Oxford United memiliki empat tribun ketika masih menjalani pertandingan kandang di Manor Ground. Namun, mereka tidak memiliki tempat parkir mobil. Sekarang Oxford menjamu lawan-lawan mereka di Kassam Stadium dan parkir mobil bukan lagi masalah.
Tetapi sebagai gantinya, mereka hanya memiliki tiga tribun. Di belakang salah satu gawanglah lapangan parkir stadion berada. Lewat Âchants âyouâve only got three standsâ para pendukung Swansea City mengolok-olok para pendukung Oxford ketika kedua kesebelasan saling berhadapan di babak ketiga (third round) Piala FA musim ini.
Kisah sukses Swansea, meraih promosi ke Premier League dengan mengandalkan pertukaran umpan pendek, adalah sesuatu yang sedang coba Oxford samai. Boleh dibilang Oxford melihat Swansea seperti senior panutan.
Rasa hormat Oxford kepada Swansea tidak memudar walau The Swans kini sedang berada di peringkat ke-17 di tabel klasemen sementara Premier League, sementara Oxford menduduki peringkat ketiga di Football League Two, tiga kasta di bawah Liga Primer. Tepatnya kedua kesebelasan terpisah 54 peringkat, namun ketika keduanya bertemu, yang kalah adalah Swansea.
Oxford tertinggal lebih dulu di menit ke-23. Mereka membalasnya dengan tiga gol. Rasa percaya diri meninggi. Di menit ke-66 Oxford kebobolan lagi sehingga kedudukan menjadi 3-2. Kesebelasan mana pun pantas merasa tertekan di bawah kondisi seperti ini. Namun, Oxford berhasil mempertahankan keunggulan hingga pertandingan berakhir.
Oxford lolos ke putaran keempat untuk kali pertama dalam 17 tahun, sementara Swansea, untuk pertama kalinya sejak meraih promosi ke Premier League, kalah dari kesebelasan League Two.
Swansea hanya menjadi kesebelasan Premier League selama 23 menit saja
Perbedaan kelas antara Premier League dan League Two terlihat jelas dalam gol pertama Swansea pada menit ke-23. Para pemain Oxford tak mampu berbuat banyak ketika Jefferson Montero dan Marvin Emnes memainkan umpan satu dua. Tak mampu pula mereka berbuat banyak ketika Montero, dengan sebuah backheel, mengelabui Sam Slocombe, penjaga gawang Oxford.
Ada perdebatan ketika wasit yang memimpin pertandingan, Kevin Friend, menunjuk titik putih di menit ke-45 setelah usaha Kyle Bartley untuk merebut bola membuat Alex MacDonald terjatuh di dalam kotak penalti Swansea. Liam Sercombe dengan baik menjalankan tugasnya sebagai eksekutor.
Gol Sercombe memperpanjang catatan kurang menyenangkan Swansea. Tak pernah mereka, sejak melawan Portsmouth pada 2009, menorehkan clean sheet di pertandingan tandang FA Cup. Kedudukan sama kuat mengantar kedua kesebelasan memasuki ruang ganti. "Donât Stop Me Now"-nya Queen berkumandang lewat pengeras suara untuk menggantikan kekosongan selama turun minum. Tampaknya Oxford sengaja memilih lagu ini untuk menyampaikan pesan tersembunyi.
Oxford hanya membutuhkan empat menit sejak babak kedua dimulai untuk berbalik unggul. Kemar Roofe, yang menerima umpan dari Ryan Taylor di sisi kanan pertahanan Swansea, memotong ke dalam dan menempatkan bola ke tiang jauh.
Sepuluh menit berselang, Roofe kembali mencetak gol. Kali ini lewat serangan balik yang bermula dari kegagalan sepak pojok Swansea. Itu gol ketiga Roofe dalam dua pertandingan terakhirnya untuk Oxford. Gol Bafétimbi Gomis di menit ke-66 meninggikan harapan namun pada akhirnya terbukti tak lebih dari pemangkas selisih.
Panggung untuk Kemar Roofe dan John Lundstram
Kalah dari kesebelasan League Two jelas memalukan namun kontras kedua kesebelasan membuat Swansea pantas dimaafkan. Oxford hanya satu kali kalah dalam 15 pertandingan terakhir sementara Swansea melawan Manchester United "saja" kalah. Kondisi Swansea juga belum stabil. Mereka baru saja menunjuk Alan Curtis sebagai manajer karena Huw Jenkins gagal meyakinkan Marcelo Bielsa untuk menggantikan posisi Garry Monk.
Curtis, yang sebelumnya adalah caretaker, juga mengistirahatkan banyak pemain utama di tengah padatnya jadwal dan pentingnya bertahan di Premier League. Walau demikian, Curtis sendiri menilai susunan pemain yang ia turunkan âtermasuk di dalamnya adalah Jack Cork, Jonjo Shelvey, dan Bafétimbi Gomisâ seharusnya bisa mengalahkan Oxford.
Michael Appleton, sementara itu, tak kuasa menyembunyikan rasa bangga dan bahagia karena berhasil mengalahkan kesebelasan Premier League dengan meyakinkan.
Appleton tidak sendirian soal pembuktian melawan kesebelasan Premier League. Roofe, yang berulang kali dipinjamkan selama empat tahun berseragam West Bromwich Albion, menampilkan diri sebagai pembuktian bahwa yang membedakan dirinya dengan Jamie Vardy hanya keberuntungan.
âAku tidak pernah mendapat kesempatan di West Brom,â ujarnya. âAku yakin aku pantas mendapat kesempatan, karena aku berusaha sebisaku. Jamie Vardy memulai karier di divisi bawah dan ia menorehkan rekor mencetak gol di Premier League, semuanya mungkin terjadi jika ada waktu dan kesempatan.â
Waktu dan kesempatanlah, memang, yang Roofe dapatkan sehingga bisa bermain gemilang di Oxford. Sama halnya dengan John Lundstram, yang tak mendapat banyak kepercayaan dari Everton. Lundstram tidak mencetak gol, namun perannya dalam kemenangan ini sangat besar.
Lundstram melepas lebih banyak umpan dan melakukan lebih banyak tackle dari pemain Oxford mana pun di pertandingan ini. Empat interception Lundstram serta 12 keberhasilannya merebut penguasaan bola menjadi dasar kuat dari keberhasilan Oxford melepas lebih banyak tembakan tepat sasaran (Oxford 8-6 Swansea) walau persentase penguasaan bolanya (Oxford 44%-56% Swansea) lebih sedikit dari kesebelasan lawan.
Semalam Oxford menunjukkan kepada kita magis Piala FA yang sudah terkenal sebagai turnamen giant killer. Sementara pelajaran berharga didapatkan oleh para pendukung Swansea yang mencoba mengolok-olok "tiga tribun" stadion Oxford tetapi malah kebobolan tiga gol.
Komentar