Keberhasilan Mitra Kukar menjuarai Piala Jenderal Sudirman sejatinya berarti banyak bukan cuma buat klub dan penggemar, melainkan untuk Kutai Kartanegara dan Kalimantan Timur itu sendiri. Bisa dibilang kalau ini adalah salah satu capaian prestisius karena mereka meraihnya di sepakbola, dan sepakbola memiliki pengaruh besar buat masyarakat Indonesia.
Hampir lebih dari satu dekade sejak pemekaran pada 1999, Kutai Kartanegara telah berkembang dengan begitu pesat. Pembangunan infrastruktur digalakan di kabupaten yang beribu kota di Tenggarong ini. Kutai Kartanegara merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam terutama minyak bumi dan gas alam, serta batu bara. Perekonomian Kutai Kartanegara pun didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian.
Bicara soal Kutai Kartanegara, tentu tak bisa melepaskan sejarah berdirinya Kerajaan Kutai yang merupakan salah satu kerajaan yang paling awal berdiri di Nusantara. Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13. Namun, kala itu ada kerajaan lain yang juga berdiri di kawasan Sungai Mahakam, yakni Kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri pada abad keempat.
Pada abad ke-16, terjadilah peperangan di antara keduanya yang dimenangkan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Sejak saat itu, raja Aji Pangeran Sinum Panji, menamai kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Dari sini kita bisa lihat kalau peradaban di Kutai Kartanegara telah hadir sejak delapan abad silam. Mereka mengalami berbagai hal mulai dari masuknya Islam, tunduk kepada penjajah kolonial, hingga dihidupkannya lagi tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara pada 1999.
***
Pecinta sepakbola Indonesia tentu sudah mengenal sejumlah kesebelasan dari Kalimantan Timur seperti Persiba Balikpapan, PKT Bontang, dan Persisam Samarinda. Ketiga kesebelasan tersebut sudah berdiri sebelum Liga Indonesia pertama kali digulirkan.
Sementara itu, Mitra Kukar tidak benar-benar dibentuk di Kutai Kartanegara. Mereka merupakan kelanjutan hidup dari kesebelasan Nica Mitra yang berbasis di Surabaya. Kesebelasan yang pernah tiga kali juara Galatama tersebut dibeli oleh pemilik Barito Putra ke Banjarmasin. Perpindahan tersebut mengakibatkan perubahan nama menjadi Mitra Kalteng Putra.
Setelah terdegradasi ke Divisi II Liga Indonesia, terdapat perubahan manajemen yang mengakibatkan Mitra Kalteng Putra pindah markas ke Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada 2005, Mitra Kalteng Putra pun resmi menjadi milik Kabupaten Kutai Kartanegara. Kiprah Mitra di divisi teratas Liga Indonesia pun terhitung baru. Mereka baru promosi pada musim 2011/2012. Sejumlah pelatih bernama besar pernah menangani Mitra seperti Ivan Kolev, Jacksen F. Tiago, Benny Dollo, Simon McMenemy, Stefan Hansson, Scott Cooper, hingga perlatih berdarah Minang, Jafri Sastra.
Ada stereotip yang melekat pada Mitra Kukar: kesebelasan kaya. Sejak berkiprah di Liga Super, Mitra Kukar dikenal karena sering mendatangkan pemain berlabel bintang. Belum lagi ada nama pelatih top seperti Simon McMenemy yang kala itu membawa Filipina ke babak semifinal Piala AFF.
Stereotip sebagai kesebelasan kaya raya sejatinya tak bisa dilepaskan dari perkembangan infrastruktur dan ekonomi Kutai Kartanegara itu sendiri.
Dalam hal yang positif, nama Kutai pernah melambung karena menjadi tempat bertarung Chris John. The Dragon, julukan Chris John, tercatat pernah dua kali (2004 dan 2006) bertanding di Kutai. Namun, pertandingan pada 2006 menjadi yang paling disorot. Soalnya pertandingan tersebut bertitel mempertahankan gelar juara kelas bulu versi WBA.
Lawan yang dihadapi Chris pun tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah Manuel Marquez yang pernah menyandang gelar juara dunia WBA dan IBF. Selain itu, Marquez pun pernah bertarung dengan Manny Pacquiao pada 2004 yang berakhir imbang.
Dua tahun kemudian, Kutai pun menjadi sorotan. Soalnya, event olahraga terbesar di Indonesia, Pekan Olahraga Nasional, digelar di Kalimantan Timur (Kaltim). Kala itu, Kutai Kartanegara menjadi tuan rumah tujuh cabang olahraga: berkuda, ski air, tinju, panahan, gantole, akuatik, dan para layang.
PON Kaltim menjadi perbincangan karena disebut-sebut sebagai yang termegah. Kaltim bahkan membangun Stadion Utama palaran dengan biaya 1,2 triliun untuk PON. Stadion tersebut menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia.
Di luar olahraga, nama Kutai pun melejit saat mengadakan konser musik bertajuk Kutai Rockinâ Fest (KRF). Festival musik tersebut diselenggarakan sejak 2012 yang menghadirkan band metal Brasil, Sepultura. Setahun berselang, mereka pun menghadirkan Helloween dan band legendaris Indonesia, God Bless. Tahun lalu, band Amerika, FireHouse, yang menjadi pengundang massa di KRF.
Beragam capaian yang diraih Kutai Kartanegara seolah masih ada yang kurang. Mereka masih belum populer di telinga pecinta sepakbola tanah air. Padahal, sepakbola adalah medium yang tepat bagi seseorang, sekelompok, segolongan, hingga satu negara sekalipun untuk mendapatkan kebanggaan.
Pecinta sepakbola mungkin jauh lebih senang terhadap Brasil ketimbang Tiongkok. Padahal, Tiongkok-lah yang menentukan perkembangan ekonomi dunia saat ini. Perlambatan ekonomi di Tiongkok beberapa hari terakhir ini, membuat gusar sejumlah pihak, termasuk Uni Eropa yang berjanji meningkatkan stimulus.
Begitu besarnya pengaruh Tiongkok dalam perekonomian global, tidak membuat mereka puas diri. Presiden Tiongkok, Xi Jinping, justru kian fokus pada perkembangan sepakbola. Berbagai program telah ia galakan termasuk menjadikan sepakbola sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah. Bahkan, ia menyatakan kalau bayi yang baru lahir pun mesti dilatih sepakbola!
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Sebagai Negara Adidaya, satu-satunya hal yang kurang dari mereka adalah sepakbola. Soal prestasi kesebelasan negara, mereka masih kalah dari negara semacam Kosta Rika yang di Piala Dunia 2014 silam lolos hingga babak perempatfinal.
Keberhasilan Mitra Kukar meraih gelar juara, seolah menjadi pemuncak segala capaian Kutai Kartanegara maupun Kalimantan Timur. Menjuarai turnamen tingkat nasional, membuat nama Kutai dan Kalimantan Timur ikut berkibar. Karena sepakbola adalah lambang prestisius dari semua capaian.
Komentar