Terjadi adegan kekerasan dan intimidasi dari kelompok pendukung sepakbola Western Sydney Wanderers FC (WSW) kepada Andrew Scipione, Komisaris Polisi, jelang pertandingan kesebelasan pujaannya itu pada akhir Maret 2013. Tragedi itu diketahui setelah muncul video mengandung teror dari 100 suporter Wanderers di sekitaran sebuah restoran di Parramatta, Australia.
Awal keributan mulai terlihat ketika gerombolan suporter WSW berteriak, mengucapkan sumpah serapah dan meludah. Piring serta gelas di restoran pun menjadi bahan lemparan kepada para pendukung Sydney FC yang sedang makan secara berkelompok. Tidak lupa juga beberapa bogem mentah dilancarkan begitu beringas kepada wajah yang mereka anggap musuh ketika menjelang pertandingan derby terbesar di A-League.
Sayangnya para pelanggan yang tak bersalah dan tidak tahu apa-apa seperti anak-anak serta orang tua terpaksa terperangkap ketika sedang makan di restoran steak dekat Teater Riverside tersebut. Sehingga perilaku para perusuh itu dianggap pengecut dan tidak menyenangkan. Jumlah mereka memastikan tidak seorang pun di restoran itu bisa mengambil sikap terhadap tindakan kejimereka.
"Para fans yang agresif, meludah dan menyalahgunakan pelemparan. Saya dengan dua anak perempuan saya berada di sana dan saya khawatir itu bisa melukai kami. Untungnya fans Sydney duduk dan tidak membalas, saya pikir ada mungkin akan ada kerusuhan," ujar Paul, salah satu pengunjung restoran, dikutip dari Daily Telegraph.
Polisi pun meninjau rekaman CCTV restoran untuk mengidentifikasi korban dan mereka yang terlibat dalam tindak pidana. Kekerasan itu tidak terbatas di luar stadion. Di dalam pertandingan mereka ditangkap karena lapangan dijajah dengan lebih onar. Federasi Sepakbola Australia (FFA) menggambarkan insiden tersebut sebagai "aksi konyol dari beberapa orang bodoh". Gambar dari CCTV jelas menunjukan ada yang lebih jauh harus ditanggungjawabkan atas adegan pengganggu ketertiban itu. Mereka pun mewaspadai sikap anti sosial ketika mengatakan tidak ada toleransi.
Sorotan Kepolisan Kepada Hooliganisme di Australia
Kerusuhan pada 2013 tersebut berdampak dengan meningkatnya penjagaan kepolisian terhadap gerakan hooliganisme di sepakbola Australia sampai sekarang. Kepolisian juga sempat menggunakan semprotan merica kepada salah satu suporter WSW ketika bertanding melawan Perth Glory karena terlibat perkelahian dengan keamanan setempat. Saat itu pihak keamanan mencoba merampas red flare (suar) dan akhirnya keributan pecah. sekitar 150 suporter di luar stadion pun melempari rokok yang menyala dan koin kepada polisi
Lima orang suporter WSW dirawat di lokasi dan tidak dibawa ke rumah sakit, begitu juga dengan dua anggota polisi yang terluka. Tapi di media sosial para suporter WSW mengatakan seorang anak 13 tahun terluka akibat semprotan merica dari polisi dan harus dirawat di rumah sakit. Keonaran-keonaran yang semakin menjadi-jadi memunculkan kekhawatiran bagi sepakbola A-League terkait pengacau di seluruh pertandingannya.
Bahkan mereka terdiri dari anggota muda kisaran 15 sampai 20 tahun sehingga polisi sedang menyoroti dengan membuat strategi intelejen yang komperehensif untuk menjaga masalah ini di bawah kontrol. Mereka rela terbang ke Eropa bekerja sama dengan satuan sepakbola Inggris mengembangkan cara mengontrol munculnya hooliganisme di sepakbola Australia. Situs-situs media sosial juga sedang diperiksa ketat kepolisian.
