Sekitar 11 tahun yang lalu Luciano Spalletti menjadi bagian dari sejarah keemasan AS Roma. Dirinya menjadi penawar bagi Roma yang gagal menemukan keemasannya setelah era kepelatihan Fabio Capello. Sebetulnya Spalletti belum bisa mengungguli Capello yang mempersembahkan Scudetto 2000/2001. Spalleti hanya berhasil membawa Roma meraih dua tropi Coppa Italia, satu Piala Super Italia dan kembali masuk ke papan atas Serie-A serta Liga Champions.
Setidaknya prestasi itulah yang bisa lebih dibanggakan dibandingkan Cesare Prandelli, Rudi Völler, Luigi Delneri, Bruno Conti, sebagai suksesor Capello. Kembalinya Spalletti membesut Roma saat ini pun diharapkan lebih baik daripada Rudi Garcia yang tidak memiliki plan B permainannya.
Apalagi Spalletti datang bermodalkan beberapa gelar juara di Liga Rusia bersama Zenit St. Petersburg. Selain itu, ada perbedaan situasi di Roma saat ini, yaitu klubnya saat ini lebih memiliki uang. Berbeda dengan kondisi ere kepelatihan pertamanya yang harus menjual Antonio Cassano ke Real Madrid pada akhir musim 2006. Dua full-back yang dimiliki saat itu pun terpaksa memaksimalkan tenaga tua, seperti Max Tonetto dan Marco Cassetti.
Maka, Spalleti diharapkan bisa lebih memanfaatkan uang yang lebih banyak saat ini. Membuat sesuatu yang lebih nyata dibandingkan era Luis Enrique, Zdenek Zeman dan Garcia. Sebab, mereka tidak mampu memanfaatkan situasi keuangan lebih baik sejak kepresidenan James Pallotta.
Apalagi saat ini Spalletti punya bahan yang lebih kuat. Komposisi skuatnya cukup mumpuni untuk memenangkan pertarungan di lini tengah dan serangan. Tidak hanya mengandalkan eksekusi tendangan bebas Miralem Pjanic atau mobilitas Mohamed Salah. Spalletti pun bisa memanfaatkan potensi penyerang muda Sadiq Umar, seperti dahulu ia memoles Stefano Okaka.
Baca juga : Pengorbanan-pengorbanan Kevin Strootman.
Itulah harapan para pendukung I Lupi (Si Serigala), julukan Roma, pada awalnya. Tapi pada kenyataannya berbeda.Debut kembalinya pria berkepala plontos itu berakhir seperti Garcia. Skuatnya tetap mendapat ejekan dan siulan yang bergemuruh di Stadion Olimpico. Hal itu karena debutnya berakhir imbang 1-1 dengan Hellas Verona.
Penyerangnya, Edin Dzeko dianggap tampil sangat buruk saat itu. Bahkan Giampaolo Pazzini, penyerang Verona, yang mencetak gol lewat eksekusi penalti, bisa dibilang lebih baik daripada Dzeko. Perjalanan berikutnya ke turin pun lebih mengenaskan. Roma dikalahkan tuan rumah Juventus dengan skor 1-0. Bahkan permainan Salah menjadi melempem seperti Dzeko yang terisolasi oleh pertahanan Juventus.
Padahal I Lupi sedang membutuhkan pemain-pemain kunci untuk menemukan bentuk terbaik di bawah Spalletti. Roma pun dianggap sama saja baik dengan pelatih lama maupun baru. Spalletti belum bisa mengembalikan Francesco Totti dkk menuju trek juara secepat mungkin.
Mencari Solusi Edin Dzeko
Roma berhasil memenangkan tiga laga berturut-turut setelah dikalahkan Juventus. Salah pun mulai mengembalikan bentuk permainannya. Akan tetapi Dzeko masih jalan di tempat. Bahkan tiga kemenangan beruntun itu diraih Roma tanpa permainan penuh dari Dzeko.
Spalletti sendiri mengatakan tidak ada masalah dengan penyerang asal Bosnia dan Herzegovina itu. Namun tetap saja, Dzeko baru mencetak tiga gol dari 19 laga di Serie-A musim ini. Sehingga ia tentu kalah jauh dari Gonzalo Higuain, Paulo Dybala, bahkan Mauro Icardi.
Tapi untuk memecahkan masalah Dzeko, rasanya perlu melihat ketika ia masih berseragam Manchester City. Jika ditelaah, penyerang 29 tahun itu kurang cocok bermain sebagai penyerang tunggal. Coba tengok ketika City memainkannya sebagai penyerang tunggal pada formasi 4-2-3-1, tidak hanya kehilangan sentuhan mencetak gol, tapi ia juga kehilangan perannya.
Akan tetapi ia mampu lebih produktif ketika diduetkan dengan Sergio Aguero pada formasi 4-4-2. Kala itu Aguero dijadikan second striker untuk tandem ideal Dzeko. Begitu juga ketika ia memperkuat VfL Wolfsburg ditandemkan dengan Mario Mandzukic. Maka, Dzeko tidak hanya membutuhkan suplai bola, namun tandem yang sesuai dengannya.
Tapi sejauh ini Dzeko masih harus menjalani peran penyerang tunggal. Apalagi Spalletti gemar menggunakan formasi 4-2-3-1 dan akhir-akhir ini menerapkan 3-4-2-1. Tentu saja Dzeko-lah yang harus bisa menyesuaikan dengan formasi pelatihnya sekarang. Apalagi Roma berhasil memperbaharui kekuatannya dengan kedatangan Stephan El Sharaawy dan Diego Perotti. Dzeko tinggal memilih, apakah mereka bisa dijadikan patner yang baik, atau justru pesaing yang akan menyingkirkannya.
Momentum Menghadapi Carpi
Roma telah mendapatkan 10 poin dari lima laga pertandingan terakhir mereka di Serie-A 2015/2016. Selanjutnya, mereka akan menghadapi Carpi di Stadion Alberto Braglia dini hari nanti, Sabtu (13/2). Mereka memenangkan pertemuan pertama dengan skor 5-1. Kendati sulit mengulangi karena ini partai tandang, tapi I Lupi masih berpeluang besar mengalahkan Carpi.
Sehingga nanti akan menjadi momentum bagi Dzeko yang berkemungkinan besar diturunkan. Mengingat Totti tidak bisa dimainkan karena cedera betis. Maka, Dzeko wajib mencetak gol untuk mencabut masalahnya. Apalagi menjelang menghadapi Real Madrid pada Liga Champions di Stadion Olimpico nanti, Kamis (18/2).
"Itu (cedera Totti) tidak serius, tapi ia tidak bisa pergi dengan kami. Dzeko akan bermain, karena ini akan baik untuk mentalnya," terang Spalletti seperti dikutip Gazzetta World.
Selain Dzeko, kemenangan nanti akan menjadi modal juga untuk Roma. Kendati demikian, Spalletti tidak ingin memikirkan Madrid terlebih dahulu. Mantan pelatih Udinese itu hanya mau fokus kepada Carpi dan tidak meremehkannya, "Besok adalah prioritas, bukan Real Madrid atau pertandingan lainnya.Kita tidak bisa melihat masa lalu Carpi dan kami tidak akan melakukan itu (meremehkannya)," tegas Spalletti.
Sumber lain : Football-Italia.
Komentar