Udara cerah menghangatkan Jumat pagi (11/04/2014) di Bandung. Seorang perempuan muda di pinggir jalan tak henti melihat jam tangannya, bosan menunggu angkot yang tak kunjung tiba. Di sisi jalan yang lain, kebosanan pula yang dirasakan sekumpulan lelaki yang bergerombol. Mereka berkumpul tak jauh dari Gedung Persib, sebutan untuk kantor Pengcab PSSI Kota Bandung, yang terletak di Jl. Gurame.
Oleh: Aqwam F. Hanifan
Mereka rupanya para calo tiket yang sedang resah dengan pasokan tiket pertandingan Persib vs Arema yang akan digelar hari Minggu (13/04) di Stadion Si Jalah Harupat. Hari-hari terakhir ini, khususnya di Bandung, keresahan yang sama pasti juga terlihat. Kamis besok (8/5), Persib akan menjamu Persija Jakarta.
Dulu orang menyebut mereka sebagai tukang catut. Generasi sekarang mengenalnya dengan sebutan calo. Mereka, para tukang catut itu, punya perannya tersendiri dalam perkembangan dan pertumbuhan sepakbola. Di manapun itu, entah di negeri ini atau Eropa yang maju sekalipun, tukang catut akan tetap ada. Di level Liga Inggris sekalipun, calo masih berkeliaran di seputaran stadion. Mereka bisa dan biasa "meminjamkan" tiket terusan pada para "turis sepakbola" yang jauh-jauh datang dari Asia.
Para calo ini sudah berdiri di sekitar lapangan atau stadion jauh sebelum sepakbola tampil dengan demikian modern dan gegap gempita. Para calo bahkan sudah ada sejak bermain bola bukanlah sebuah profesi, melainkan masih merupakan hobi.
Di Indonesia, dalam kliping-kliping koran di awal abad 20, jamak ditemui himbauan klub kepada penonton untuk tak membeli tiket lewat calo. Namun tentu saja himbauan itu hanya himbauan di atas kertas. Kita tak dapat menafikan simbiosis mutualisme antara calo dan klub. Mereka punya kisah hubungan yang menarik untuk dikisahkan ulang dengan tanpa berpretensi memberikan penilaian moral.
Simbiosis Mutualisme
Di Indonesia, ada dua tempat para calo mudah ditemui: di stadion dan kantor (pengcab) federasi sepakbola. Di Bandung, misalnya, Gedung Persib menjadi saksi mata berbagai cerita yang terjalin puluhan tahun itu. Semenjak kepengelolaan Persib diambil alih PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB), tampuk kekuasaan di tubuh Pangeran Biru pun beralih ke Jalan Sulanjana, kantor PT PBB.
Pada akhirnya, Gedung Persib di Jl. Gurame yang bercorak biru-putih itu kini jadi wakil dari masa silam yan pelan-pelan mulai diabaikan. Waktu adalah musuh utama mereka saat ini. Sama seperti orang-orang yang beraktifitas di sana. Termasuk para tukan calo ini.
Berbeda dengan para calo di lokasi lain, calo di Jl. Gurame didominasi oleh generasi tua. Jarang ditemui anak-anak muda, atau pria dewasa berumur 30-an di sana. Inilah alasan utama saya berhari-hari "berkeliaran" di sana, mencoba mengumpulkan informasi dan kisah-kisah yang menarik untuk diselamatkan dari rentannya ingatan.
Orang-orang, para calo di Jl. Gurame ini, sudah makan asam garam dalam dunia percaloan. Hubungan mereka dengan Persib sudah terjalin sejak tahun 60-an. Lantas percayakah anda jika kebanyakan calo yang saya temui berumur lebih dari kepala enam?
Namun begitulah adanya. Ada sekitar 10 kakek tua disana. Kulit keriput dan rambut uban menyambut kedatangan saya. Pagi itu, 2 hari jelang laga Persib vs Arema, mereka sedang duduk di lantai keramik depan gedung, ada pula yang duduk-duduk di pembatas taman. Ada yang asyik membolak-balik lembaran koran. Ada yang khusyuk mengisap rokok kretek. Ada pula yang nikmat berdiskusi. Hanya saja lebih banyak terdengar keluh dan gerutu dari mulut-mulut mereka.
Tak seperti biasanya, hari itu Pengcab PSSI Kota Bandung hanya memberi jatah 5 tiket per kelas (5 tiket tribun timur, 5 tiket tribun utara dan kelas-kelas lainnya). Biasanya calo ini mendapat jatah 10 tiket, musim lalu malah tak dibatasi. Karenanya kabar pahit ini ditanggapi semua dengan raut masam.
"Bagaimana ini, puluhan tahun disini tak pernah ada kejadian seperti ini," ucap salah seorang dari mereka.
Semakin siang semakin banyak yang berdatangan. Mula-mula calo ini berjumlah 10 orang, namun semakin siang jumlah mereka semakin banyak mencapai 50-an orang. Pihak Pengcab memang menjual tiket ke umum, tentu saja dengan jumlah dibatasi.
