Oleh: R.M. Agung Putranto Wibowo
Bill Gates pernah berkata, "jika kau lahir dalam keadaan miskin, itu bukan salahmu. Tetapi jika kau mati dalam keadaan miskin, itu salahmu sendiri". CEO Microsoft itu seakan ingin menegaskan bahwa nasib di dunia sepenuhnya berada dalam genggaman tangan sendiri.
Sementara itu, banyak pesepakbola yang lahir dalam keadaan miskin, lalu mati atau setidaknya pensiun dengan sejahtera. Mereka mampu memanfaatkan sepakbola sebagai sumber nafkah sekaligus ajang aktualisasi diri demi perbaikan kualitas hidup.
Namun tak jarang ada pesepakbola yang terlahir mapan atau setidaknya berasal dari akademi klub besar, lalu kariernya terseok-seok dengan terdampar di klub antah berantah. Lantas apakah hal itu disebabkan oleh kesalahan si pesepakbola itu sendiri?
***
Tampil gemilang bersama Chelsea U-18, lantas turut membawa tim menjadi kampiun FA Youth Cup 2009/2010, nama Josh McEachran mencuat ke permukaan. Tak butuh waktu lama bagi McEachran untuk menembus tim utama kesebelasan berjuluk The Blues tersebut.
Pada musim berikutnya, Josh McEachran sudah berlatih bersama Didier Drogba dkk. bahkan dinobatkan sebagai Chelsea Young Player of The Year akhir musim 2010/2011. Sepanjang musim 2011/2012 media Inggris kerap memberitakan bahwa kelak Joshua akan menjadi suksesor Frank Lampard di Chelsea.
Musim terus berganti, Frank Lampard telah hengkang dari Stamford Bridge. Namun ternyata, pengganti Frankie bukan si bocah kelahiran Oxford. Adapun diketahui, nama Josh McEachran kini tercatat sebagai gelandang Brentford FC, klub divisi Championship yang sedang berkubang di papan tengah. Apakah itu salah McEachran sendiri?
Kisah lainnya, dikabarkan akan menjadi penerus John Terry mengingat kepiawaiannya sebagai bek tengah, nama Michael Ian Mancienne muncul ke permukaan. Beda nasib dengan McEachran, untuk menembus tim utama, maka pemain kelahiran 8 Januari 1988 itu perlu mengenyam status pinjaman ke Queens Park Rangers dan Wolverhampton.
Sekembalinya ke Stamford Bridge tahun 2009, Carlo Ancelotti yang masih menjabat manajer Chelsea kala itu mempersilakannya masuk tim utama. Tapi alih-alih bertandem dengan John Terry, Chelsea malah melepasnya ke Hamburger SV dengan banderol sebesar 1,75 juta Poundsterling saja. Saat ini, penerus John Terry itu tengah asyik menghantam para penyerang divisi Championship bersama klub Inggris kaya sejarah, Nottingham Forest. Mungkin saja kegagalan bertandem dengan Terry adalah kesalahan Mancienne sendiri.
Dua pemain tadi adalah sedikit dari sekian banyaknya prototipe kegagalan alumnus akademi Chelsea. Selain John Terry, praktis Chelsea belum memiliki lulusan akademi yang kariernya stabil di tim utama. Pemain akademi datang silih berganti. Apabila semusim puas menghangatkan bangku cadangan, tiba saatnya untuk dipinjamkan ke klub lain. Butuh waktu yang panjang untuk dapat kembali ke Cobham, tempat latihan Chelsea, sebelum akhirnya dipinjamkan sekali lagi atau bahkan dilego ke klub lain. Begitulah elegi lulusan akademi Chelsea.
Adalah Ryan Bertrand, bek kiri Southampton yang nyaris saja mengikuti jejak John Terry dengan bermain reguler. Dikabarkan akan menjadi pewaris posisi Ashley Cole, Chelsea malah meminjamkan lantas menjual sang pemain yang turut berjasa dalam perebutan gelar juara Liga Champions tahun 2012 silam. Lantas apakah itu murni kesalahan Bertrand?
Romantisme lulusan akademi Chelsea tampaknya tak akan pernah berakhir bahagia. Hal ini mengingatkan penulis akan sastrawan asal Prancis, Gustave Flaubert, yang pada 1856 menerbitkan novel berjudul "Madame Bovary". Tokoh utama adalah Emma, putri tuan tanah yang cantik jelita menikahi dokter desa sederhana, Charles Bovary. Emma saat itu masih terlalu muda untuk dinikahi oleh Charles. Seiring berjalannya waktu, remaja putri ini tumbuh dewasa dan semakin paham makna cinta sesungguhnya.
