel Cerita Perubahan Pada Sepasang Sepatu di Amsterdam.
Lantas mengapa Indonesia gagal menjadi juara HWC? Bahkan prestasinya terbilang menurun karena juara Amsterdam Cup hanya menempatkan Indonesia di peringkat 17 (2014 peringkat 10)?
Masih menurut Gimgim, sebenarnya kemampuan setiap pemain yang ada di HWC merata. Kemampuan para pemain Indonesia pun sebenarnya tak jauh berbeda dengan pemain dari negara lain, termasuk Brasil yang memiliki kultur Street Soccer atau Meksiko yang menjadi juara. Yang membedakan hanyalah persiapan.
Negara lain memang menyiapkan timnya untuk juara. Afrika Selatan misalnya, yang menyiapkan tim selama setahun. Bahkan negara lain ada yang mencapai satu tahun setengah. Sementara Indonesia, hanya mempersiapkan tim selama 40 hari.
âKalau di kita terbentur masalah pendanaan. Kalau tim lain bener-bener dipersiapkan dengan matang. Belanda misalnya, kipernya dari Utrecht FC. Atau ada tim yang pake psikiater, tim medis khusus, kalau hujan sudah siap sepatu bola. Secara kualitas mah merata. Menurut saya pribadi, faktor eksternal , sih.â ungkap Gimgim.
Baca juga hampir gagalnya timnas HWC untuk berangkat pada tahun lalu dan bagaimana mereka melaksanakan nazar bermain sepakbola tiga hari tanpa henti, di sini.
Lagi-lagi faktor eksternal yang membuat Indonesia gagal berprestasi. Untuk timnas HWC rasanya dapat dipahami karena Rumah Cemara yang mengelolanya bukan lembaga profit dan memang berjalan sendiri, mengurus segala kebutuhan para pemain dengan biaya sendiri.
Beruntung untung kedepannya, pemerintah bersama Asosiasi Street Soccer Indonesia (ASSI) mulai memberikan perhatian lebih pada Rumah Cemara beserta tim pengurus timnas HWC-nya. Tentunya selain untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik, Street Soccer diharapkan semakin bisa dikenal dan diterima oleh masyarakat luas.
âDukungan program Insya Allah usul memfasilitasi Homeless World Cup berikutnya bisa dibantu,â tutur staf Menpora, Arif Nurbani Siswoyo, yang juga hadir dalam acara tersebut. âUntuk HWC akan dimunculkan komitmen itu (membantu pendanaan) dianggarkan tahun 2016 nanti.â
Jika hal ini terealisasi, tentunya akan memudahkan bagi Rumah Cemara dalam mempersiapkan timnas Indonesia HWC 2016. Pun begitu dengan coach Gimgim, ia akan lebih mudah dalam mengatur pemusatan latihan, taktik dan strategi, serta hal-hal lain yang bisa menambah pundi-pundi prestasi bagi Indonesia di ajang Homeless World Cup berikutnya.
Komentar