Sulit bagi saya membedakan yang mana calo, yang mana bukan. Selalu saja ada ekspresi rasa sinis saat ada orang baru yang merapat bergabung, apalagi jika itu anak muda. Hal itu sempat saya rasakan. Pagi itu ada seorang anak muda berusia 18-an mencoba berbaur dan mendekat. Dia terlihat canggung untuk berkomunikasi, malah berpura-pura mengecek ponsel. Orang-orang di sekitarnya pun merasa tak suka.
"Tuhh tuhh itu calo baru, mau apa dia ke sini?"
"Paling juga dari Siliwangi. Suka manja mereka. Kalau tidak ada tiket baru mereka ke sini," kata rekannya menimpali. Saya hanya tertawa geli mendengar obrolan itu.
Sebagai orang baru di lingkungan itu saya mencoba lebih pasif. Untuk mendapatkan informasi kadang saya mengendap dan menguping segala pembicaraan di antara mereka.
Jam menunjukan waktu setengah 11 siang ketika utusan pengurus Pengcab PSSI yang mengambil jatah tiket dari PT PBB akhirnya datang juga.
"Punten, puntenÃâ¦.!" serunya, minta permisi, untuk melewati kerumunan orang dan segera bergegas masuk ke dalam Gedung Persib. Dengan segera, semua orang yang ada di sana sibuk berbaris mengambil posisi. Berusaha tertib layaknya anak SD yang hendak masuk kelas. Saling berhimpit dan menggerutu.
"Yang bener atuh barisnya, baris ke belakang woy!"
"Antri, antri ah!" keluh seorang pemuda pada seorang kakek yang berusaha menyalip dan bergeser ke depan. Tanpa wajah berdosa kakek itu tetap melenggang ke depan.
Kebanyakan orang yang antri adalah orang umum. Para calo memisahkan diri dari kumpulan itu, tapi ada juga yang ikut antri untuk dapat tiket tambahan. Mereka santai duduk-duduk. Toh mereka sudah dapat jatah. Pada akhirnya secara bergiliran nanti mereka akan dipanggil satu-satu ke dalam.
Saat itulah saya bertemu dengan seorang kakek yang sering dipanggil dengan sebutan Nono. Umurnya: 69 tahun. Secara kasat mata fisik Nono memang membohongi banyak orang. Badannya masih segar, punggungnya tegap dan tak goyah. Hap hap, gerakan dan jalannya tak lamban. Di antara para tukang catut di sana, Nono selalu dianggap sebagai mediator antara para calo dan pengurus Pengcab.
"Saya sudah di sini sejak tahun 60-an. Sejak zaman Fatah Hidayat dan Aang Witarsa. Tiap hari saya selalu di sini. Nginap di sini. Bantu-bantu di sini, walaupun saya bukan pegawai di sini," katanya lugas.
Dulu waktu masih muda Nono adalah supir taxi. Di masa tua, daripada luntang lantung tak jelas, dia lebih senang berdiam diri di Gedung Persib meski dia bukan seorang pegawai.
Baca jugaKlub Ini Menjual Tiket untuk Pertandingan yang Tidak Akan Pernah Terjadi
Cara MLS Menjual Tiket Musiman
Peran ini yang membuat ia tak disuka oleh sebagian rekan-rekannya. Berkurangnya jatah tiket ditengarai akibat ulah Nono yang bermain. Begitulah yang saya tangkap dari obrolan backstabber yang mereka lakukan. Lucu juga saat kakek-kakek ini bergosip berbicara yang bukan-bukan.
"Disebut sarap atau orang gila juga gak akan pernah ngerti. Dia gak punya rasa malu," ketus salah seorang calo lainnya mengomentari Nono.
"Harusnya dia jangan keluar masuk Gedung Persib. Memang siapa dia? Pegawai juga bukan. Yang ada malah buat kecemburuan sosial."
"Kalau mau nyaloan ya nyaloan aja. Gak usah cari muka. Bilang ke istri kerja di Gurame. Pegawai juga bukan!"
Tahu dirinya jadi bahan pergunjingan, Nono pun keluar dari dalam gedung. "Kalau mau protes ke dalam saja. Jangan ke saya. Saya cuma membantu. Lagipula kalau secara materi apa untungnya membantu kalian, ngasih presentase juga enggak. Ya mau bagaimana lagi, dari dalamnya juga cuma dapat jatah segitu!"
Bermula dari cekcok mulut hingga akhirnya hampir terjadi baku hantam. Jujur saja melihat adegan itu saya tertawa geli, mirip seperti anak kecil yang berkelahi merebutkan hal yang sepele. Hanya saja yang cekcok kali ini adalah segerombolan kakek-kakek berusia uzur. Memang benar, semakin tua tingkah manusia semakin seperti anak-anak.
Saat adzan dzuhur berkumandang, para calo berusia tua ini bergegas pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat JumÃâat. Berbeda dengan anak muda disekitarnya, para calo uzur ini bergegas segera pergi ke Masjid. Segala sesuatu telah mereka persiapkan dari rumah: baju koko, sejadah dan peci.
"Kita semua sudah pada taubat, hahaha," ucap salah seorang mereka sambil tertawa.
(Bersambung)
Bagian 2: Legenda-legenda Tukang Catut dari Cicadas
Akun Twitter penulis @aqfiazfan
foto: Detiksport
Komentar