Ketegangan antara kepolisian dengan suporter WSW telah semakin meningkat setelah ditemukan di situs web yang terdapat sebuah gambar anak kecil berpakaian anti polisi sambil memegangi suar. Denis Clifford, Asisten Komisaris Polisi, telah berkomitmen akan duduk bersama dengan suporter WSW untuk membuka dialog, menyuarakan keprihatinan perilaku segelintir pemicu kerusuhan sepakbola di sana. Mereka mencoba merayu John Tsatsimas, pemimpin Red and Black Bloc (RBB) sebagai basis suporter terbesar WSW.
Kelompok itu merasa adanya ketidak adilan dari taktik polisi untuk mengadili para perusuh. Intimidasi, agresi, dan kesombongan para kepolisian di sana telah lama menjadi kritikan dari RBB. Bahkan peraturan yang ditegakan seperti larangan pawai tradisional oleh mereka justru dilarang, "Saya pikir kehadiran polisi di pertandingan kami pada saat ini adalah berlebihan dan tentu saja tidak menjami perhatian yang kita dapatkan dari polisi," ujar Tsatsimas.
Red and Black Bloc Sebagai Percontohan Bias Hooliganisme Semu
Selusin suar (flare) dinyalakan para suporter WSW ketika derby melawan Sydney FC membuktikan bahwa larangan di stadion tidak menghentikan mereka melakukan praktek tersebut. Begitu juga dengan ancaman penangkapan dengan kekerasan. Memang beberapa pertengkaran banyak dikaitkan dengan RBB sebagai kelompok pendukung terbesar bagi WSW. Mereka tumbuh melalui dampak saluran media sosial dengan saling mengumpan video atau gambar hooliganisme.
Berdirinya RBB pun tidak lepas dari pertemuan forum di jejaring online. Kelompok ini mulai terlihat di tribun lapangan ketika 25 Juli 2012 ketika menghadapi Nepean FC di Stadion Cook Park. Sebelum sejauh ini RBB telah menerima banyak pujian dan perhatian dari suasana dan gairah dukungan dari nyanyain untuk kesebelasan mereka. RBB pernah melakukan koreografi Poznan selama 80 menit pertandingan. Saking meriahnya mereka pun dijuluki "Si Kelompok Bising dari Bukit Utara".
Rivalitas terbesar mereka tentu saja dengan suporter Sydney FC. Mereka mengganggap jika budaya geografis timur versus barat adalah mentalitas yang terjadi dari kehidupan di Sydney. Mereka mencerminkan kesenjangan budaya dan sosial yang sudah ada dari kota tersebut. Pertandingan sendiri selalu menunjukan drama dan hujan kartu kuning dan merah sehingga dianggap sebagai pertandingan derby terbesar di Australia.
Salah satu media Australia, The Roar, mengatakan situasi kekerasan saat ini bukan merupakan hasil dari hooliganisme terorganisir layaknya di Inggris sana. Berdasarkan rekaman yang tersedia menunjukan bahwa para suporter WSW nampaknya hanya menyalin tindakan dari apa yang mereka lihat dari para suporter sepakbola di luar negeri melalui televisi.
Tindakan agresif mereka nampak sebuah upaya untuk memproduksi persaingan dengan Sydney, layaknya persaingan sektarian atau politik yang terjadi antara Glasgow Celtic-Rangers atau Barcelona-Real Madrid. Tapi nampaknya kebencian para suporter WSW kepada Sydney hanya sebanding dengan nafsu yang diaduk antara kesesatan dan kekanak-kanakan.
Pasalnya antara kedua klub tersebut tidak mengakar dari sejarah agama layaknya Celtic dengan Rangers, juga tidak ada sangkut pautannya dengan politik dan sejarah layaknya Barcelona dan Madrid. Jika dilihat dari perbedaan geografis pun tidak ada faktor yang dipahami bisa menjelaskan ketidaksukaan mereka tersebut.
Apakah para suporter WSW percaya bahwa mereka adalah bagian sektor fitnah dari Sydney? Atau hanya memanfaatkan kebencian semu dari bagian lain kepada Sydney yang ada di pinggiran barat Australia? Beberapa pertanyaan yang mungkin menjelaskan bahwa mereka hanya sekelompok kecil suporter penantang yang berpikir cukup pendek.
