Oleh: M. Ardi Kurniawan*
Pada Piala Dunia 2014, para pemain Inggris berpose di tangga pesawat terbang dengan busana yang berbeda dari biasanya. Anggota skuat The Three Lions mengenakan jas. Saya tidak melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang keren. Bagi saya pribadi, foto tersebut justru memperlihatkan kikuknya pemain Inggris saat mengenakan busana tersebut. Gestur tubuh yang tidak nyaman dan senyum yang tidak terlihat menjadi penanda bahwa Steven Gerrard dkk., merasa rikuh mengenakan busana tersebut. Apakah hal tersebut sekadar karena jas yang dikenakan bergaya slim-fit? Atau ada hal lain?
Melalui artikel bertajuk âMengapa Manajer (Game) Sepakbola Mengenakan Jas?â, Frasetya Vady Aditya memaknai foto tersebut sebagai cara agar sepakbola dapat menyaru dan diterima oleh kalangan atas. Hal ini karena jas dianggap sebagai simbol yang biasa dikenakan kaum elit dan sepakbola adalah olahraga yang di Inggris dikenal sebagai olahraga kelas bawah. Dengan menggunakan pakaian yang kerap digunakan oleh kelompok masyarakat elit, sepakbola berharap diterima sebagai salah satu olahraga elit. Hal tersebut tentu tidak salah. Meski demikian, saya akan mengurai dengan sedikit agak kompleks bahwa foto tersebut menunjukkan beragam hal. Mulai dari kepada siapa industri sepakbola Inggris menghamba, bagaimana sepakbola Inggris kehilangan identitas, dan proses hegemoni yang terjadi.
Pemain sepakbola asli Inggris adalah pemain yang rata-rata berasal dari kelas pekerja. Apabila tidak berprofesi sebagai pesepakbola, mereka akan mudah ditemukan bekerja pada pabrik sebagai tenaga kasar. Kedua profesi ini memiliki satu kesamaan dalam hal gerak tubuh. Bekerja di pabrik dan bermain sepak bola mengandalkan gerakan tubuh yang kasar dan cenderung berulang-ulang: Gerakan khas pekerja yang berasal dari kelas sosial bawah. Dengan kata lain, tubuh pemain sepak bola Inggris merupakan tubuh yang berasal dari kelas bawah.
Hal yang demikian berbeda dengan jas. Jas adalah busana yang berasal dari wilayah peradaban yang berbeda sekaligus bertentangan dengan kelas sosial para pemain Inggris. Jas adalah simbol atau penanda kelas sosial atas. Jas berasal dari sejarah kebudayaan kelas elit di Inggris. Melalui hal tersebut, jas terhubungkan dengan suatu gaya yang anggun dan tidak membutuhkan banyak gerakan yang kasar dan berulang-ulang. Jas mengidealkan pemakainya untuk tidak bergerak terlalu banyak. Jas membatasi ruang gerak tubuh. Jas menjadi pengontrol tubuh agar tunduk kepada suatu budaya kelas tertentu.
Foto para pemain Inggris yang mengenakan jas menjadi penanda bagaimana kedua kelas sosial yang bertentangan tersebut bertemu. Hasilnya, jas tersebut terasa tidak cocok digunakan Frank Lampard dkk. Para pemain terlihat canggung dan tidak nyaman. Tubuh terlihat kikuk. Tubuh yang terbiasa bergerak bebas, kasar, dan berulang-ulang dipaksa menjadi anggun dan lembut. Terdapat jarak antara tubuh dan jas yang dikenakan. Melalui hal ini lah dapat dilacak bagaimana sepak bola di Inggris sedang berubah dan melayani kelas tertentu.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya bahwa jas merupakan strategi atau cara agar sepak bola Inggris diterima kelas sosial atas. Dengan demikian, sepakbola dapat sejajar dengan olahraga elit lain di Inggris seperti berkuda atau tenis. Artinya, sepakbola butuh diterima kelas elit Inggris. Sepakbola membutuhkan pengakuan sebagai olahraga elit. Penggunaan jas di tubuh pemain sepakbola Inggris menjadi bentuk usaha untuk mendapat pengakuan tersebut.
