Pada saat Jepang melahirkan Japan Professional Football League (J.League) pada 1993, hanya ada 10 kesebelasan yang boleh berkontes. Ya, hanya 10 kesebelasan yang "boleh" berkontes, bukan yang "bisa", "ingin", atau "sebaiknya" berkontes. Jepang tidak peduli.
Kesepuluh kesebelasan ini adalah kesebelasan yang profesional dalam artian sesungguhnya. Tidak berpura-pura profesional, mengaku-ngaku profesional, atau profesional dengan setengah-setengah.
Pada saat itu, liga profesional Jepang hanya terdiri dari satu divisi. Di bawah J.League ada Japan Football League (JFL) yang dipenuhi oleh kesebelasan amatir (dalam artian yang sesungguhnya juga). Peringkat terakhir J.League musim 1993 juga tidak terdegradasi.
Pada musim selanjutnya, J.League kedatangan dua kesebelasan baru, Bellmare Hiratsuka dan Jublio Iwata. Mereka berdua bukan kesebelasan yang promosi dari JFL karena mereka adalah peringkat pertama dan kedua. Mereka berdua promosi ke J.League karena mereka sudah "boleh" berkontes di J.League.
Pada musim-musim berikutnya, perlahan tapi pasti, kesebelasan J.League mulai bertambah: 14 kesebelasan pada 1995, 16 pada 1996, 17 pada 1997, 18 pada 1998, kemudian berkurang menjadi 16 lagi pada 1999.
Di tahun 1999 tersebut, Consadole Sapporo menjadi kesebelasan J.League pertama yang harus terdegradasi. Sementara Yokohama Flugels mengalami kebangkrutan sehingga mereka tidak bisa berlaga di J.League divisi pertama (J1).
Pada tahun tersebut adalah pertama kalinya asosiasi sepakbola Jepang (JFA) membuka J.League divisi 2 (J2) yang terdiri dari 10 kesebelasan.
Sejak 1999 sampai 2004, J1 terus berisi 16 kesebelasan. Barulah sejak musim 2005 sampai sekarang, ada 18 kesebelasan yang berlaga di J1. Sementara jumlah kesebelasan di J2 lah yang berubah-ubah: 10, 11, 12, dan seterusnya. J2 menjadi ujung tombak profesionalisme kesebelasan sepakbola di Jepang sampai 2013.
Setelah itu, tahun 2013 adalah tahun di mana JFA membentuk J.League divisi 3 (J3). Dan sejak itu sampai sekarang J3 adalah liga yang menjadi ujung tombak profesionalisme kesebelasan sepakbola di Jepang.
Kesebelasan Jepang harus memiliki rencana 100 tahun
Salah satu fondasi utama profesionalisme sepakbola di Jepang adalah status kesebelasan "J-League 100 Year Plan". Status ini adalah status yang diberikan kepada kesebelasan non-liga di sepakbola Jepang (JFL ke bawah). Pemohon aplikasi ini harus memiliki niat untuk menjadi kesebelasan profesional. Siapa saja boleh mengajukan aplikasi ini, tidak hanya mereka yang berada di JFL.
Dari lebih 300 kesebelasan amatir di Jepang, saat ini hanya 5 kesebelasan yang berstatus sebagai pemegang "J-League 100 Year Plan", mereka adalah Vanraure Hachinohe (JFL), Azul Claro Numazu (JFL), Tochigi Uva (JFL), Nara Club (JFL), dan Tonan Maebashi (Kanto League D1).
Sejak 2014, status ini menjadi syarat utama, yang membuat sebuah kesebelasan "boleh" atau "tidak boleh" jika ingin berpentas di Liga Profesional Jepang, mulai dari J1, J2, sampai J3. Tidak ada kompromi.
Ini yang membuat Sony Sendai tidak promosi ke J3 musim lalu padahal mereka merupakan juara JFL. Kesebelasan yang meraih promosi ke J3 justru Kagoshima United yang berada di peringkat keempat klasemen akhir JFL 2015, padahal di atas mereka masih ada Vanraure Hachinohe (peringkat kedua, saat itu belum pro, tapi saat ini sudah) dan Honda FC (peringkat ketiga).
Kagoshima meraih promosi karena kesebelasan mereka sudah memiliki status kesebelasan "J-League 100 Year Plan".