Polisi menunjukan 130 kursi tribun stadion rusak, beberapa flare dinyalakan dan perkelahian terjadi antara kedua suporter, ketika derby Sydney pada 24 Oktober 2015 lalu. Para perusuh WSW pun terus-menerus menjadi berita utama dalam beberapa tahun terakhir akibat tindakan hooliganisme di luar batas mereka. Sepakbola di Australia belum pernah dimainkan para kaum elit, alias selalu menjadi pertandingan yang terpinggirkan dan berkesan khusus imigran.
Begitu juga dengan Sydney FC yang terkenal dengan sebutan "Big End of Town" karena pendukung mereka merupakan campuran dari beragam etnis di Sydney. Mereka lebih nyaman memilih fokus mendukung klubnya sendiri walau tidak diragukan lagi jika mereka adalah minoritas pada daerah istimewa tersebut. Pasalnya RBB percaya memiliki hak untuk marah besar kepada mereka karena ketidakadilan sosial yang dirasakan.
Para suporter WSW seolah menegaskan mampu membuat Sydney dari mayoritas menjadi minoritas karena berdiri terlebih dahulu pada 2004 ketimbang 2012. Padahal persaingan kedua kesebelasan tersebut bisa dilakukan dengan bergairah dan semangat tanpa kekerasan. Tapi para suporter WSW dan RBB nampak seolah mencoba memasukkan 50 tahun rivalitas menjadi satu musim. Sungguh menyedihkan.
Stereotip Hooliganisme yang Harus Ditelan Secara Hati-hati
Kekerasan dan keburukan dari mentalitas sebuah kawanan membuat beberapa kalangan geram. Para perusuh WSW mencoba mengintimidasi pendukung Sydney FC sebelum bertanding dengan perilaku premanisme yang bisa dibilang ceroboh yang dilahirkan dari pengabaian emosional ekstrim. Para suporter sepakbola di Australia hanya menunjukan perilaku yang mereka percayai di luar negeri serta mulai meniru tindakannya dengan lebih tinggi, kaya, dan berani, tapi dipertanyakan apa dasarnya jika hanya menjiplak?
Australia memiliki sejarah dan kebiasaannya sendiri walau banyak orang-orang dari luar negeri datang dan pergi. Kendati demikian mereka tetap mempertahankan kehadiran budayanya sendiri di sana. Kecepatan berdirinya identitas budaya mengartikan bahwa iklim suporter di Australia hanya bersemangat untuk menyalin apapun yang terjadi di luar negeri dan itu hanya membuat sugesti dirinya lebih baik daripada membuat tradisi dan praktek itu sendiri. Salah satu contohnya yaitu mereka tidak menerima literatur atau teater Australia sampai sekitar 1960-an.
Di sana hampir tidak memiliki industri perfilman sekitar 40 tahun dan masih menonton film karya sendiri dalam jumlah signifikan. Mereka pun masih hanya mengakui banyaknya olahragawan, artis, dan aktor setelah mencapai pengakuan di luar negeri terlebih dahulu. Dengan kata lain, mereka tidak menilai pengalaman di tanahnya sendiri sehingga hanya meniru apa yang terjadi di luar Australia.
Setiap akhir pekan di sana, sekarang hooliganisme sepakbola secara nampak telah dieskpor ke Australia. Mereka melestarikan klubnya masing-masing layaknya atmosfer yang terjadi di Chelsea atau Millwall sekalipun walau hooliganisme tidak pernah mendapat cukup pijakan di Australia.
Stereotip terkadang selalu menjadi sesuatu yang ada di sepakbola, baik itu digambarkan melalui media atau dampak dari tindakan kekerasan polisi itu sendiri. Tapi suporter harus mencoba yang terbaik untuk menghilangkan stereotip negatif untuk kebaikan pertandingan karena para pendukung lain akan merasa kurang menikmati olahraga yang mereka cintai.
Ya, pendukung sepakbola memang penuh gairah dan terkadang tumpah ke tahap bibit-bibit hooliganisme yang kita lihat. Tetapi meminta mereka semua agar ditahan melalui pembatasan yang berlebihan pun bukan solusi yang cukup baik. Toh, yang sudah terjadi juga tidak menunjukan gairah apapun dari mereka, bahkan seolah menghancurkan dukungan dari inti pertandingan itu sendiri.
Sumber lain : Outside 90, Triplem, The Sydney Mornning Herald, The Telegraph, Wikipedia,
Komentar