Jika Charles Bovary adalah Chelsea, sedangkan Emma adalah pemain akademi, maka bukan cinta yang merekatkan keduanya. Chelsea terkesan menggunakan jasa pemain akademi hanya sekadar memenuhi pasal-pasal aturan UEFA. Sama halnya dengan Charles muda yang melirik Emma berlandaskan kekosongan hati setelah ditinggal istri pertama karena meninggal dunia. Hal itu tentu tidak merugikan Charles, malah ia diuntungkan secara psikologis sebab istrinya yang terdahulu adalah janda tua yang hanya tulang berbungkus kulit.
Apakah Chelsea dirugikan dengan kehadiran pemain akademi di tim utama? Jelas tidak. Selain sebagai dalih memenuhi kewajiban home-grown player, siapa sangka pemain akademi akan menjadi medium investasi yang bagus. Bahkan lebih jauh lagi, bila ada pemain akademi yang berhasil tampil reguler, klub serta para suporter turut berbangga sebab berhasil membina akademi dengan baik. Begitu kiranya mekanisme kerja industri sepakbola terhadap nasib pemain muda.
Gustave Flaubert mengolah konflik novelnya dengan sangat ciamik. Alkisah Madame Bovary alias Emma pindah rumah ke suatu daerah bernama Yonville-lÃÃâAbbaye. Pada latar tempat inilah, banyak lelaki mengagumi paras cantiknya sehingga membuat Madame Bovary jatuh hati. Hasrat cinta dan ambisi hidup mewah, membuat Madame Bovary tak kerasan lagi tinggal bersama suaminya yang serba sederhana.
Begitu pula dengan lulusan akademi Chelsea yang belum beruntung menembus posisi reguler, akan merajuk minta dipinjamkan. Tatkala hasrat cinta dan ambisi pesepakbola muda membuncah, mereka akan melakukan apa saja demi memperoleh jam terbang yang cukup. Bagi pesepakbola muda, pengalaman bermain adalah hal utama, sementara uang tidak atau belum dijadikan sebagai primus inter pares.
Madame Bovary sadar akan kondisi keuangan keluarganya, akan tetapi tiada yang sanggup membendung hasrat cintanya yang terlanjur membara kepada lelaki lain. Perempuan itu rela berhutang banyak demi bertemu dengan lelaki pujaannya di kota atau sekadar belanja gaun-gaun mahal demi mempercantik penampilannya.
Alkisah, Madame Bovary meminta agar sang suami membiayainya les piano di kota. Demi memuaskan sang istri, Charles terpaksa meminjam uang. Namun yang terjadi, Madame Bovary berangkat ke kota, tetapi untuk berkencan dengan Leon Dupuis, sang kekasih hatinya. Pada akhir kisah, hasrat cinta itu meminta pertanggung jawaban Madame Bovary. Rentenir yang sudah muak dengan menumpuknya hutang-hutang keluarga Bovary, meneror kehidupan mereka. Akhirnya istri dokter itu menenggak racun hingga tewas akibat tak kuasa terlilit rasa malu dan hutang yang menggunung.
Begitulah romantisme dalam novel Gustave Flaubert yang ditutup dengan kesedihan. Emma mungkin terlahir sebagai perempuan cantik dan terpandang berkat status ayahnya. Namun seiring berjalannya waktu, keputusannya untuk menikah dengan dokter desa adalah keputusan yang mereduksi kualitas hidupnya.
Jika dikonfrontasi dengan kutipan Bill Gates di atas, Madame Bovary mati dalam kondisi miskin dengan hutang-hutang yang tiada sanggup ia lunasi. Tentu saja itu merupakan salahnya sendiri. Namun jika karier para lulusan akademi Chelsea mati di klub kecil, minim prestasi, lantas apakah itu sepenuhnya salah mereka? Ah hidup memang penuh teka-teki. Jika engkau terlena dengan hidup serba berkecukupan, maka ingatlah bahwa engkau masih muda. Segala sesuatu masih bisa terjadi, karena nasib adalah kesunyian masing-masing.
Sarjana Hukum lulusan Universitas Indonesia pelaku industri olahraga sepakbola. Aktif di dunia maya dengan akun twitter @agungbowo26
foto: talksport.com
Komentar