Alih-alih diterima dan diakui. Bagi saya, hal ini justru menunjukkan bagaimana sepakbola Inggris menyerah dan tidak menjadi dirinya sendiri. Sepakbola yang dulu milik kelas pekerja Inggris, tiba-tiba membutuhkan pengakuan dari kelas elit. Kebutuhan diakui sebagai olahraga elit membuat sepakbola Inggris kehilangan identitasnya. Hal yang kurang lebih sama pun terjadi pada klub-klub Inggris. Kedatangan investor dari negara-negara Asia pelan-pelan mengubah identitas asli klub-klub Inggris yang berakar dari kelas pekerja. Stadion sepak bola di Inggris yang dulu biasa berisi penggemar yang berkeringat dan bermulut kasar tiba-tiba berubah. Mulai muncul banyak suporter bertubuh wangi dan berteriak dengan anggun.
Mengapa hal tersebut terjadi? Antonio Gramsci, seorang Marxis dari Italia pernah mengurai mengenai teori hegemoni. Pada dasarnya, hegemoni merupakan strategi agar cara hidup, pandangan hidup, cara berpikir, ideologi, atau gaya hidup dari kelas sosial yang dominan diterima kelas sosial yang lain tanpa melalui pemaksaan. Hal ini dilakukan agar dominasi kelas dominan tetap terjaga tanpa melalui jalan kekerasan. Dengan kata lain, hegemoni adalah alat untuk menundukkan suatu kelompok tertentu.
Salah satu contoh hegemoni dapat dilihat melalui iklan-iklan produk rumah tangga yang beredar di berbagai media. Iklan-iklan tersebut sebagian besar menggunakan perempuan sebagai bintang iklan. Iklan semacam ini merupakan proses hegemoni ideologi patriarki agar perempuan tunduk dan berada di wilayah domestik. Artinya, iklan-iklan tersebut membentuk wacana agar perempuan tidak bekerja di luar rumah dan peran terbesarnya sekadar berada di wilayah domestik atau sebatas dapur, kasur, sumur.
Pada masa Orde Baru, hegemoni juga terlihat melalui pemutaran berkala film G30S/PKI. Film tersebut menjadi alat nirkekerasan untuk menundukkan ideologi komunis. Melalui film tersebut, masyarakat Indonesia menerima nilai dan ideologi bahwa komunis selalu buruk. Tidak hanya film, melalui jalur pendidikan, ideologi komunis juga ditundukkan melalui narasi sejarah yang mengisahkan pembantaian jenderal oleh PKI pada September 1965. Sejarah menjadi ruang legitimasi bahwa komunis kejam dan harus disingkirkan dari NKRI.
Dalam konteks tersebut, sepakbola Inggris dapat dikatakan sedang terhegemoni melalui mengglobalnya Premier League. Sepakbola sedang tunduk kepada nilai-nilai kelas elit. Kelas elit dianggap memiliki nilai lebih dari kelas pekerja. Oleh sebab itu sepakbola perlu diterima kelas elit. Sepakbola yang berasal dari kelas pekerja takluk kepada gaya hidup yang ditawarkan kelas elit. Stadion yang tiba-tiba dipugar agar terlihat mewah, gaya hidup pemain Premier League yang berubah glamor, dan gelimang uang yang mengubah identitas klub adalah representasi bagaimana sepakbola Inggris takluk di hadapan modal.
Apakah tidak ada upaya perlawanan terhadap hal tersebut? Melalui foto para pemain Inggris yang berbalut jas, sebenarnya dapat terbaca sebuah upaya perlawanan terhadap hegemoni tersebut. Parade tubuh yang kikuk tersebut bukan sekadar ketidaknyamanan mengenakan jas. Tubuh yang kikuk merupakan penanda bahwa tubuh-tubuh yang terbiasa dengan permainan purba tidak bisa ditaklukkan begitu saja di hadapan modernisme. Parade tubuh yang kikuk tersebut adalah simbol perlawanan terhadap parade modal yang mengepung sepak bola Inggris.
foto: dailymail.co.uk
* Pengajar dan peneliti, tinggal di Yogyakarta. Berakun twitter @arsipardi
Komentar