Selengkapnya mengenai "J-League 100 Year Plan": Sepakbola Indonesia Sudah Ketinggalan 100 Tahun dari Jepang
Profesionalisme dimulai dari tingkat terendah
J.League memiliki tujuan ambisius dan visi 100 tahun - untuk membangun lingkungan olahraga yang lebih kaya untuk Jepang dengan memelihara budaya olahraga yang berakar pada kesebelasan olahraga berbasis masyarakat.
Banyak tantangan terbentang di depan untuk J.League menurut kepala J.League, Mitsuru Murai. Salah satunya adalah urusan manajemen kesebelasan profesional.
"Kami ingin memastikan stadion yang aman dan tempat untuk membawa keluarga, terutama di (tribun) belakang gawang. Anda dapat membawa bahkan anak-anak, yang merupakan sesuatu yang tidak dapat Anda lakukan di setiap negara," kata Murai.
"Penggemar J.League lebih banyak datang dari Asia, terutama Hong Kong. Mereka menggabungkan pertandingan sepakbola dengan kunjungan ke lokasi wisata, air panas, dan sebagainya. Mengingat ada lebih dari 50 kesebelasan di J.League, maka ada banyak tempat untuk dikunjungi," lanjut pria kelahiran Saitama itu..
Hampir semua kesebelasan berada dalam daftar hitam, artinya kondisi keuangan mereka sehat. "J.League menetapkan bahwa setiap kesebelasan yang berada dalam daftar merah (kondisi keuangan buruk) selama lebih dari tiga tahun berturut-turut akan kehilangan keanggotaan liga mereka," kata Murai.
"Untuk klub baru, kondisi yang berbeda untuk masing-masing divisi. Untuk J1, kesebelasan harus memiliki stadion dengan kapasitas minimum 15.000; untuk J2 adalah 10.000 [untuk J3 adalah 5.000 ? red]. Selain itu, kesebelasan harus stabil secara finansial dan memiliki status sebagai perusahaan."
Untuk urusan stadion, Murai juga menambahkan: "Beberapa stadion sedang dibangun kembali, tapi tren sekarang adalah untuk membangun stadion baru dengan atap [atap di tribun] dan lebih dekat dengan stasiun kereta."
Sepakbola masih merupakan olahraga paling populer di kalangan anak-anak di Jepang. Dalam 3 tahun berturut-turut, menjadi pemain J.League adalah mimpi yang paling populer dari anak laki-laki di Jepang.
***
J.League musim 2016 akan dimulai kembali pada akhir pekan ini (27/02/2016). Mereka sebelumnya sudah melaksanakan Piala Super Jepang yang dimenangkan oleh sang juara J.League musim lalu, Sanfrecce Hiroshima. Hiroshima mengalahkan Gamba Osaka dengan skor 3-1.
Dari tulisan di atas, begitulah cara J.League mem-profesional-kan sepakbola mereka. Mereka memulainya secara baik dan benar dari tingkat yang paling rendah, yaitu kesebelasan amatir.
Tidak ada paksaan juga untuk kesebelasan amatir jika mereka memang belum siap untuk menjadi profesional. Justru kesebelasan amatir ini lah yang menjadi dasar memasyarakatkan sepakbola di Jepang yang olahraga utamanya bukan sepakbola (tapi bisbol).
Namun, setidaknya tidak ada kesebelasan yang "memaksa" mengikuti liga hanya karena mereka memiliki sejarah atau nama besar.
Bahkan Yokohama Flugels yang bangkrut pada 1998 harus melakukan merjer dengan rival mereka yang juga sama-sama bangkrut, Nissan FC Yokohama Marinos, untuk membentuk kesebelasan baru, Yokohama F. Marinos.
Sampai hari ini Yokohama F. Marinos menjadi kesebelasan profesional seutuhnya dan berada dalam kondisi keuangan yang sehat wal afiat di Jepang.
Bagaimana dengan di Indonesia? Ada berapa kesebelasan yang seutuhnya profesional di Indonesia? Perlukah adanya profesionalisme sepakbola di Indonesia? Atau jangan-jangan kita memang lebih bisa menikmati sepakbola semu yang begini-gini saja?
Sumber wawancara dengan Mitsuru Murai: Japan Today
Sumber foto: Adam Howard / Voice of Reason; Foto diambil di Stadion Kagoshima United yang saat itu belum masuk ke J3.
Komentar